Bagaimana dengan hukum
Islam? Apakah bisa menjadi oase di tengah kehausan rasa keadilan? Wartawan
Tabloid Media Umat Joko Prasetyo berbincang dengan Ketua DPP Rokhmat S. Labib. Berikut petikannya.
Bagaimana
tanggapan Anda dengan penegakan hukum di Indonesia?
Saya melihat ada dua
masalah. Pertama, hukumnya itu sendiri
sudah bermasalah, rusak dan bobrok. Kedua,
penegakan hukumnya di tangan orang yang bermasalah.
Bagaimana
yang Anda maksud?
Hukuman penista agama
maksimal 5 tahun penjara. Itu maksimal. Kalau dibandingkan dengan hukum Islam kan jauh sekali. Dalam Islam, penista agama
Islam itu bisai sampai dihukum mati. Itu artinya, penista Allah SWT, penista
Rasulullah SAW dan penista Al-Qur’an itu termasuk perbuatan kriminal yang
sangat berat.
Sangat berat dilihat
dari sisi hukumannya. Sampai hukuman mati itu menunjukkan berat sekali. Berarti
melebihi pencuri yang hanya dipotong tangannya, melebihi minum minuman keras
yang hanya dicambuk 40 atau 80 kali.
Ini juga bagian dari
bentuk menjaga kesucian Islam agar tidak dinodai atau dinistakan. Agar
pelakunya tidak mengulangi dan tidak ditiru oleh orang lain.
Kalau
dari sisi penegakan hukumnya?
Semua orang sudah tahu
bagaimana penegakan hukum d negeri ini. Bisa dipermainkan. Semua tergantung
dari tawar-menawar antara pengacara, JPU dan hakim. Karena maksimal 5 tahun,
maka JPU bisa menuntut beberapa tahun saja, bahkan tidak menuntut dihukum kecuali
dalam 2 tahun ke depan melakukan kesalahan yang sama, langsung dipenjara satu
tahun. Itulah makna dari hukuman satu tahun dengan masa percobaan dua tahun
yang dituntutkan oleh JPU. Jadi hukumnya sudah bobrok, aparat hukumnya juga
lebih rusak lagi.
Mengapa
itu semua bisa terjadi?
Karena hukum yang
ditegakkan bukan hukum Allah SWT tetapi hukum buatan manusia sendiri. Oleh
karena itu, tidak akan dihasilkan keputusannya yang adil. Sebab, hanya hukum
Allah SWT yang adil dan benar.
Selain itu, ketika
hukum tidak berasal dari Allah SWT, maka dorongan untuk menegakkannya juga amat
lemah. Sebagai gambaran, ketika polisi menangkap pencuri misalnya, jaksa
menuntut hukuman, atau hakim menjatuhkan vonis hukum, tidak ada dalam pikiran
dan hati mereka bahwa ini sedang menjalankan perintah Allah. Atau terbersit
pikiran bahwa jika tidak menjalankannya sesuai hukum itu akan masuk Neraka.
Kenapa? Karena mereka menegakkan hukum itu bukan didasarkan keyakinan bahwa
hukum itu diwajibkan Allah SWT untuk ditegakkan dan jika melanggarnya akan
mendapatkan dosa.
Ketika itu semua tidak
ada dalam pikiran dan hati mereka, maka tidak ada dorongan aqidah. Nilai yang
ingin didapatkan paling-paling hanya qimah
madiyyah atau nilai materi. Bahkan tidak ada qimah akhaliqiyyah atau nilai akhlak maupun qimah insaniyyah atau nilai kemanusiaan.
Mengapa
begitu?
Kapitalisme dan
sekularisme adalah biangnya. Dalam sistem kehidupan tersebut, maka kehidupan
manusia didominasi pandangan materialistis. Semua diukur dengan materi dan
uang. Ini juga merembet kepada aparat penegak hukum. Maka jangan heran jika
pengacara, JPU dan hakim juga melakukan tawar-menawar dalam keputusan hukum.
Bayangkan saja, hakim
itu gajinya per bulan dan honor per kasus. Dan itu jumlahnya sangat kecil bila
dibandingkan dengan penghasilan pengacara per kasus.
Jadi
wajar kalau pengadilan malah memenangkan penjahat...
Iya. Orang yang
dirampas atau ditipu misalnya, bisa kalah di pengadilan. Karena yang menipu
memiliki uang yang banyak hasil rampasan, maka bisa membayar pengacara yang
paling mahal. Tak hanya itu, dia bahkan bisa menyuap hakimnya. Sedangkan yang
ditipu karena sudah ditipu uangnya tinggal sedikit atau bahkan habis, maka ia
tidak bisa membayar pengacara. Kalaupun bisa, barangkali yang kualitasnya juga
rendah.
Maka, kemungkinan
besar orang yang korban penipuan atau perampasan itu akan kalah di pengadilan.
Seandainya penipu kalah di pengadilan, dia bisa naik banding. Dia bisa
melakukan karena punya uang sementara korbannya sudah kehabisan uang. Bisa
ditebak, siapa yang akan dimenangkan pengaduan.
Yang
berkuasa adalah mereka yang punya uang...
Iya, kalaupun para
koruptor atau para penjahat lainnya sampai dihukum, di dalam penjara seperti
tidak dalam penjara. Di dalam penjara bisa karaoke, dibuatkan kamar khusus, ada
salon segala. Ada juga meski dipenjara, bisa jalan-jalan ke Bali nonton tenis.
Kalau
dilihat dari akar masalahnya, mengapa itu semua bisa terjadi?
Karena, diakui atau
tidak, asas atau dasar negara ini adalah sekularisme. Menyingkirkan aturan
Allah SWT dari kehidupan berbangsa dan bernegara. Di antara akibatnya,
menjadikan materi segala-galanya. Yang berkuasa adalah pemilik materi alias
para pemodal atau kapitalis. Dan bukan di bidang peradilan saja. Dalam politik,
ekonomi, dan bidang-bidang lainnya pun demikian.
Kalau
dalam peradilan Islam ada naik banding juga?
Tidak ada. Sehingga
tidak bertele-tele dan menghabiskan dana. Ketika diputus hakim, ya sudah tidak
bisa naik banding. Tetapi yang pasti hukumnya itu berdasarkan hukum Islam.
Hukum Islam itu kan dari Allah, pasti
adil.
Peluang
pengacaranya dibayar mahal dan hakimnya disuap?
Peluang untuk itu
sangat kecil. Karena bukan hanya aparat, kesadaran hukum di Daulah Islam
ditanamkan pula kepada seluruh rakyat dengan disentuh keimanannya. Misalnya,
kalau bersalah, merampas uang atau korupsi misalnya, jangan menuntut untuk
diringankan hukuman atau malah tidak ngaku
salah sehingga minta dibebaskan. Karena dosanya akan lebih besar dan nanti
masuk Neraka. Kalau rela dihukum pakai hukum Islam, dosanya akan dihapuskan.
Demikian juga hakim dan jaksa, bila bersekutu dengan pihak yang bersalah untuk
memenangkan perkaranya, sama saja dengan memesan tempat di Neraka.
Aspek keimanan dengan
dorongan ruhiyahnya ini justru yang dijauhkan dari negara sekuler-kapitalis.
Sekarang ini, orang yang mengingatkan agar selalu mengingat Allah dengan
menerapkan hukum-hukum-Nya disebut radikal. Orang ngaji
saja disebut radikal, dianggap mengancam negara lalu dibubarkan. Itu
masalahnya. Coba sekarang kita katakan bahwa hakim harus menerapkan syariah
Islam, belum-belum kita sudah disebut makar. Bagaimana coba? Jadi memang
sengaja dijauhkan.
Selain haram membuat
hukum dan menegakkan hukum buatan manusia, yang pasti hukum buatan manusia
tidak menghapus dosa pelaku kejahatan yang dihukum. Jadi rakyat rugi. Sudah
dipenjara, tidak menghapus dosa, di Akhirat masuk neraka. Maka tidak ada
pilihan lain bagi umat Islam selain menuntut agar hanya syariah Islamlah yang
diterapkan oleh negara.[]
Sumber: Tabloid Media
Umat edisi 196
---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar