Indonesia darurat
ketahanan keluarga. Menteri Agama Lukman Hakim bereaksi, karena peningkatan
angka perceraian rata-rata mencapai 10 hingga 15% di seluruh Indonesia. ”Karena
itu, laki-laki harus tahu fungsi suami dan perempuan paham fungsi istri,"
tegasnya dalam situs kemenag.go.id
Nah, untuk mengatasi
persoalan tersebut, solusi yang ditawarkan adalah mewajibkan pasangan yang akan
nikah untuk mengantongi sertifikat pranikah. ”Yang akan menikah harus memiliki
sertifikat kursus pra-nikah," kata Menag, (10/11/2016) lalu dalam pembukaan
Mukernas I MUI Pusat, di Hotel Mercure, Ancol, Jakarta Utara.
Tentu saja, solusi ini
hanya parsial. Tidak akan mampu mewujudkan ketahanan keluarga hanya dengan
kursus singkat yang menjelaskan fungsi suami-istri. Karena, persoalan mendasar
gagalnya kerumahtanggaan, bukan sekadar gagal pahamnya suami-istri dalam memainkan
peran. Lebih dari itu, ada campur tangan negara dengan sistem kehidupannya yang
menyebabkan suami-isteri tak berdaya menjalankan fungsi idealnya.
Keluarga
Liberal = Keropos
Perceraian bukan
satu-satunya problem kerapuhan keluarga-keluarga Indonesia. Kondisi keluarga
utuh pun, keropos di dalamnya. Bersatu memang, ayah-ibu ada, anak tampak
baik-baik saja. Tetapi tiba-tiba meledak kasus-kasus seperti: suami menembak
istri, istri bunuh diri, ibu bunuh anak, ayah-ibu mengajak anak bunuh diri,
ayah memperkosa anak, anak memperkosa ibu, anak hamil di luar nikah, ibu jual
anak, dan sebagainya. Keluarga macam apa ini? Itu adalah keluarga sekuler yang
cenderung liberal. Potret keluarga yang cenderung mengadopsi nilai-nilai
liberal sebagai pondasi, hingga menghasilkan keluarga keropos. Kelihatannya
utuh, ayah ada, ibu ada, anak-anak tampak baik baik saja. Tetapi di dalamnya
kering akan nilai-nilai kekeluargaan. Kerontang dari akidah dan syariah Islam.
Keluarga liberal
bercorak materialistis. Mengutamakan kebutuhan materi dibanding kebutuhan
non-materi. Keluarga liberal lebih banyak menghabiskan uang dan waktunya untuk
memenuhi kesenangan jasmani. Merasa cukup dan bahagia jika materi tercukupi.
Tetapi, batin tersiksa. Tidak pernah merasa puas. Jenuh. Stres. Selalu haus
mencari kebahagiaan lain, pelampiasan lain dan berujung pada kehancuran.
Pendidikan
Berbasis Islam
Perhatian terhadap
ketahanan dan ketangguhan keluarga jangan sampai baru dimulai setelah kasus
perceraian merebak. Terlebih lagi jika perhatiannya sekadarnya saja. Padahal
perceraian itu hanya puncak dari kegagalan pemerintah republik dalam memilih
sistem hidup yang menjamin ketahanan keluarga. Sistem yang komprehensif,
mencakup aspek pendidikan, ekonomi, sosial, hukum dan pemerintahan.
Aspek pendidikan
misalnya, di mana kurikulum sekuler justru mendidik dengan pemahaman yang sesat
tentang makna keluarga. Seperti menanamkan nilai-nilai emansipasi pada anak
didik, sehingga kaum wanita terdorong mengejar karier, meskipun harus melawan
suami dan fitrahnya sendiri.
Diajarkan pula
kurikulum kesehatan reproduksi ala liberal, yang mengajarkan wanita berhak atas
organ reproduksinya sendiri, berhak menolak hamil meski atas permintaan suami,
dll. Padahal inilah pemicu liberalnya wanita, liberalnya keluarga dan berujung
hancurnya rumah tangga.
Idealnya, pembentukan
keluarga yang kokoh dimulai sejak dini, melalui proses pendidikan berbasis
akidah Islam. Dari pendidikan yang ditempuh, pola pikir dan pola sikap
terbentuk. Kepribadian atau syakhsiyah
Islam terwujud sehingga menjadi pribadi yang tangguh. Pribadi yang agamis,
Islami dan menomorsatukan nilai-nilai spiritual, jauh dari nilai-nilai liberal.
Pribadi seperti ini
juga akan melangsungkan pernikahan dan membentuk keluarga dengan visi akhirat,
bukan duniawi semata. Mencari pasangan satu visi, satu akidah. Maka ia akan
membentuk keluarga ideologis yang tangguh.
Cegah
Kerapuhan
Dalam Negara Khilafah
Islam, upaya yang dilakukan untuk mencegah kerapuhan keluarga dan mewujudkan
keluarga-keluarga yang tangguh antara lain:
Pertama, terapkan kurikulum pendidikan
berbasis akidah Islam untuk membentuk kepribadian mulia, jauh dari nilai
liberal. Siapkan generasi muda agar kelak membangun keluarga dengan visi
akhirat, yakni melahirkan generasi penerus yang berguna bagi umat, bangsa dan
agama.
Kedua, tegakkan sistem sosial yang memisahkan
dengan tegas interaksi laki-laki dan perempuan. Karena itu, negara wajib
melarang segala event berbentuk
campur-baur laki-laki-perempuan. Misalnya konser musik, pertunjukan bioskop/movie box, dll.
Ketiga, haramkan dan larang pacaran. Beri
sanksi tegas bagi pelakunya. Pacaran adalah pintu perzinaan. Banyak keluarga
yang dibangun didahului pacaran malah bubar, karena kemesraan telanjur diumbar
saat belum halal, terbiasa melanggar syariat.
Keempat, haramkan dan berangus hingga akarnya
segala bentuk pornografi dan rangsangan syahwat di ranah publik. Tegakkan
regulasi ketat terhadap media massa yang dijadikan sarana penyebaran
kemaksiatan. Keterbukaan informasi telah mengganggu keharmonisan keluarga,
disebabkan besarnya godaan dari berbagai media.
Kelima, permudah lapangan pekerjaan bagi
laki-laki baligh. Anak laki-laki yang sudah baligh, harus didorong dan diberi
kesempatan untuk bekerja dan mencari nafkah. Jangan dimanjakan dengan dianggap
masih anak-anak. Kerja keras sejak dini membentuk mental baja saat sudah
berkeluarga.
Keenam, jamin kesejahteraan keluarga sehingga
tidak ada alasan untuk bercerai karena persoalan ekonomi. Murahkan segala
kebutuhan keluarga dengan sistem ekonomi Islam.
Ketujuh, permudah pernikahan dan persulit
perceraian. Pintu pernikahan harus dipermudah agar tidak merajalela pergaulan
bebas. Sementara itu, perkuat pendidikan bagi keluarga-keluarga, baik
pendidikan untuk ayah maupun ibu, agar terus terjadi keharmonisan sehingga
tidak mudah ketok palu perceraian.
Tegakkan
Sistem Islam
Mewujudkan ketahanan
keluarga di tengah sistem bukan-Islam demokrasi, masih jadi pekerjaan rumah
yang berat bagi umat. Karena, kehancuran keluarga melanda berbagai strata.
Mulai kalangan bawah hingga atas banyak keluarga bubrah.
Semua itu karena negara menerapkan pondasi salah sekulerisme. Padahal, negara
adalah tiang penyangga (soko guru) tegaknya keluarga-keluarga tangguh. Maka
tidak ada kata lain, negara harus diganti pondasi sekulerismenya dengan pondasi
Islam. Hanya dengan cara itu ketahanan keluarga akan siap menghadapi tantangan
zaman, baik di dunia maupun akhirat.
Bacaan: Tabloid Media
Umat edisi 186
---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar