Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan kembali menetapkan full day
school sebagai bagian dari kebijakan Program Pendidikan Karakter (PPK).
Konsep yang sudah diwacakan sejak 2016 lalu itu, akan memberlakukan jam belajar
lima hari, masing-masing 8 jam perhari.
Namun, beberapa elemen
meragukannya. Anggota Komisi X DPR RI Reni Marlinawati berpendapat, sedari awal
pemerintah berkomitmen melakukan kajian komprehensif terhadap rencana tersebut.
Tapi, masyarakat belum mendapatkan hasil dari kajian tersebut.
Walhasil, rencana
tersebut bakal menimbulkan polemik baru di tengah masyarakat.” Karena sampai
saat ini kita belum mendapatkan kajian atas rencana penerapan program
tersebut,” ujarnya, Senin (12/6). (hukumonline.com, 12/6/17).
Namun, ada juga yang
mendukung. Seperti Maarif Institute. Direktur Eksekutif Maarif institute
Abdullah Darraz menyatakan, kebijakan full day
school bisa berperan menangkal radikalisme. "Kebijakan ini tentunya
memiliki peran lebih aktif dan leluasa dalam upaya melawan radikalisme yang
seringkali dilakukan di luar jam sekolah," paparnya, Senin (12/6).
(rmol.co, 12/6/17).
Belum
Tentu Cocok
Program full day school sejatinya bukan barang baru.
Sudah banyak diterapkan oleh sekolah, baik swasta maupun negeri. Sekolah negeri
setingkat SMU di kota-kota besar, banyak yang menerapkan. Jam belajar
Senin-Jumat pukul 07.30 hingga pukul 15.00 WIB. Sabtu-Ahad libur. Selama lima
hari itu, sehari-hari ada kegiatan keagamaan seperti tadarusan, shalat dhuha,
dan ekstrakurikuler seperti pramuka, jurnalistik, seni, olahraga, dll.
Lantas apa kegiatan
anak-anak di waktu libur ini? Kebanyakan mengikuti kegiatan orang tuanya,
seperti ke mal atau sekadarjalan-jalan ke lokasi wisata. Bila tidak keluar
rumah, umumnya anak-anak ini hanya asyik bermain gadget,
browsing internet, main game atau kegiatan yang berkaitan dengan
teknologi lainnya.
Rutinitas di sekolah
yang sudah berlangsung hingga sore, menutup peluang mereka untuk belajar yang
lain. Bahkan sekadar ke masjid belajar agamapun, malas. Kecuali les-les privat
menjelang ujian, dibela-belain, karena
paradigma belajar untuk mengejar nilai.
Anak-anak remaja ini
jadi jarang berinteraksi dengan lingkungan. Sudah lelah, akhirnya lebih betah
di rumah. Tak heran bila anak-anak zaman sekarang kurang mengenal lingkungan
tetangga, terutama jika tidak ada teman sebaya di sekitarnya.
Sementara itu, di
level SD atau SMP, masih banyak yang menerapkan jam belajar minim. Belajar
pukul 07.30-10.00, atau maksimal 12.00. Penyebabnya, kurangnya sarana dan
prasarana. Bahkan ada SD yang masih menerapkan rombongan belajar (rombel)
siang, karena ruang kelasnya harus bergiliran dengan rombel lainnya. Terutama
sekolah-sekolah di desa.
Di beberapa wilayah,
anak-anak level SD atau SMP banyak yang sekolah dua kali. Pagi di sekolah umum,
sore sekolah madrasah atau TPA-TPA. Mereka menimba ilmu agama lebih intensif
kepada para ustaz-ustazah baik di sekolah maupun masjid, karena tidak didapatkan
di sekolah pagi. Bukankah di SD umum anak-anak tidak diajarkan membaca
Al-Qur’an? Mereka bisa membaca Al-Qur’an karena ngaji
intensif di luar sekolah. Maka, penerapan full
day school bagi kalangan seperti ini, tidak cocok.
Apakah mampu
mengakomodasi kebutuhan akan ilmu-ilmu agama yang selama ini di dapat di luar
lembaga resmi sekolah? Berbeda dengan kalangan yang mampu menyekolahkan
anak-anaknya di sekolah Islam terpadu (SIT), yang umumnya hanya bisa diakses di
perkotaan dan biayanya juga tidak murah.
Maka, jika konsep full day school untuk mengakomodasi kebutuhan
pelajaran agama anak-anak, harus didukung. Tentu dengan syarat, perbaiki dulu
sarana dan prasarananya, tambah guru-guru agamanya yang mumpuni, sediakan ruang
belajar yang representatif, dan perbaiki kurikulum berbasis agama. Bukan
berbasis sekuler. Bisakah?
Kokohkan
Liberalisme
Sejak institusi
Khilafah Islamiyah yang menerapkan Islam kaffah diruntuhkan, terjadilah proses
sekulerisasi di berbagai bidang. Hukum agama, dipisah dari hukum perdata.
Sekolah umum, dipisah dengan sekolah agama (pesantren). Akibatnya, anak didik
yang sekolah umum, tidak belajar agama kecuali sangat sedikit.
Sekolah umum ini juga
tidak memotivasi anak didik untuk menjadi pribadi-pribadi pembelajar yang haus
ilmu agama. Bahkan tidak sadar bahwa mereka wajib belajar agama. Belajar agama
benar-benar diabaikan. Ini semua buah dari penjajah kafir yang menghancurkan
peradaban Islam.
Saat ini, para
pengemban ideologi kufur itu tidak ingin anak-anak Muslim bangkit. Pendidikan
merupakan lembaga paling ampuh untuk mencegah kebangkitan itu, sekaligus
mengokohkan penjajahan ideologi kufur Barat.
Kurikulum pendidikan,
salah satu pintu utama penjajahan pola pikir. Sekolahlah tempat penanaman
nilai-nilai Barat, menanamkan paradigma berpikir yang menjauhkan anak didik
dari agama. Sehingga, diharapkan lahir pribadi-pribadi pemuja konsep sekuler
dan liberal.
Maka, pemberlakuan full day school hari ini tidak bisa dipisahkan
dari adanya agenda sekulerisasi kaffah melalui sistem pendidikan. Hasil dari
rancangan para penjajah kafir yang tidak ingin anak-anak dibina dengan agama,
baik di bangku sekolah maupun di luar sekolah.
Mereka justru ingin
mencegah anak-anak mempelajari Islam kaffah di luar jam sekolah. Sementara di
sekolah, dibuatkan kurikulum agama yang berbasis sekuler. Seperti kurikulum
Islam moderat, Islam Nusantara, dan Islam toleran. Bahkan, monsterisasi ajaran
Islam seperti konsep jihad, khilafah,
dll. Konsep-konsep yang semula baru dicekokkan di level perguruan tinggi, ingin
ditanamkan lebih dini ke anak didik dengan modus full
day school.
Ilmuwan
Kaffah
Saat ini, banyak
ilmuwan hasil didikan sekolah sekuler yang memiliki karakter sebagai munafiqun. Mengaku beragama Islam, tapi
menolak ajaran Islam. Bagaimana tidak, sejak SD sampai perguruan tinggi mereka
duduk di bangku sekolah sekuler.
Sekolah yang tidak
menomorsatukan agama, bahkan menjauhkan pembahasan ilmu dan sainstek dari
agama. Para ilmuwan yang tidak mengaitkan ilmu-ilmunya dengan wahyu Allah SWT.
Lebih parah lagi, mereka belajar agama justru di negeri Barat yang kufur.
Konsep full day
school di era
sekuler hanya akan semakin menancapkan nilai-nilai sekuler yang bertentangan
dengan Islam. Solusi satu-satunya untuk mencegah lahirnya
ilmuwan-ilmuwan yang tidak membela agama Islam ini adalah mengganti sistem
pendidikan menjadi sistem berbasis Islam. Tidak boleh ada pemisahan antara ilmu
dan sains dengan wahyu Allah.
Anak
didik sejak level dasar, harus mengutamakan belajar agama dibanding sainstek.
Menyelaraskan semua iptek dengan ajaran agama, halal-haram serta baik-buruk
berdasar timbangan syariat Islam. Hanya dengan cara ini lahir para pembelajar
sejati. Ilmuwan yang semakin tinggi level belajarnya, semakin takwa, semakin
dekat dengan Allah SWT. Hal ini hanya bisa diwujudkan melalui tegaknya Khilafah
Islamiyah. Allahu Akbar! []kholda
Sumber: Tabloid Media
Umat edisi 199
---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar