Bagaimana Khilafah menyikapi Syi'ah
37. Bagaimana
Khilafah menyikapi Syi'ah?
Perpecahan Sunni-Syi'ah telah menjadi tema berulang dalam sejarah Islam.
Dari perang-perang berdarah hingga gerakan pemisahan yang saling menuding
kufur. Bagi Barat perpecahan ini digunakan sebagai dalih bahwa konsep satu Umat
itu kuno dan Islam tidak mampu menangani perbedaan sektarian. Dengan memeriksa
banyak peristiwa tragis yang mengakibatkan perpecahan nampak bahwa Sunni dan
Syi'ah punya pendirian yang sama terhadapnya.
Khilafah tidak akan memandang Syi'ah dari perspektif emosi atau
sejarah, karena itu semua tidak berguna dalam proses penggalian hukum.
Faktanya, bahkan melihat fikih dari perspektif Sunni atau Syi'ah tidaklah tepat
karena duduk perkaranya adalah apakah Islam membolehkan pengadopsian sebuah
pendapat tertentu atau tidak. Kerangka untuk melihat perbedaan ini adalah
apakah sumber hukum Islam membolehkan pengadopsian suatu pendapat dan bukan
apakah suatu pendapat itu diambil dari fikih Sunni atau Syi'ah.
Pendapat-pendapat Syi'ah terhadap politik dan pemerintahan selama ghaybah,
telah menjadi titik perdebatan di antara para ulama Syi'ah selama berabad-abad.
Apa yang ada hari ini dalam hal Wilayat ul-Faqih, yaitu seorang penguasa
yang mujtahid haruslah jadi penguasa, adalah respon terhadap fakta bahwa sistem
Islam tidak bisa ditunda selama ghaybah. Maka terdapat banyak pendapat
tentang politik dan pemerintahan di antara Syi'ah.
Maka selain perbedaan tentang kualitas siapa yang harus memerintah,
Syi'ah realitanya adalah sebuah madzhab, sebagaimana banyak madzhab yang ada.
Maka selama sebuah madzhab tidak menyalahi dalil qath'i, dia akan diperlakukan
dengan aturan Islam terkait. Maka siapapun yang menganggap Imam Ali ra. adalah
seorang nabi berarti bertentangan dengan dalil-dalil qath'i dalam Qur'an,
demikian pula mereka yang menganggap Imam Ali sebagai sang pencipta: mereka
telah dibunuh karena murtad oleh Ali ra. sendiri. (Lebih lanjut lihat 'Islamic
State,' Hizb ut-Tahrir)
38. Bagaimana
Khilafah bisa berfungsi padahal ada banyak perbedaan di antara kaum Muslim?
Problem di tanah Muslim adalah karena perbedaan semu, semacam garis
batas negara kebangsaan, bendera nasional, lagu nasional, dan nasionalisme. Banyak
perbedaan yang ada bukan pada keyakinan umat, tapi pada perkara dan pendapat
kecil. Problem-problem muncul ketika tidak ada mekanisme dan kekuasaan sah
untuk menangani perbedaan, khususnya terkait kehidupan masyarakat dan publik,
sehingga menghasilkan kebingungan dan konflik.
Dunia Muslim perlu kekuatan pemersatu, yang telah gagal diciptakan oleh
52 negara kebangsaan di atas tanah Muslim. Penerapan Islam akan bertindak
sebagai faktor pemersatu yang kuat, yang akan menembus batas-batas palsu. Saat
ini para penguasa Muslim yang ada bermain atas perbedaan-perbedaan itu untuk
menjaga agar Umat terpecah-belah dan dalam rangka menghentikan oposisi terhadap
kekuasaan mereka.
Dalam Khilafah, Khalifah adalah penyelesai perkara dalam semua urusan,
dan semua persengketaan diajukan kepadanya untuk diputuskan. Karena Khalifah
punya wewenang dari Islam untuk mengadopsi dan menerapkan pendapat Syari'ah
atas masyarakat, tidak ada konflik yang bisa muncul karena semua pihak
diwajibkan oleh Islam untuk mematuhi perintah Khalifah. Mekanisme ini tidak ada
di dunia Muslim saat ini, itulah yang menjadi akar masalahnya. (Lebih rinci
rujuk "Islamic Personality Vol I" Hizb ut-Tahrir)
39. Akankah
Khilafah membangun masyarakat berdasarkan 'kesetaraan'?
Semua aturan Islam diterapkan atas Muslim dan non-Muslim tanpa kecuali.
Dengan cara ini Islam mencapai keadilan dengan menerapkan aturan yang sama atas
tiap orang.
Hari ini konsep kesetaraan masih menjadi tolok ukur untuk mengatur
hubungan antara pria dan wanita dan menjadi alat bagi hak-hak wanita. Dari
perspektif sejarah, bobot yang besar telah diberikan pada diskusi seputar
'kesetaraan', dan pada arti khusus telah diterima, oleh para penulis Barat.
Problem pemahaman Barat tentang kesetaraan sesungguhnya ada dalam
pemikiran bahwa tidaklah laki-laki maupun perempuan ada di bawah salah satunya.
Kesetaraan mengharuskan persamaan antar jender dan itu dianggap memperbaiki
kesalahan dalam sejarah. Ia meninggalkan banyak pertanyaan tak terjawab. Ia
tidak membahas bagaimana cara terbaik laki-laki dan perempuan bisa bekerjasama
untuk menguatkan masyarakat sehingga kohesif. Dalam konteks yang lebih luas
kesetaraan itu sendiri sangat terbatas dalam menangani perselisihan dan
mengatur hubungan yang muncul di antara orang. Ide sederhana kesetaraan manusia
tidak memberi petunjuk bagi perkara perbedaan dan fakta ini memunculkan
perlunya tambahan rincian, ide-ide dan prinsip-prinsip.
Perbedaan laki-laki dan perempuan memunculkan kebutuhan khusus dan
perselisihan rumit, yang pengaturannya akan menjadi elemen utama dalam
memastikan kohesi sosial. Kegagalan apapun dalam memahami atau mengatur
kebutuhan dan perselisihan ini gara-gara ide kesetaraan akibatnya bisa fatal.
Bukannya menggariskan hak-hak laki-laki dan hak-hak perempuan, kesetaraan
memandang hak-hak perempuan adalah apa yang menjadi hak-hak laki-laki – padahal
pandangan itulah yang menjadi masalah. (Lebih lanjut lihat 'Does Islam opress
Women,' Khilafah.com)
Bagaimana Khilafah
menyikapi Syi'ah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar