Kasus foxMeyer: kegagalan pengimplementasian ERP
Karena kompetisi yang ketat, FoxMeyer membutuhkan solusi yang tepat yang akan membantunya untuk membuat rantai keputusan yg rumit dan meningkatkan penekanan cost. Di awal 90an, manajemen memutuskan untuk memfokuskan strategi bisnis pentransferan perusahaan ke dalam low distributor untuk meningkatkan
competitive advantage dan secara bersamaan menyediakan jasa terdiferensiasi untuk target customer yg berbeda. Berdasarkan pada supply chain analysis, Ia memutuskan bahwa ERP akan memberikan solusi terbaik pada FoxMeyer untuk menyediakan informasi yg tepat waktu, otomatis dan mengintegrasikan system sediaan (inventory).
Ini diperkirakan akan mengeliminasi aktivitas yang tidak penting, membangun tingkat inventory yg tepat dan menyediakan responsive customer services. Idealnya, dengan ERP system, perusahaan akan mampu memanage pesanan, sediaan, dan aktivitas penjualan dalam satu system yang expected to streamline operations and menyediakan distribusi yg efisien dari resep obat yg merupakan komponen penting dari sebuah industri farmasi.
Di tahun 1992, perusahaan memutuskan untuk menggunakan jasa Arthur Andersen
consulting company untuk mengimplementasikan SAP (R/3), sebuah soft ware ERP (menggunakan their Anderson Consulting Group). FoxMeyer memilih top consultant dan menggunakan software yg paling banyak digunakan untuk menjamin kesuksesan implementasi.
SAP (systemanalyse and programmentwicklung) adalah vendor ERP terbesar pada saat itu. Di tahun 2001, SAP masih merupakan supplier software terbesar di dunia dan merupakan vendor soft ware terbesar keempat di dunia. Software ini membantu perusahaan menghubungkan proses bisnisnya sehingga keseluruhan perusahaan bias berjalan lancar. Pada awal th 1990an R/3 merupakan komoditas yg sedang hot. FoxMeyer seperti perusahaan lainnya, ikut menggunakan software tsb. Karena reputasinya dank arena rekomendasi konsultan.
The consultant_Andersen Consulting
Andersen hingga saat ini memiliki lebih dari 15000 konsultan IT yg didedikasikan untuk membantu klien dlm memperbaiki hasil bisnisnya dg mengimplementasikan solusi IT. Kekuatan global capability Andersen dlm kaitannya dengan SAP yaitu mengaplikasikan metodologi dan sarana yg ditawarkan kpd kliennya dg pengimplementasian SAP. Sarana-sarana yg digunakan oleh Andersen selalu konsisten dengan pendekatan SAP dan sesuai (complementary) dg SAP. Dg kata lain, Andersen seakan-akan menjadi konsultan tg paling dapat dipercaya untuk pengimplementasian SAP system.
THE IMPLEMENTATION OF SAP R/3 AT FOXMEYER
Pada September 1993, FoxMeyer menandatangani kontrak dengan SAP, Andersen Consulting and Arthur Andersen & Co. (AA), the parent company of Anderson Consulting, untuk mengimplementasikan R/3 software. Proyek jutaan dollar ini meliputi seluruh supply chain—penggudangan, inventory control, customer service, marketing,
strategic planning, information system, pengiriman dan handling. SAP R/3 adalah system informasi yg pertama kali diloncingkan di industry farmasi yg menggunakan teknologi extensive di rangkaikan dengan fungsi gudang automatis.
Cost untuk pengimplemantasian SAP dianggarkan pd 1994 sebesar US$65 juta. Anggara ini meliputi:
● US$4.8juta client/server computer system dari Hewlett Packard,
● US$4juta SAP software,
● beberapa juta dollars untuk biaya konsultasi kpd Andersen Consulting,
● US$18juta untuk 340,000 square-foot baru computerized warehouse di
Washington Court House, Ohio, yg mana computerized robots filled orders received
dari rumah sakit dan apotik.
The ERP system diproyeksikan untuk menghemat US$40juta per tahun di FoxMeyer. Pada musim panas 1994, FoxMeyer menandatangani kontrak distribusi besar yg dibutuhkan untuk menambah 6 gudang. SAP and Anderson menjadwalkan impleementasi di gudang tsb untuk January and February 1995.
Kemudian mereka berencana untuk mengimplementasikan R/3 di 17 gudang lama. Namun demikian, di bln November 1994, SAP menginformasikan kpd FoxMeyer bahwa R/3 hanya bias diimplementasikan di gudang barunya saja. Gudang lain yg memiliki volume faktur yg lebih besar daripada system ini dapat diproses. The R/3 system pada gudang yg baru bisa menangani 10000 transaksi per hari, sedangkan system yg sebelumnya dapat menangani 420,000 transaksi per hari. FoxMeyer memulai penggunaan R/3 tepat pada saat fasilitas dan pesanan pelanggan terpenuhi. Namun demikian, karena kesalahan data, customers sales histories menjadi tidak accurate. On top of that the physical move of inventory was done carelessly.
Therefore, the benefits from forecasting inventory needs was limited. FoxMeyer harus mengeluarkan sekitar US$16juta untuk memperbaiki kesalahan dalm pesanan selama 6 minggu pertama. Maka dari itu, FoxMeyer hanya merealisasikan penghematan setengah dari yg telah diproyekkan. Beberapa masalah tidak dapat diperbaiki, memaksa dan yg terlihat berikutnya adalah kebangkrutan. Tagihan Implementasi terakhir lebih dari US$100juta, tetapi kinerja R/3 masih tak bias diterima. R/3 bekerja dg lambat, melebihi anggaran, dan gagal mengirimkan keunyungan yg diharapkan.
Untuk sebuah perusahaan dlm bisnis yg bermargin rendah, dg beban hutang yg banyak, kerugiannya menjadi berlimpahan/ banyak sekali. Setelah mengeluarkan US$34juta untuk menutupi pengiriman yg blm terkumpul dan cost sediaandi th 1996, FoxMeyer terpaksa mengajukan pernyataan bangkrut. FoxMeyer mengalami beban pengeluaran yg sangat banayk untuk membeli computer baru, software dan konsultan. Di bln November 1996, McKesson Corp., pesaing terbesar FoxMeyer mengakuisisi FoxMeyer hanya seharga US$80juta.
Pada tahun 1998, dewan pengawas (trustee) kebangkrutan FoxMeyer mengeluarkan dua tuntutan terpisah masing-masing US$500juta, tuntutan tsb diajukan kepada SAP dan Andersen Consulting. FoxMeyer menuduh SAP telah berbuat curang, lalai dan melanggar kontrakuntuk menawari FoxMeyer untuk berinvestasi pada system yang gagal mengirim dan menyebabkan Kematian FoxMeyer. Andersen Consulting dituduh lalai dan melanggar kontrak karena kegagalannya untuk memanage implementasinya dengan baik. Keduanya menyangkal dan menyalahkan FoxMeyer atas kesalahan management nya(mismanagement). The cases were still in court
the time this case was written (summer 2001).
6. POOR PLANNING AND IMPLEMENTATION(perencanaan dan implementasi yang jelek)
kegagalan ERP dapat dilihat dari dua perspektif:
(1) Jeleknya pemilihan software—SAP R/3 was originally designed for manufacturing
companies and not for wholesalers, especially those doing large number
of transactions. R/3 has never been used by a distributor until that time.
It lacked many requirements needed for successful wholesale distribution.
SAP R/3 was inflexible software, and any modification required time and fi-
nancial investment. R/3 was unable to handle the large number of orders.
FoxMeyer filled orders from thousands of pharmacies, each of which have
had hundreds of items, totalling up to 500,000 orders per day. The legacy
system handled 420,000 orders per day, but SAP only processed 10,000
orders daily ( 2.4% of that of the legacy system).
(2) Tidak mempertimbangkan nasihat konsultan lain—FoxMeyer did not listen to
other consultants’ advice in the early stage of the project, A Chicago-based
consultant firm warned FoxMeyer that SAP would not be able to deliver
what FoxMeyer needed. FoxMeyer selected SAP mainly because of its
reputation.
(3) kurangnya perencanaan terhadap kemungkinan yang akan terjadi (contingency planning)—there was no contingency planning to deal with
changes in the business operations. For example, a major customer, Phar-
Mor Inc. that accounted for more than 15% of FoxMeyer’s business,
declared bankruptcy shortly after FoxMeyer’s launched SAP. Much of the
Phar-Mor business was gone to competitors.
(4) Tidak adanya keterlibatan pengguna akhir(No end user involvement)—The project was done using a top-down approach.
Perencanaan dilakukan oleh manajemen atas (upper management) FoxMeyer, Andersen consulting dan orang-orang teknis lainnya. Hanya sedikit end user yg berpartisipasi di dalam analisis dan proses desain. Sehingga ada jurang pemisah komunikasi antara pengguna dengan perencana system.
Process implementasi diserang oleh masalah –masalah berikut ini:
(1) Tidak ada restukturisasi proses binis yg dikerjakan(No restructuring of the business process was done)—SAP was not fully integrated
because FoxMeyer was incapable of reengineering their business processes
in order to make the software more efficient. FoxMeyer signed a 5-year,
US$5 billion contract with a new customer, University HealthSystem
Consortium in July 1994, on the assumption that a projected US$40m in
benefits from the SAP implementation would be materialized. They placed a
higher priority on meeting that customer’s need than on making the SAP
implementation success. The delivery was scheduled to start in early 1995,
but FoxMeyer pushed the implementation deadline forward 90 days to meet
their customers needs. Thus, FoxMeyer sacrificed the needed business reengineering
processes.
(2) Pengujian yang tidak mencukupi(Insufficient testing)—Due to the rushed schedule, some modules testing was
skipped. Besides, the system was not properly tested to identify its shortcoming
in handling large amounts of orders. There was inadequate testing
and insufficient time to debug the system to ensure its functionality.
(3) Jangkauan proyek yg terlalu ambisius(over ambitious project scope)—the project team members and information system
staff were unfamiliar with the R/3 hardware, systems software and application
software. The project scope was enlarged with simultaneous implementation
of a $18m computerized warehouse project. Some technical
problems of great complication and were not managed well by the IS people,
so additional expenditures and time were incurred.
(4) Kepentingan pribadi spesialis IT yang mendominasi (Dominance of IT specialists’ personal interes)t—since the project was new for the
wholesaling industry, the IT specialists wanted to learn the system and secure
their employment in the SAP technology business. (The SAP experience
made them more employable). They placed their personal interest of getting
experience in SAP implementation over the company’s interest in getting
suitable software technology. So some system problems were hidden and not
reported to management until it was too late.
(5) Rendahnya dukungan management(Poor Management support)—initially management were supportive and committed to the project. However, once the implementation started, management was reluctant to acknowledge the system problems. Management failed to understand the complexity and risks in the process and agreed to have 90 days early implementation although the system was not fully tested. Management failed to recognize the timelines and resources required in the implementation process.
(6) Kurangnya kerjasama end user (lack of end-user cooperation)—the user requirements were not fully addressed
and there was no training for end users. Employees had no chance to express
their priorities and business needs. Workers especially at the warehouses
were threatened by the implementation. The automated warehouse
created many problems. Employee morale was low because of the layoffs.
They knew their jobs were soon to be eliminated. As the end users were not
fully involved, they felt they didn’t have the ownership for the project and
did not work closely with the IT specialists to solve problems.
Pelajaran yg dpt diambil- bagaimana menghindari kegagalan seperti itu
Planning
Pemilihan software
Contingency plan
Keterlibatan stakeholders
Implementasi
pencantuman pentingnya business process reengineering
pengujian dengan teliti
jangkauan proyek yang realistis
mencari dukungan end user
Pemonitoran yang dekat terhadap status proyek
mengadakan review implementasi.
ijin nyimak yh mas !!
BalasHapusinfo nya berguna bgt untuk tugas kuliah saya,.
salam kenal!
R-dh3