Unduh BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Sabtu, 19 Maret 2016

Tanpa Khilafah aktivitas politik dalam Islam tidak akan sempurna


 

 
Siapapun yang tidak berjuang untuk mewujudkan Khilafah, sementara dia mampu, maka dosanya besar. Rasulullah SAW menunjukkan hal ini dalam sabdanya:
مَنْ خَلَعَ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ لَقِيَ الله يَوْمَ الْقِيَامَةِ لاَ حُجَّة لَه وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً
"Siapa saja yang melepaskan tangannya dari ketaatan, niscaya ia akan berjumpa dengan Allah di Hari Kiamat tanpa memiliki hujjah. Dan siapa saja yang mati sedangkan di lehernya (tengkuknya) tidak ada bai'at (kepada khalifah), maka matinya adalah mati jahiliyyah." (HR. Muslim no.1851 dari Abdullah bin Umar; Imam al-Baihaqi)

Imam Muslim meriwayatkan hadits ini di dalam Shahih-nya dari dua jalur. Pertama: dari ‘Ubaidullah bin Mu’adz al-‘Anbari, dari Muadz al-‘Anbari, dari ‘Ashim bin Muhammad bin Zaid, dari Zaid bin Muhammad. Kedua: dari Ibn Numair, dari Yahya bin Abdullah bin Bukair, dari Laits, dari ‘Ubaidullah bin Abi Ja’far, dari Bukair bin Abdullah bin al-Asyaj. Keduanya (Zaid bin Muhammad dan Bukair) dari Nafi, dari Ibn Umar ra.
Adapun Imam al-Baihaqi meriwayatkan hadits ini di dalam Sunan al-Kubra dari jalur Nafi’ dan Salim dari Ibn Umar.

Al-Hakim di dalam al-Mustadrak meriwayatkan hadits senada dari jalur Nafi’ dari Ibn Umar. Disebutkan bahwa Rasul Saw. bersabda:
مَنْ خَرَجَ مِنَ الْجَمَاعَةِ قَيَدَ شِبْرٍ فَقَدْ خَلَعَ رِبْقَةَ الْإِسْلاَمِ مِنْ عُنُقِهِ حَتَّى يُرَاجِعَهُ وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ عَلَيْهِ إِمَامُ جَمَاعَةٍ فَإِنَّ مَوْتَتَهُ مَوْتَةً جَاهِلِيَّةً
“Siapa saja yang keluar dari jamaah sejengkal saja maka ia telah menanggalkan ikatan Islam dari tengkuknya hingga ia kembali. Siapa saja yang mati, sementara tidak ada atasnya Imam jamaah (khalifah) maka kematiannya laksana kematian jahiliyah.”

Makna sabda Rasul Saw. “mâta mîtatan jâhiliyyat[an]”, menurut Ibn Hajar al-‘Ashqalani, adalah kondisi kematian seperti kematian orang jahiliah di atas kesesatan, dan tidak ada untuk dirinya seorang Imam yang ditaati sebab mereka tidak mengenal yang demikian. Maksudnya, bukan berarti dia mati dalam keadaan kafir, tetapi mati dalam keadaan sedang bermaksiat. Dimungkinkan bahwa itu merupakan tasybîh (penyerupaan) menurut zhahir-nya; maknanya, dia mati seperti kematian orang jahiliah meski ia bukan orang jahiliah; atau bahwa hal itu dinyatakan sebagai larangan dan peringatan/celaan.

عن عبادة بن الصامت قال: بَايَعْنَا رَسُوْلَ اللهِعَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي الْمَنْشَطِ وَالْمَكْرَهِ، وَأَنْ لاَ نُنَازِعَ الأَمْرَ أَهْلَهُ، وَأَنْ نَقُوْمَ أَوْ نَقُوْلَ بِالْحَقِّ حَيْثُمَا كُنَّا لاَ نَخَافُ فِي اللهِ لَوْمَةَ لاَئِمٍ
“Kami membaiat Rasulullah Saw. untuk mendengar dan menaati (perintahnya), baik senang (merasa ringan) maupun benci (merasa berat). Dan kami tidak akan merebut urusan (kekuasaan) itu dari pemiliknya; juga kami akan berbuat dan mengatakan dengan benar dan adil, serta kami tidak akan takut karena Allah terhadap celaan orang yang suka mencela.” (Shahih Bukhari, Kitab: al-Ahkam , Bab: Kaifa yubaya’ al-imamu an-nas, no. 7199; Shahih Muslim, Kitab: al-Imarah, Bab: Wujub tha’atil umara, no: 1709)

Imam Abu Ya’la Al Farra` (w. 458 H) dari Mazhab Hambali berkata:
( نَصْبَةُ اْلإِمَامِ وَاجِبَةٌ وَ قَدْ قَالَ أَحْمَدُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ فِيْ رِوَايَةِ مُحَمَّدِ ابْنِ عَوْفِ بْنِ سُفْيَانَ الْحِمْصِيِّ " ألْفِتْنَةُ إذَا لَمْ يَكُنْ إمَامٌ يَقُوْمُ بِأَمْرِ النَّاسِ“ ).
Mengangkat seorang Imam (Khalifah) hukumnya wajib. Imam Ahmad ra. dalam riwayat Muhammad bin Auf bin Sufyan Al Himshi berkata,Adalah suatu cobaan, jika tak ada seorang Imam (Khalifah) yang menegakkan urusan manusia.” (Abu Ya’la Al Farra`, Al Ahkam As Sulthaniyyah, hlm. 19)

Rasulullah Saw. mewajibkan kepada kaum muslimin agar di pundaknya terdapat bai’at. Sementara itu, setelah Beliau wafat, bai’at tidak dilakukan kecuali kepada seorang Khalifah. Dengan kata lain, Rasulullah memerintahkan agar di tengah-tengah kaum muslimin, senantiasa ada seorang Khalifah yang dibai’at oleh mereka. Perintah ini bersifat tegas, karena disertai dengan indikasi tegas (qarinah jazimah), yakni pernyataan Rasulullah bahwa orang yang di atas pundaknya tidak terdapat bai’at seperti mati dalam keadaan jahiliyah. Dalam kaidah ilmu ushul, sebuah perintah bila dikaitkan dengan keimanan, menunjukkan bahwa perintah itu bersifat tegas. Oleh Sebab itu, berdasarkan hadits ini, mengangkat Khalifah yang akan menerapkan hukum-hukum Allah Swt., hukumnya wajib, sebab hanya dengannyalah di pundak kaum muslimin terdapat bai’at. (Lihat: Ajhizatu Daulatil Khilafah fil Hukmi wal Idarah, dikeluarkan oleh Hizbut Tahrir, hal. 11)


Prof. Rawas Qal’ah Ji di dalam Mu’jamu Lughah al-Fuqaha’ (I/253) menjelaskan,
politik dalam Islam
adalah: ri’âyah syu‘ûn al-ummah bi ad-dakhil wa al-khârij wifqa asy-syarî’ati al-islâmiyyah; artinya pemeliharaan urusan umat di dalam dan luar negeri sesuai dengan Syariah Islam. Makna inilah yang ada dalam hadits Nabi Saw. riwayat Imam Muslim dari Abu Hurairah ra.: “Bani Israil itu diurus oleh para nabi (tasûsuhum al-anbiyâ’). Ketika seorang nabi wafat maka akan diganti nabi (yang baru). Namun tidak ada nabi setelahku dan akan ada para Khalifah dan jumlahnya banyak.”
Imam an-Nawawi dalam Shahih Muslim bi Syarh an-Nawawi (VI/316), menjelaskan pengertian tasusuhum al-anbiyâ’, yaitu mengatur urusan mereka sebagaimana yang dilakukan oleh para pemimpin dan wali terhadap rakyat-(nya).
Ringkasnya, politik dalam Islam adalah permeliharaan (ri’ayah) urusan umat di dalam dan luar negeri, yang subyeknya adalah negara dan umat. Negara secara real melaksanakan pemeliharaan itu. Umat melakukan kontrol terhadap ri’ayah oleh negara.
Dari situ, kita mafhum mengapa para fuqaha’ saat mengkaji masalah politik, selalu mengaitkan dengan Imamah atau Khilafah. Sebab, tanpa Khilafah dan Imamah, aktivitas politik dalam Islam tidak akan sempurna.
Pada dasarnya, seluruh kekuasaan di dalam Islam ditujukan untuk menegakkan hukum Allah SWT dan amar makruf nahi mungkar.

Sabda Rasulullah Saw.:

فَاْلإِمَامُ الأَعْظَمُ الذِّي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَتِهِ
Al-Imâmul A’zham (pemimpin tertinggi) masyarakat adalah pemimpin yang bertanggung jawab atas rakyatnya.” (HR. al-Bukhari)

Imam Abdul Qahir Al Baghdadi (w. 469 H) berkata:
( وَقَالُوْا فِي الرُّكْنِ الثَّانِيْ عَشَرَ الْمُضَافِ إِلىَ الْخِلاَفَةِ وَاْلإِمَامَةِ: إِنَّ اْلإِمَامَةَ فَرْضٌ وَاجِبٌ عَلىَ اْلأُمَّةِ، لِأَجْلِ إِقَامَةِ اْلإِمَامِ يَنْصِبُ لَهُمُ الْقُضَاةَ وَاْلأُمَنَاءَ، وَيَضْبَطُ ثُغُوْرَهُمْ، وَيُغْزِيْ جُيُوْشَهُمْ، وَيَقْسِمُ اْلفَيْءَ بَيْنَهُمْ، وَيَنْتَصِفُ لِمَظْلُوْمِهِمْ مِنْ ظَالِمِهِمْ ).
Mereka [ulama Ahlus Sunnah] berkata mengenai rukun ke-13 yang disandarkan kepada Khilafah atau Imamah: bahwa Imamah atau Khilafah itu fardhu atau wajib atas umat Islam, agar Imam dapat mengangkat para hakim dan orang-orang yang diberi amanah, menjaga perbatasan mereka, menyiapkan tentara mereka, membagikan fai` mereka, dan melindungi orang yang dizhalimi dari orang-orang yang zhalim.” (Abdul Qahir Al Baghdadi, Al Farqu Bainal Firaq, Juz 1 hlm. 340)

Imam al-Ghazali, di dalam Al-Iqtishad fi al-I’tiqad, hlm. 255-256 menyatakan, “Agama dan kekuasaan adalah dua saudara kembar. Agama adalah pondasi dan kekuasaan adalah penjaga. Sesuatu tanpa pondasi pasti akan runtuh dan sesuatu tanpa penjaga pasti akan hilang.”
Jadi, dalam Islam, politik itu perkara ma’lumun min ad-din bidh-dharurah.  Memisahkan politik dari Islam adalah pendiskreditan Islam. Ide pemisahan Islam dengan politik itu merupakan ide yang dibuat-buat yang sebelumnya tidak dikenal di dalam Islam.

Berkata Ibn Khaldun, “Khilafah membawa semua urusan kepada apa yang dikehendaki oleh pandangan dan pendapat Syar‘i tentang berbagai kemaslahatan akhirat dan dunia yang râjih bagi kaum Muslim. Sebab, seluruh keadaan dunia, penilaiannya harus merujuk kepada Asy-Syâri‘ (Allah SWT) agar dapat dipandang sebagai kemaslahatan akhirat. Jadi, Khilafah pada hakikatnya adalah Khilafah dari Shâhib asy-Syari’ (Allah), yang digunakan untuk memelihara agama dan mengatur urusan dunia.” (Ibn Khaldun, Muqaddimah, hlm. 190)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Download BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam