Melalui Perpres Ekstremisme—Peraturan Presiden No. 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme Tahun 2020-2024 (RAN PE)—rezim hendak membawa masyarakat melakukan tindakan yang sangat riskan, ungkap Cendekiawan Muslim Muhammad Ismail Yusanto saat diwawancarai wartawan Tabloid Media Umat Joko Prasetyo. Tindakan riskan apa itu? Bagaimana masyarakat harus bersikap?
Jawabannya ada pada petikan di bawah ini.
Bagaimana tanggapan Anda dengan adanya Perpres Ekstremisme (RAN PE), benarkah ada banyak bahaya di sana?
Pada Latar Belakang Perpres itu disebutkan bahwa rencana aksi ini bertujuan untuk menangani pemacu (drivers) terjadinya apa yang disebut Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme, yaitu (1) kondisi kondusif dan konteks struktural; dan (2) proses radikalisasi.
Dijelaskan, bahwa kondisi kondusif dan konteks struktural yang dimaksud, antara lain kesenjangan ekonomi, marginalisasi dan diskriminasi, tata kelola pemerintahan yang buruk, pelanggaran HAM dan lemahnya penegakan hukum serta konflik berkepanjangan.
Tapi bila kita membaca keseluruhan dokumen ini tetap saja tidak bisa ditutupi bahwa yang utama dari progam aksi ini adalah kontra radikalisasi dan deradikalisasi.
Proses radikalisasi yang dimaksud dalam dokumen ini, meski dijabarkan menjadi beberapa faktor, antara lain latar belakang dan motivasi individu, memosisikan diri sebagai korban (victimization) dan kekecewaan kolektif serta distorsi terhadap pemahaman tertentu (yang berakar dari kepercayaan, ideologi politik, etnis dan perbedaan budaya, jejaring sosial, serta kepemimpinan), tetap juga tidak bisa ditutupi bahwa yang dimaksud radikalisme utamanya adalah menyangkut pemahaman agama.
Hal ini tampak bahwa tujuan program melawan radikalisme ini tak lain adalah terwujudnya moderasi agama. Dan agama apa yang dimaksud di sini, bila bukan Islam?
Hal lain yang sangat menonjol dari program ini adalah, bahwa implementasi RAN PE ini menekankan pada keterlibatan menyeluruh pemerintah dan masyarakat (whole of government approach and whole of society approach), di antaranya para guru dan dosen, pimpinan Ormas, organisasi kepemudaan, pimpinan badan usaha, media massa dan lembaga pendidikan, bahkan juga pengurus tempat ibadah.
Berarti rezim sedang melakukan perang semesta, bukan hanya terhadap perbuatan tetapi juga terhadap pemikiran?
Ya, jelas sekali. Di Pilar 1 dalam dokumen itu disebutkan hendak dikembangkan sistem deteksi dini berbasis komunitas untuk pencegahan ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme di tingkat nasional dan lokal yang berupa hotline pengaduan dan pendampingan.
Di poin lain disebutkan deteksi dini terhadap tindakan dan sikap atau pendapat dari apa yang disebut ekstremisme berbabis kekerasan yang mengarah pada terorisme.
Jadi jelas sekali, rezim hendak membawa masyarakat untuk melakukan tindakan yang sangat riskan, karena terkait dengan sesuatu yang sangat esensial pada setiap orang, yakni menyangkut sikap dan tindakan, yang sebagian besarnya tentu berpangkal pada ajaran agama.
Artinya, melalui program ini, rezim telah nyata-nyata mengajak masyarakat untuk turut mempersoalkan keyakinan agama orang lain, iya kan?
Masyarakat pun akan terpecah dan diadu-domba ya?
Ya. Pasti. Apalagi nanti akan dibuatkan hotline pengaduan. Perpres ini telah secara nyata membawa masyarakat untuk mengambil peran polisi.
Di dalamnya dokumen ini memang disebut dengan istilah program sosialisasi pemolisian masyarakat. Sehingga nanti akan timbul saling curiga. Masyarakat akan terbelah, antara sebagian anggota masyarakat yang merasa diawasi dan sebagian lagi mengawasi.
Ada agenda apa sebenarnya di balik ini semua?
Semua ini tidak bisa dilepaskan dari apa yang disebut oleh Daniel Pipes, pendiri Middle East Forum yang juga dikenal sebagai dalang gerakan Islamophobia dalam artikel berjudul “Rand Corporation and Fixing Islam" dengan istilah religious building. Yakni upaya untuk membangun agama Islam alternatif “untuk menghancurkan Islam militan”. Tapi tujuan panjangnya, menurut Daniel Pipes adalah 'modernisasi Islam.' Perang melawan Islam militan inilah yang sering disebut sebagai perang melawan radikalisme atau war on radicalism.
Mengapa dikatakan perang melawan radikalisme?
Tahun 2007, Rand Corporation menerbitkan dokumen Building Moderate Muslim Networks. Dokumen ini memuat langkah-langkah membangun Jaringan Muslim Moderat pro-Barat di seluruh dunia.
Di sana dikatakan bahwa Barat memandang, upaya umat Islam untuk kembali kepada kemurnian ajaran setelah periode keterbelakangan dan ketidakberdayaan dunia Islam yang panjang, adalah suatu ancaman bagi Barat, terhadap peradaban dunia modern dan bisa mengantarkan kepada Clash of Civilization (Benturan Peradaban).
Untuk tidak menjadi ancaman, dunia Islam harus dibuat ramah terhadap demokrasi dan modernitas serta mematuhi aturan-aturan internasional untuk menciptakan perdamaian global. Karena itu diperlukan pemetaan kekuatan dan pemilahan kelompok Islam untuk mengetahui siapa kawan dan lawan bagi Barat, mana yang ingin diperkuat, siapa akan dijadikan anak didik, serta pengaturan strategi dengan pengolahan sumberdaya yang ada di dunia Islam. Di situlah perang melawan radikalisme menemukan titik relevannya.
Dan menurut Anda ini hakikatnya adalah memerangi Islam?
Iya, jelas sekali, seperti yang dibilang oleh Daniel Pipes tadi. War on radicalism adalah kedok untuk maksud sesungguhnya yakni war on Islam. Tentu yang dimaksud bukan Islam secara keseluruhan, tapi Islam politik atau Islam ideologis. Yakni Islam yang menghendaki tegaknya syariah secara kaffah guna mengatur kehidupan masyarakat dan negara agar bisa terwujud rahmat bagi sekalian alam yang telah dijanjikan Allah.
Berarti apa yang dilakukan rezim ini sejalan dengan agenda Barat ya?
Ya, jelas sekali. Lihat saja, sebelum ini, rezim ini juga sudah bertindak. Membubarkan HTI, lalu FPI — dua organisasi yang dikategorikan sebagai kelompok radikal- persis seperti yang disebut oleh Rand Corporation tadi. Selain itu juga menahan HRS, dan sejumlah tokoh lain. Kini rezim menerbitkan Perpres RAN PE yang di dalamnya disebut ada program pelatihan bagi penceramah agama dan penataan kurikulum pendidikan agama di tingkat dasar, menengah dan tinggi untuk mendorong lahirnya moderasi beragama.
Lantas, apa yang harus dilakukan para aktivis Islam yang dicap radikal oleh rezim?
Jelas Perpres ini akan menambah hambatan dakwah. Dan ini bukan hambatan ringan, karena dibangun di atas tubuh umat itu sendiri. Tapi dakwah tidak boleh berhenti, karena ATHGR (ancaman, tantangan, hambatan, gangguan dan rintangan) dalam dakwah itu biasa. Para pengemban dakwah pasti tahu hal itu.
Maka, tidak selayaknya kecut, apalagi kemudian mundur dari gelanggang. Penting untuk terus memperkuat ukhuwah di antara sesama pengemban dakwah khususnya, dan taqarrub ilallah agar kita semakin dekat kepada Allah. Sungguh tidak ada daya dan kekuatan kecuali dariNya.
Apa pula yang harus dilakukan masyarakat umum menyikapi Perpres ini?
Umat dan masyarakat luas harus sangat mengkritisi Perpres ini, bila perlu dilakukan penolakan secara masif. Karena Perpres ini sangat berbahaya, dan sangat merugikan usaha integrasi sosial di kalangan masyarakat yang selama ini sudah susah dibangun.[]
Sumber : Tabloid Media Umat edisi 283
Tidak ada komentar:
Posting Komentar