Catatan Awal
Krisis apapun yang melanda dunia Islam tidak lepas dari rekayasa
jahat musuh-musuh Islam. Jauh sebelum kekhilafahan Islam runtuh, mereka telah
menyusun strategi secara sistematis untuk menghancurkan Daulah Islamiyah, serta
membersihkan puing-puing reruntuhannya dengan memasang berbagai macam perangkap
sehingga kaum Muslim benar-benar kehilangan 'keIslamannya'.
Krisis Palestina, Lebanon, Bosnia, Kosovo, Cyprus, Chechnya,
Kashmir, Turkestan (Xinjiang), Eritrea, Chad, Pantai Gading, Somalia, hingga ke
Moro (Pilipina), Maluku dan Irian Jaya, adalah paparan nyata dari rekayasa dan
campur tangan musuh-musuh Islam. Sudah seharusnya kaum Muslim turut merasakan
beban yang diderita oleh saudaranya di negeri-negeri lain. Sebab, kesengsaraan
yang mereka alami saat ini, sesungguhnya adalah permalasahan kita juga. Amat
keliru jika kita mengatakan bahwa krisis Palestina, misalnya, adalah krisis
yang terkait dengan orang-orang Palestina saja. Pada hakikatnya, seluruh krisis
yang menimpa kaum Muslim, di negeri manapun mereka berada, adalah krisis yang
sama, yaitu krisis yang menimpa kaum Muslim. Artinya, problem yang dihadapi
oleh kita adalah sama, yaitu problem kaum Muslim. Oleh karena itu, solusinya
juga harus sama.
Tulisan ini memberikan informasi dari sisi sejarah salah satu
krisis yang hingga sekarang tidak pernah selesai, yaitu krisis Palestina,
sekaligus sikap yang seharusnya dimiliki oleh seluruh kaum Muslim, termasuk di
Indonesia.
Menjelang Runtuhnya Khilafah Islamiyah
Kekuasaan Daulah Khilafah Utsmaniyah sangat luas. Sebelah Barat
meliputi pantai Laut Atlantik di Benua Afrika hingga bibir pantai laut Pasifik
di wilayah Timur Jauh. Dari belantara hutan di bagian tengah Benua Afrika,
hingga ke kawasan pegunungan Ural dan Kaukasus di wilayah Rusia. Sejak
munculnya sejarah manusia di muka bumi hingga saat itu, tidak pernah ada
peradaban yang daerah kekuasaannya seluas Daulah Khilafah Utsmaniyah. Sampai
awal abad ke 19, Khilafah Utsmaniyah masih menjadi kekuatan yang amat disegani.
Peradaban Barat-Kristen sudah jera menghadapi kekuatan militer
kaum Muslim setelah berakhirnya Perang Salib. Cara-cara fisik mulai
ditinggalkan untuk menghadapi kekuatan kaum Muslim. Mereka mulai beralih dengan
memfokuskan serangan pada pemikiran/ideologi. Di antaranya adalah dengan
menyusupkan paham nasionalisme ke berbagai daerah kekuasaan Daulah Islamiyah.
Dengan licik, mereka memutarbalikkan fakta, menghasut, dan menghembuskan
permusuhan antar kaum Muslim untuk melepaskan diri dari kekuasaan kekhilafahan,
terutama di kawasan jazirah Arab dan kawasan Balkan.
Di samping itu, dengan dalih penjelajahan dan penemuan dunia baru
untuk mencari sumber-sumber alam, Barat mulai melakukan penjelajahan melalui
daerah-daerah yang ada di bawah kekuasaan Daulah Islamiyah. Persekutuan Barat
mulai mengepung Daulah Islamiyah Utsmaniyah. Dari sebelah Utara, Rusia mulai
mendesak ke kawasan Asia Tengah dan Laut Hitam. Pada tahun 1774, mereka
berhasil merebut semenanjung Crimea, kemudian diikuti dengan jatuhnya wilayah
Kaukasus, Turkestan, dan bagian Utara negeri Iran. Sementara itu, di sebelah
Selatan dan Timur sudah menghadang kekuatan imperialis Portugis, Belanda,
Perancis, dan Inggris. Inggris sendiri berhasil menguasai kawasan Teluk Bengal
[India] melalui British East Company tahun 1756. Di sebelah Barat Laut,
kerajaan Eropa Harsburg merebut kembali daerah yang sekarang dikenal dengan
Hongaria dan Yugoslavia.
Napoleon Bonaparte, yang menjadi panglima perang angkatan
bersenjata Perancis, menyerbu dan menduduki wilayah Mesir tetapi Inggris
berhasil merampasnva pada tahun 1801, lalu merambah pula daerah Aden dan
kawasan Teluk Persia. Pada abad ke-19, Inggris berhasil menguasai secara penuh
India dan sekitarnya, termasuk Myanmar dan Malaysia. Belanda sendiri hanya
memperoleh bagian kepulauan Indonesia. Inggris dan Rusia sepakat menjadikan
kawasan Afghanistan dan bagian Utara Iran sebagai daerah buffer (penyangga). Bagian Utara Iran dikuasai
oleh Rusia, sedangkan Afghanistan dicaplok oleh Inggris. Cara ini ditempuh
inggris untuk menghambat laju pasukan Rusia ke kawasan Selatan benua Asia.
Prancis sendiri berhasil menggulung banyak wilayah di benua Afrika. Aljazair
dikuasai pada tahun 1830, Tunisia dan gurun Sahara bagian tengah dikuasai tahun
1881, berlanjut ke negeri Maroko, yang kemudian diubah menjadi daerah
protektorat Prancis. Prancis juga menguasai jalur pelayaran di Laut Merah
dengan mengendalikan kota pelabuhan Jibouti. Spanyol pun tidak ketinggalan,
Mereka berhasil merebut sebagian daerah Maroko dan Sahara Barat. Jerman pun
terlibat dalam aksi pencaplokan negeri-negeri Muslim dengan menguasai daerah
kamerun dan sekitar Danau Tanganyika. Belgia memperoleh daerah Kongo yang
dijadikan sebagai kerajaan pada masa Raja Leopold. Italia memperoleh bagian
wilayah Eritrea dan membagi daerah Somalia dengan Inggris.
Sementara itu, kawasan Bosnia, Kosovo, Montenegro, Albania,
Cyprus, Yunani, Rumania, dan sekitarnya di daerah Balkan mulai melepaskan diri
dari kesatuan Wilayah Khilafah Utsmaniyah setelah Barat berhasil menghembuskan
paham nasionalisme di kawasan tersebut.
Praktis pada penghujung abad ke-19, Daulah Islamiyah hanya
menyisakan Turki saja, itupun sudah dikepung oleh kekuatan militer gabungan
pasukan Kristen Barat. Sebab, Cyprus misalnya, lepas ke tangan Yunani. Hingga
tahun 1920-an hanya daerah Anatolia di pedalaman Turki yang tidak sepenuhnya
dikontrol oleh kekuatan Kristen Barat. Strategi perang Napoleon Bonaparte yang
menggulung daerah-daerah pinggiran Daulah Islamiyah mulai menampakkan hasil.
Sementara itu, runtuhnya kekhilafahan Islam saat itu tinggal menunggu waktu.
Liciknya Inggris, Culasnya Yahudi
Pada masa itu, Inggris adalah negara terkuat di wilayah Eropa.
Bersama-sama dengan Prancis, Inggris menghasut negeri-negeri di kawasan Timur
Tengah untuk memberontak terhadap Kekhilafahan Utsmaniyah. Mereka berhasil
memperdayai orang-orang Arab sekaligus menggerogoti wilayah pinggir Daulah
Islamiyah. Arab Saudi menjadi pelopor dengan 'memanfaatkan' keberadaan Gerakan
Wahabi. Dengan didukung oleh rajanya saat itu, 'Abdul 'Aziz ibn 'Abdurrahman
as-Sa`ud, mulai melepaskan diri dari wilayah Kekhilafahan Islamiyah. Dengan
liciknya, Inggris menghendaki berdirinya negara boneka 'khilafah Islam' di
Jazirah Arab, seraya mengatakan bahwa kekhilafahan itu seharusnya dijabat oleh
orang Arab. Setelah berhasil menipu kaum Muslim di kawasan Timur Tengah agar
mereka memberontak terhadap kekhilafahan Islamiyah di Istambul, bersama dengan
Prancis, Inggris membagi-bagi kawasan tersebut. Inggris mendapatkan Irak,
Palestina, dan kawasan Trans-Yordania. Sedangkan Perancis memperoleh Lebanon
dan Syria. Daerah-daerah ini kemudian dilembagakan oleh mereka dalam bentuk
negara-negara baru yang sekarang dikenal sebagai Syria, Yordania, Lebanon,
Irak, Saudi Arabia, Palestina, dan sebagainya. Padahal, di masa sebelumnya,
seluruh daerah itu berada di bawah naungan khilafah Islamiyah dengan satu
pemimpin, yaitu khalifah, dan satu sistem UUD yaitu Islam.
Setelah mereka berhasil menggulung daerah pinggiran Kekhilafahan
Islam, Inggris secara licik mendukung Gerakan Turki Fatah (Turki Muda) dengan
bantuan tokoh-tokoh Yahudi Zionis. Mereka mempersiapkan Mustafa Kamal, seorang
keturunan Yahudi suku Dunamah, untuk menggoyang pusat Kekhilafahan dan
menjatuhkannya dari dalam.
Simbiosis Barat Kristen dengan kaum Zionis Yahudi menemukan bentuk
idealnya ketika mereka bersama-sama menghadapi kekuatan kaum Muslim yang saat
itu berada di bawah naungan Daulah Islamiyah Utsmaniyah. Orang-orang Yahudi
'rela' mengubur permusuhannya dengan orang-orang Eropa kristen. Padahal, mereka
belum pupus ingatannya terhadap peristiwa yang menimpa warga Yahudi Eropa
tatkala Raja Spanyol yang beragama Katholik bertanggung jawab terhadap
pembantaian dan pemusnahan kaum Yahudi dari daratan Eropa, tidak lama setelah
jatuhnya benteng Islam terakhir di wilayah Andalusia -sekarang menjadi daerah
Portugal dan Spanyol-tahun 1492.
Sejak abad ke-19, para pecinta Zionisme (Choveve Zion) senantiasa
berusaha dengan segala macam cara untuk mewujudkan negeri Yahudi. Yahudi
sebagai gerakan politik sudah mulai diangkat oleh Thaodore Hertzel (1860-
1904). Ia menjadi peletak dasar doktrin zionis, yang gerakannya di kemudian
hari lebih dikenal sebagai Zionisnie.
Palestina Sebelum krisis
Wilayah Palestina awalnya berada di bawah kekuasaan khilafah
Utsmaniyah. Sejak lama, daerah ini menjadi pertemuan tiga agama besar: Islam,
Yahudi, dan kristen. Perang Salib yang berlangsung selama hampir 200 tahun,
antara kekuatan Muslim melawan kekuatan gabungan kerajaan Eropa -termasuk
Inggris yang mewakili kristen- adalah dalam rangka memperebutkan tempat suci
al-Quds dan sekitarnya. Pada awal abad ke-19, mayoritas penduduk Palestina
adalah orang-orang Arab. Tahun 1170 orang Yahudi di daerah itu hanya berjumlah
1140 jiwa. Sampai tahun 1267, hanya dijumpai 2 kepala keluarga Yahudi di
seluruh kota Al-Quds (Yerusalem). Namun pada tahun 1845, di seluruh Palestina
telah bermukim kurang lebih 12.000 orang Yahudi, sedangkan penduduk Palestina
sendiri saat itu kurang lebih 350.000 orang, Pada tahun 1882, warga Yahudi yang
tinggal di kawasan itu meningkat menjadi 25.000 jiwa, sementara penduduk Muslim
Palestina kira-kira 500.000 jiwa.
Protokolat Zionis dan Imigrasi Yahudi
Secara politis, tahun 1882 adalah titik-tolak keinginan
tokoh-tokoh Yahudi untuk mewujudkan negara Zionis israel. Theodore Hertzl
merupakan tokoh kunci yang mencetuskan ide pembentukan negara tersebut. Ia
menyusun doktrin Zionismenya dalam bukunya bejudul 'der Judenstaad' (The Jewish
State). Sejak tahun 1882, Zionisme merupakan sebuah gerakan politik yang secara
sistematis berusaha mewujudkan negara Yahudi. Secara nyata, gerakan ini
didukung oleh tokoh-tokoh Yahudi yang hadir dalam kongres pertama Yahudi
Internasional di Basel (Swiss), tahun 1895. Kongres tersebut dihadiri oleh
sekitar 300 orang, mewakili 50 organisasi Zionis yang terpancar di seluruh
dunia. Mereka lalu mendirikan basis kekuatannya di Wina (Austria) tahun 1896.
Kongres itu sendiri amat rahasia dan sulit diketahui oleh
masyarakat umum kalau saja tidak ada yang pengkhianatan yang dilakukan oleh
seorang wanita keturunan Prancis yang menjadi anggota FreeMasonry. Ia berhasil
membawa sebagian dokumen hasil keputusan kongres yang dibawa lari ke Rusia dan
diserahkan kepada Alexis Nicolai Niefnitus, salah seorang tokoh di Rusia Timur
pada masa Tsar Rusia. Dokumen itu kemudian berpindah tangan kepada seorang
pendeta gereja ortodoks, yaitu Prof. Sergey Nilus. Dokumen inilah yang kemudian
dibukukan dalam bahasa Rusia dengan judul 'Protokolat Zionisme’. Setelah
rencana-rencana busuk Zionis yang ingin menghapuskan sistem Tsar di Rusia dan
menggantinya dengan sistem Komunis terungkap, tidak lama kemudian, Rusia
membantai sekitar 10.000 warga Yahudi, dan mengusir mereka dari wilayah Rusia.
Pada saat Revolusi Bolshevik, dokumen ini sempat dilarang untuk
beredar secara luas di masyarakat oleh para pendukung revolusi tersebut. Namun
demikian, sebuah dokumen berhasil diselundupkan ke Inggris oleh Victor B. Mars,
wartawan harian The Morning Post.
Dari sini, dokumen itu kemudian tersebar luas dan diterjemahkan ke
dalam berbagai macam bahasa. Terjemahan dalam bahasa Arab sendiri dilakukan
oleh Muhammad Khalifah at-Tunisi yang dimuat dalam majalah Mimbar Asy-Syara
tahun 1950.
Dokumen itu berisi rencana dan rekayasa Yahudi dengan menghalalkan
segala cara untuk mewujudkan tujuannya, yaitu membentuk negara Yahudi.
Yahudilah sebenarnya yang berada di balik munculnya revolusi Bolshevik untuk
menggulingkan kekuasaan Tsar Rusia. Rencana itu terbukti, 15 tahun kemudian
(tahun 1901) sejak dokumen itu diterbitkan. Inilah yang menjadi penyebab
dilarangnya penyebaran dokumen ini di Rusia pada masa Revolusi Bolshevik. Di
samping itu, mereka memiliki rencana untuk menghancurkan sistem Kekhilafahan
Islam. Mereka amat paham bahwa syarat mutlak untuk mendirikan negara Yahudi
adalah hancurnya sistem Khilafah Islam lebih dulu. Oleh karena itu, kekuatan
Zionis berusaha sekuat tenaga dengan berkolaborasi dengan Inggris untuk
mewujudkan tujuan mereka masing-masing. Mereka menyusupkan berbagai pemahaman
yang bisa merusak loyalitas kaum Muslim kepada Khalifahnya. Merekapun
menyusupkan orang-orang tertentu ke pusat Kekhilafahan di lstambul untuk
menghancurkan institusi Khilafah dari dalam.
Kolaborasi Inggris-Yahudi
Yahudi dengan penjajah Inggris sudah sejak lama membina hubungan
untuk mengerat-erat Daulah Khilafah Utsmaniyah dan bersekutu untuk
menghancurkan Islam dan Sistem kekhilafahan Islam. Bahkan, negara-negara Barat
yang mewakili Kristen, sejak dikalahkan dalam Perang Salib dendam kesumatnya
belum pupus. Penolakan Balfour -menlu Inggris- terhadap gelombang imigrasi
Yahudi ke dataran inggris adalah siasat yang ditempuh oleh Hertzl untuk
mengalihkan gelombang pengungsian ke tempat yang mereka rancang menjadi cikal
bakal berdirinya negara Yahudi, yaitu tanah Palestina.
Saat itu, Inggris tengah menguasai kawasan Palestina dan
sekitarnya dan tengah merancang negara-negara boneka yang meliputi wilayah
Bulan Sabit (yaitu Yordania, Mesir, Arab Saudi, kawasan Teluk Persia, dan
Emirat).
Untuk mewujudkan keinginannya mendirikan negara Yahudi, Hertzl
menggalang dukungan Menlu Jerman Von Bullow serta Kaisar Wilhelm II. Lobi pun
dilakukan kepada Menlu Rusia Plahve dan Tsar Nicholas Il. Hertzl kemudian
meminta surat pengantar dari Plahve (pada tahun 1902) yang ditujukan kepada
Sultan Abdul Hamid II. Surat tersebut berisi tentang permintaan untuk
memperoleh izin mendirikan tempat penampungan bagi orang-orang Yahudi di
Palestina. Maklum saja, Rusia waktu itu memiliki tekanan politik yang cukup
kuat terhadap kekhilafahan Islam, karena daerah-daerah potensial yang
sebelumnya milik kaum Muslim jatuh ke tangan Rusia, dan daerah-daerah lain
sewaktu-waktu dapat terancam.
Surat pengantar itu, kemudian ditolak mentah-mentah oleh Sultan
Abdul Hamid Il, seraya membalas dengan perkataan tegasnya. “Bagaimana mungkin aku menyerahkan sebagian
tanah-tanah itu, karena daerah itu bukan milikku. Tanah itu adalah milik kaum
Muslim. Tanah itu diperoleh dan dipertahankan oleh mereka dengan cucuran
keringat, darah, dan air mata ribuan prajurit. Selama aku masih hidup, jangan
harap kalian bisa menguasai tanah Palestina".
Melihat ketegasan jawaban Khalifah, Hertzl tidak putus-asa. la
kemudian menawarkan dana tunai tiga juta poundsterling emas ditambah dengan
bonus untuk melunasi utang luar negeri, dengan syarat, orang-orang Yahudi
diizinkan untuk berziarah dan tinggal di Palestina. Akan tetapi, tawaran
menarik itupun ditampik oleh Sultan Abdul Hamid ll. Karena kesalnya, Hartzl dan
seorang kawannya yang menyertainya, yakni Karsow (pemimpin Yahudi di daerah
Salonika) mengancam Sultan agar berhati-hati terhadap pembalasan yang akan
diberikan mereka atas penolakan Sultan. Ancamannya ini berhasil dibuktikan
ketika Mustafa Kamal Ataturk, atas bantuan Inggris, berhasil membubarkan
institusi Khilafah dan mengusir Sultan Abdul Hamid Il serta keluarganya pada
tanggal 3 Maret 1924 dari wilayah Turki.
Tawaran Hertzl berupa sejumlah besar uang itu diperolehnya dari
dana nasional yahudi (keren kayemet)
yang didirikan tahun 1901 dan dipungut dari warga Yahudi yang tinggal di
wilayah Eropa dan Amerika.
Penolakan Sultan menyebabkan Hertzl mencari jalan keluar lainnya.
Karena ia mengetahui bahwa Inggris menguasai kawasan Palestina dan sekitarnya,
maka tokoh-tokoh Inggris dan Zionis seperti Hertzl, Weizman, dan Balfour
berkumpul di kota Manchester pada tahun 1906. Pertemuan itu menghasilkan
langkah-langkah strategis untuk mewujudkan negara Israel. Mereka membuat target
50 tahun, cita-citanya berhasil terwujud.
Munculnya deklarasi Balfour menjadi momentum bagi warga Yahudi
untuk mewujudkan keinginannya itu. Komunike bersama antara Menlu Inggris saat
itu (Balfour) dengan salah seorang pemuka Yahudi, Eduard Rotschild, tanggal 2
Nopember 1917, berhasil membuka pintu yang kelak akan selalu menjadi duri bagi
kaum Muslim di kawasan Timur Tengah. Penggalan pernyataan komunike bersama itu
antara lain, “Inggris setuju atas pendirian
negara Israel di Palestina. Inggris pun akan selalu berusaha sekuat tenaga
untuk membantu mewujudkannya."
Munculnya Krisis Palestina
Hertzl dan tokoh-tokoh Zionis lainnya berupaya dengan sekuat
tenaga agar orang-orang Yahudi bersedia pindah ke kawasan Palestina. Akan
tetapi, langkah-langkah mereka mulanya menemui hambatan yang amat besar. Untuk
itu, mereka membuat rekayasa politik maupun fisik/militer sehingga mampu
memunculkan keinginan pada diri orang-orang Yahudi menetap di Palestina. Salah
satunya adalah dengan menciptakan isu anti Semit (anti Yahudi). Cara ini
berhasil meyakinkan orang-orang Yahudi, seolah-olah memang ada 'teror anti
semit', yang akhirnya menggerakkan gelombang imigrasi besar-besaran ke kawasan
Palestina… Setelah deklarasi Balfour, Palestina dijadikan wilayah protektorat
lnggris dengan mengangkat Herbert Samuel, keturunan Yahudi, sebagai komisi
pengawas tinggi yang bertanggung jawab atas daerah protektorat tersebut. Ini
sesuai dengan deklarasi Sykes-Picot (antara Penjajah Inggris dan Prancis) yang
memutuskan bahwa wilayah Palestina diserahkan pengelolaannya pada badan
internasional. Padahal, lnggris secara licik berhasil menempatkan
orang-orangnya dalam komisi tinggi, sehingga kepentingannya tetap terjaga.
Artinya, rencananya dengan tokoh-tokoh Zionis tetap berjalan.
Melalui keputusan yang berasal dari Herbert Samuel, imigran Yahudi
yang berasal dari kawasan Eropa Barat dan Eropa Timur, termasuk Rusia,
berbondong-bondong memasuki kawasan Palestina...
Penderitaan Warga Palestina
Inggris mewariskan tanah Palestina milik kekhilafahan Utsmaniyah
seluas 1,25 juta dunam (1 dunam=1000 m ) kepada warga Yahudi. 300.000 dunam di
antaranya diberikan begitu saja, alias gratis. 600.000 dunam dibeli oleh
orang-orang Arab Syria dan Lebanon. Luas wilayah Palestina saat itu sekitar 27
juta dunam. Setelah deklarasi Balfour, warga Yahudi memiliki 2,5 persen tanah
Palestina. Inggris kemudian memberikan lagi tanah Palestina hingga pemilikan
warga Yahudi meningkat menjadi 6,5 persen. Pembelian secara besar-besaran tanah
milik warga Palestina oleh warga Yahudi terus berlangsung dengan berbagai cara.
Sampai berakhirnya periode penggunaan dana nasional Yahudi, mereka mengklaim
memiliki sekitar 2,1 juta dunam tanah Palestina. Ahli sejarah Arnold Toynbee
pernah mengatakan bahwa sesungguhnya kekayaan Israel itu tidak pernah ada. Yang
dimiliki Israel sekarang adalah hasil rampokan mereka yang diperoleh melalui
cara-cara kekerasan dan kejam. Mereka hanya menyisakan setengah juta dunam saja
bagi warga Palestina.
Tatkala negara Israel berdiri tanggal 14 Mei 1948, Israel mengusir
sekitar satu juta warga Palestina, merampas semua hak milik warga Palestina
seperti rumah dan harta benda lainnya, serta mencaplok begitu saja puluhan kota
dan ratusan desa. Teror dan pembantaianpun marak di mana-mana, seperti Deir
Yasin (tahun 1948), Kafr Kasem (29 Oktober 1956) atau pembantaian yang
dilakukan oleh Unit 101 yang didirikan oleh Moshe Dayan dan dipimpin oleh Ariel
Sharon si penjagal untuk menakut-nakuti warga Palestina agar keluar dari
kampung halaman mereka. Pada tahun 1948 saja, tercatat 385 desa dari 475 buah
desa Palestina yang dibuldoser dan diratakan dengan tanah.
Kurun waktu antara tahun 1920-an hingga tahun 1948 dipenuhi dengan
bentrokan fisik antara warga Palestina dengan warga Yahudi yang berhasil
mendiami tanah Palestina. Bentrokan itu sendiri sengaja dirancang oleh Inggris
agar ada alasan untuk mendatangkan lebih banyak lagi jumlah imigran Yahudi ke
kawasan itu.
Pada tahun 1922, melalui Winston Churchill, lnggris mengambil
sumpah 'Abdullah ibn Husayn untuk mengakui eksistensi Israel di tanah
Palestina. Untuk menjamin keberhasilan rencananya, Inggris kemudian mengangkat
Amir Husayni sebagai ketua Majlis Tinggi Islam sekaligus mufti Palestina. Lewat
sekutunya ini, orang-orang Yahudi dengan mudah memperoleh tanah di daerah
Palestina. Dengan bantuan keluarga-keluarga al-Husayni, al-Fayyadh, 'Abdul
Hadi, dan ar- Rasyid, rencana Inggris untuk menggerogoti pusat kekhilafahan
Islam dengan pemberontakan mulai menampakkan hasilnya.
Pangkhianatan demi pengkhianatan mewarnai kolaborasi Inggris,
Yahudi, dan sejumlah tokoh Arab yang tertipu dengan propaganda Inggris. Raja
'Abdullah dari Yordania, misalnya, mengizinkan tentaranya untuk membantu Yahudi
melawan Mesir. Mesir sendiri gagal dalam perang pada tahun 1917-1948 atas
pengkhianatan yang dilakukan oleh Raja Farouk. Kegagalan itulah yang
mengakibatkan diserahkannya kota al-Quds oleh Raja 'Abdullah kepada lsrael.
Dalam perang tahun 1907, Raja Hussein dari Yordania menyerahkan
tepi Barat sungai Yordan kepada Israel tanpa peperangan. Pada tahun yang sama,
Mesir di bawah pimpinan Jamal Abdu Nasser melepaskan Gurun Sinai dan jalur Gaza
kepada negara Yahudi. Tindakan itu diikuti oleh Syria di bawah pimpinan Hafedz
al-Assad yang menyerahkan Dataran Tinggi Golan, tempat paling strategis di
kawasan Syam.
Sejak itu, krisis Palestina selalu mewarnai perjalanan sejarah
kaum Muslim di Timur Tengah. Keberadaan Israel sendiri oleh penjajah baru,
yaitu AS, dijadikan “bom waktu" dan “tali layang-layang” dalam politik
luar negerinya di kawasan Timur Tengah. AS memiliki kepentingan ekonomi,
politik, dan militer yang amat kuat di wilayah bergolak itu, terutama untuk
menjaga kepentingan- kepentingan ekonominya yang amat berharga di jazirah Arab
dan kawasan Teluk Persia. Sedangkan Israel amat berkepentingan dengan
eksistensi negaranya. Dua negara ini saling berkolaborasi untuk mempertahankan
kepentingannya masing-masing dengan menindas dan menyisakan penderitaan yang
tiada habisnya terhadap saudara-saudara kita, warga Palestina.
Keruntuhan institusi Khilafah Islam menjadi bencana total bagi
seluruh kaum Muslim di berbagai negeri. Sebab, tidak ada lagi pelindung dan
pembela kaum Muslim dalam menghadapi kekuatan Barat Kristen dan Yahudi Israel.
Apakah kita masih mengharapkan uluran tangan dari para penguasa Muslim saat ini
yang menjadi budak negara-negara Barat kafir dan tidak lagi mempedulikan
kondisi rakyatnya yang mayoritas Muslim? Benarlah sabda Rasulullah Saw.
sebagaimana dituturkan oleh Abu Hurayrah ketika beliau menyatakan (artinya): “Sesungguhnya seorang Imam (Khalifah/ kepala Negara)
itu laksana perisai. Orang-orang akan berperang di belakangnya dan
menjadikannya sebagai peIindung bagi dirinya”. (HR Muslim)
Orang yang mengamati perkembangan politik Israel, cenderung untuk
membagi kondisi politik dalam 2 fase. Fase pertama, dimulai sejak berdirinya
negara zionis Israel hingga dicaploknya sebagian besar daerah yang sebelumnya
milik Mesir, Yordania, dan Syria (interval waktu 1947-1967).
Pada fase ini, Israel banyak melakukan berbagai perkara, seperti
memantapkan eksistensinya, memperluas kawasannya secara geografis melalui
berbagai ekspansi militer, membangun pilar-pilar ekonominya menjadi sebuah
negara yang memiliki sistem ekonomi modern, modernisasi pertanian dan industri,
dan mengokohkan kedigjayaannya dalam bidang militer dengan bantuan
negara-negara blok Timur (pada masa sebelum dan pada perang dingin) maupun AS
dan sekutunya. Pada saat-saat tertentu, di antara negara-negara pendukung itu
juga saling bergabung untuk men-support eksistensi negara Zionis Israel.
Seperti pada saat perang Israel-Mesir (tahun 1956). Inggris dan Perancis
bahu-membahu membantu Israel menyerang Mesir, agar Mesir mau mengakui
eksistensi Israel, dan memberi peringatan kepada negara-negara Arab lain yang
mencoba-coba mengganggu Israel. Rusia juga sejak awal berdirinya negara Yahudi,
amat intens membantu membangun eksistensi negara itu, dengan mendorong imigrasi
orang-orang Yahudi yang tinggal di kawasan Rusia agar pindah ke wilayah
Palestina. Bahkan Rusia termasuk negara pertama yang mengakui secara politis
eksistensi negara lsrael.
Fase kedua dimulai sejak tahun 1957, tatkala pecah perang terbuka
antara Israel dengan Mesir dan Syria. Pada fase ini, Israel berhasil meyakinkan
kepada dunia terutama negara-negara Arab, bahwasanya mereka memiliki kekuatan
yang paling unggul di kawasan Timur Tangah.
Secara politis dan militer, Mesir bertekuk lutut di hadapan
Israel, yang saat itu memang sudah mempersiapkan diri untuk memenangkan
pertempuran, meski gambaran hebatnya Israel hanyalah rekayasa yang dibuat oleh
AS. Karena, sudah menjadi rahasia umum, kalau kepala negara Mesir, Gamal Abdun
Nasser adalah kaki tangan AS. Image semacam itu berhasil dihunjamkan ke dalam
benak para prajurit Mesir, sehingga mereka telah kalah mental, dan menganggap
Israel tidak mungkin dilawan maupun dikalahkan. Kenyataan sejarah menunjukkan,
Mesir bertekuk lutut. Nasser berhasil meyakinkan rakyatnya bahwa kekalahan
Mesir pada peperangan tahun 1967-1968 dari Israel itu wajar-wajar saja, karena
'digjayanya' Israel. Keculasannya dilanjutkan dengan berpura-pura mengundurkan
diri. Taktik ini dilakukannya untuk mengetahui apakah rakyat masih mencintainya
meskipun Mesir kalah dalam perangnya melawan Israel, atau rakyat sudah tidak
suka dengan kepemimpinannya. Setelah ia mengetahui bahwa rakyat masih
mencintainya, ia menjalankan rencana berikutnya, yaitu berdamai dengan Israel.
Perdamaian ini berujung pada diserahkannya Jalur Gaza dan Gurun Sinai kepada
negara Zionis Israel.
Sesungguhnya perang tahun 1907-1908 antara Israel yang didukung
negara-negara Barat melawan Mesir, Syria, dan Yordania adalah peperangan yang
penuh tipu daya dan rekayasa. Peperangan itu sudah diatur untuk meraih target
jangka panjang. Akhir dari peperangan ini berupa diserahkannya Jalur Gaza dan
Gurun Sinai oleh Mesir, dataran tinggi Golan oleh Syria, dan kawasan tepi Barat
sungai Yordan oleh Yordania.
Kecuali Gurun Sinai, seluruh daerah yang dicaplok Israel pada
perang 1967-1968 dipersiapkan untuk pemukiman warga Palestina dalam sebuah
negeri yang merdeka berazaskan nasionalisme. Lebih jauh, Israel bersama-sama
dengan AS bermaksud menyerahkan urusan Palestina ke tangan Organisasi
Pembebasan Palestina (PLO), bukan ke tangan rakyat Palestina, apalagi ke tangan
kaum muslimin. Jadi AS ingin urusan Palestina itu, bukan lagi urusan kaum
muslimin, tetapi urusan PLO agar mudah disetir sesuai dengan rencana mereka. AS
juga berhasil memaksa negara-negara yang berada di bawah dominasinya, seperti
Mesir, Syria, dan Arab Saudi agar tidak melakukan penyerangan terhadap Israel.
Pengkhianatan Arafat
Pada tahun 1964 diadakan konferensi liga Arab di Kairo. Salah satu
keputusan penting yang dikeluarkan peserta konferensi itu adalah dibentuknya
Organisasi Pembebasan Palestina (PLO). Ketua pertamanya Ahmad Sukhairi.
Keberadaan PLO didukung oleh negara-negara Teluk, Arab Saudi dan Tunisia.
Diam-diam Inggris pun mendukung pembentukannya, dengan catatan sebagai benih
untuk pembentukan negara sekular dan nasionalis Palestina. Tujuan ini pula yang
selalu diperjuangkan oleh PLO hingga kini.
Yaser Arafat diangkat sebagai ketua PLO pada tahun 1969, sekaligus
menjadi wakil Palestina yang berbicara di depan sidang umum PBB, atas
rekomendasi dari liga Arab. Pada tahun 1971, ia diangkat sebagai panglima umum
revolusi pembebasan organisas-organisasi Palestina.
Dalam perang tahun 1973 antara Israel dengan Arab, ada beberapa
tujuan yang hendak dicapai. Pertama, mengokohkan kedudukan Anwar sadat
(Presiden Mesir) dan Hafedz Assad (Presiden Syria) yang merupakan sekutu setia
AS. Kedua, melalui perang tersebut, ada alasan bagi sekutu-sekutu AS, terutama
Yordania, Mesir, Syria dan Libanon, ketika 'kalah' perang untuk mengakui
eksistensi Israel melalui jalan dialog dan perundingan.
Mesir, yang diwakili Anwar Sadat mempersiapkan dialog itu di KM
101 Gurun Sinai. Ini merupakan cikal bakal hingga sampai ke perundingan Camp
David, yang menyepakati tidak ada perang sama sekali dengan Israel. Tahun 1977
Sadat mengunjungi Tel Aviv (Israel). Kunjungan ini dianggapnya sebagai sebuah
kemenangan. Padahal, hakekatnya merupakan tindakan menghina diri dan kaum
muslimin. Hafedz Assad sendiri secara intens melakukan berbagai perundingan
rahasia bersama Israel di Geneva. Dua manuver ini merupakan katalisator yang
memuluskan diterimanya resolusi PBB No. 242 oleh Yaser Arafat, yang berisi
pengakuan eksistensi Negara Israel.
Seluruh tindakan yang dirintis dan dilakukan, baik secara rahasia
maupun terang-terangan oleh para pemimpin pengkhianat itu berhasil mengukuhkan
target-target yang disusun AS dan Israel. Seluruh negara Arab, akhirnya
mengakui eksistensi Israel sebagai sebuah negara yang berdaulat, tanpa bisa
dicegah lagi. `Loyo'nya negara-negara Arab amat gamblang dipertontonkan pada
saat Israel memasuki kawasan Libanon (tahun 1982), tanpa ada satu negara Arab
pun yang berani mengusiknya. Dengan didukung milisi Kristen Phalangis, dan
Presiden Libanon Basyir Gemayel, Israel memporak-porandakan kawasan Selatan
Libanon dengan dalih memburu dan menangkapi gerilyawan-gerilyawan Palestina.
Semua ini terjadi karena tindakan Arafat, Meski dalam anggaran
dasar PLO nyata-nyata Israel itu dicap sebagai musuh dan kewajiban PLO untuk
mengusir Israel, namun Arafat tanpa rasa malu menerima resolusi PBB No. 242 dan
338 yang mengakui eksistensi negara Israel.
PLO dan Arafat
Setelah diusirnya ribuan gerilyawan Palestina dari wilayah
Libanon, pemerintah pengasingan Palestina terbentuk. Cita-cita mereka hanya
satu, yaitu berhasil mewujudkan negara Palestina di Wilayah jalur Gaza dan tepi
barat sungai Yordan. Maka diaturlah berbagai macam perundingan yang amat
panjang, dengan kompensasi pengakuan PLO akan eksistensi negara Israel. Untuk
melicinkan rencananya itu Arafat tidak segan-segan menyingkirkan tokoh garis
keras PLO, Abu Musa dan kawan-kawan. la dibunuh di Tripoli (Libanon). Ia juga
membiarkan begitu saja tangan kanannya, Abu Nidal, dibunuh oleh Yahudi, tanpa
bereaksi ataupun membalasnya.
Penyimpangan PLO yang dipimpin Arafat makin kentara, dengan
merubah anggaran dasar PLO yang mencantumkan kata-kata Israel sebagai teroris
yang harus diperangi. Ini diikuti dengan larangan kepada warga Palestina untuk
memusuhi dan membunuh warga Yahudi. Dahulu orang-orang Yahudi dianggap musuh
yang harus dimusnahkan… Orang-orang yang memusuhi Yahudi dan proses perdamaian
dicapnya sebagai pengkhianat dan musuh.
Martabat Arafat yang telah melacurkan dirinya untuk AS dan Yahudi
sudah sangat jelas. Sejak pengakuannya terhadap eksistensi Israel, diterimanya
ide pemerintahan pengasingan Palestina di Tunisia agar Israel dengan
semena-mena menjalankan rencananya di tanah Palestina, berdamai dengan Yahudi
(Camp David), merasa puas dengan diberinya secuil tanah (Jericho) sebagai pusat
pemerintahan Palestina, hingga diserahkannya al-Quds di bawah kontrol PBB yang
nyata-nyata dicukongi AS, adalah bukti-bukti nyata tindakan Arafat yang
menjijikkan. Belum lagi kesengajaannya membiarkan tragedi Black September,
Sabra dan Shatilla, hingga yang terakhir dikorbankannya ratusan pemuda-pemuda
Palestina dalam peristiwa dua bulan lalu sebagai tumbal untuk memuluskan
rencananya bersama Yahudi dan AS, dalam rangka mengokohkan perdamaian abadi di
tanah Palestina bersama-sama dengan Yahudi. Bukankah tanah Palestina adalah
tanah milik kaum muslimin yang dirampas oleh Yahudi melalui peperangan. Maka
bagaimana mungkin akal sehat menerima sikap Arafat yang rela hidup berdamai
dengan si perampas tanah yang telah membunuh ribuan jiwa kaum muslimin,
mengusir, memenjarakan, menganiaya ribuan lagi lainnya. Lebih celaka lagi bahwa
ia mau menerima eksistensi negara Israel, di atas tanah miliknya dan milik kaum
muslimin. Dan mengusir serta memerangi siapapun dari kaum muslimin yang ingin
mengusir dan melawan Israel. Menyedihkan!
Jika demikian keadaannya, mengapa kaum muslimin masih menaruh
harapan dan percaya kepada Arafat dan para pemimpin negara-negara Arab, yang
jelas-jelas telah berkhianat terhadap Islam dan kaum muslimin. Tidakkah
bukti-bukti tersebut sudah lebih dari cukup?
Harapan Membentang
Melihat perjalanan panjang krisis Palestina, tampak jelas bahwa
keadaan yang ada sekarang tidak lepas dari rekayasa jahat musuh-musuh Islam.
Ide berdirinya negara Palestina yang sekuler dan berazaskan nasionalisme,
hanyalah mengukuhkan kedudukan Israel dan negara-negara Barat, yang menjadi
pendukung zionis. Itu berarti makin menyulitkan kaum muslimin menyatukan
negeri-negeri Islam dalam naungan satu negara, yaitu negara khilafah Islamiyah.
Oleh karena itu ide mendirikan negara Palestina harus ditolak!
Selain itu keberadaan negara zionis Israel di atas tanah Palestina
sudah jelas, yaitu sebagai perampas yang mengambil paksa melalui pengusiran,
pemenjaraan, penganiayan dan pembunuhan atas kaum muslimin selama hampir
seratus tahun. Tangan-tangan najis Yahudi telah mengotori tanah yang diberkati
Allah Swt., tempat yang di dalamnya terdapat masjid al Aqsha, tempat suci
ketiga bagi kaum muslimin. Shalat di dalamnya diganjar 500 kali dibandingkan
dengan masjid-masjid lainnya. Tempat mi'raj-nya Nabi Saw. Dan tanah kaum
muslimin yang berada dalam naungan Daulah Khilafah sejak masa Umar bin
Khaththab ra. Selama 13 abad tanah milik kaum muslimin itu diperoleh dan
dipertahankan dengan mengorbankan ratusan ribu syuhada. Dengan demikian, tanah
palestina dan masjid al-Aqsha terkait dengan akidah Islam dan hukum-hukum
khusus menyangkut tempat suci tersebut. Lalu, bagaimana mungkin tanah itu
dilepaskan dan diberikan kepada Yahudi -makhluk terhina di dunia- begitu saja
oleh Yaser Arafat dan para penguasa Arab yang berkomplot dengan AS dan Yahudi?
Solusi dan jalan satu-satunya menghadapi krisis Palestina hanya
satu, yaitu berjihad fi sabilillah, untuk mengusir dan memerangi Yahudi Israel
di atas tanah Palestina hingga keluar dari wilayah itu dan negeri-negeri lslam
lainnya. Dan hukumnya adalah fardhu. Meskipun kita menyadari, bahwa jihad fi
sabilillah yang sesungguhnya tidak mungkin bersandar pada para
penguasa-penguasa muslim yang ada sekarang. Sebab mereka semuanya adalah kaki
tangan dan agen-agen negara Barat, terutama AS. Jihad yang sesungguhnya baru
bisa dijalankan jika kaum muslimin berada di bawah kekuasan yang satu, pemimpin
tunggal yang menjalankan sistem Islam secara total, yang teritorialnya mencakup
seluruh negeri-negeri Islam. Dengan kata lain, hal itu baru bisa diwujudkan
setelah ada Daulah Khilafah Islamiyah.
Sumber: Majalah al-Wa’ie edisi 3
Tidak ada komentar:
Posting Komentar