Imam
Syaukaniy ketika menafsirkan firman Allah Swt., surat An Nisa’ ayat 59
menjelaskan:
“وأولي الأمر هم : الأئمة ، والسلاطين ، والقضاة
، وكل من كانت له ولاية شرعية لا ولاية طاغوتية”
“Ulil
amriy adalah para imam, sulthan, qadhiy, dan setiap orang yang memiliki
kekuasaan Syar’iyyah bukan kekuasaan thaghutiyyah.” (Imam al-Syaukaniy, Fath
al-Qadiir, juz 2, hal. 166)
Urgensi
perjuangan untuk menegakkan Khilafah bukan semata karena Khilafah itu merupakan
jalan kemenangan, tetapi lebih dari itu, karena pertama-tama Khilafah merupakan
kewajiban agung, bahkan induk dan mahkota segala kewajiban. Dengannya, semua
hukum Syariat bisa ditegakkan, dan sanksi hukum bisa dilaksanakan. Tanpanya,
baik hukum maupun sanksi tidak akan bisa diterapkan di tengah-tengah umat
manusia. Kaidah fiqih menyatakan:
مَا لاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
“Suatu
kewajiban tidak akan sempurna, kecuali dengan adanya sesuatu, maka sesuatu itu
hukumnya wajib.”
Imam
al-Mawardi dari Mazhab Syafi’i mengatakan:
أَمَّا بَعْدُ
فَإِنَّ اللهَ جَلَتْ قُدْرَتُهُ نَدَبَ لِلْأُمَّةِ زَعِيْماً خَلَفَ بِهِ
النُّبُوَّةَ، وَحَاطَ بِهِ الْمِلَّةَ، وَفَوَّضَ إِلَيْهِ اَلسِّيَاسَةَ،
لِيَصْدُرَ التَّدْبِيْرُ عَنْ دِيْنٍ مَشْرُوْعٍ، وَتَجْتَمِعُ الْكَلِمَةُ عَلَى
رَأْيٍ مَتْبُوْعٍ، فَكَانَتْ الْإِمَامَةُ أَصْلاً عَلَيْهِ اِسْتَقَرَتْ
قَوَاعِدُ الْمِلَّةِ، وَاِنْتَظَمَتْ بِهِ مَصَالِحُ الْأُمَّةِ.
“Ammâ ba’du. Sungguh Allah Yang Maha Tinggi
kekuasaan-Nya menyuruh umat mengangkat pemimpin untuk menggantikan (masa)
kenabian, (yaitu) melindungi agama dan mewakilkan kepada dirinya pemeliharaan
urusan umat. Hal itu bertujuan agar pengaturan itu keluar dari agama yang
disyariatkan dan agar kalimat menyatu di atas pendapat yang diikuti. Karena itu
Imamah (Khilafah) adalah pokok yang menjadi pondasi kokohnya pilar-pilar agama
dan teraturnya kemaslahatan-kemaslahatan umat.” (al-Ahkām
as-Sulthāniyah wa al-Wilayāt ad-Dīniyah, hlm. 3)
Syaikh
Manshur al-Buhuti al-Hanbali dalam Kasysyaf
al-Qinâ’ ‘an Matn al-Iqnâ’ (xxi/61) juga menegaskan: “Mengangkat Al-Imam
al-A’zham (Khalifah) bagi kaum Muslim adalah fardhu kifayah.
Pasalnya,
manusia memerlukan itu untuk menjaga kesucian [Islam] dan mempertahankan
wilayah, menegakkan hudud, menunaikan hak-hak, memerintahkan kemakrufan dan
melarang kemungkaran.”
Imam
Fakhruddin Ar-Razi (w. 606 H) menyatakan:
وأجمعت الأمة
على أنه ليس لآحاد الرعية إقامة الحدود على الجناة بل أجمعوا على أنه لا يجوز
إقامة الحدود على الأحرار الجناة إلا للإمام فلما كان هذا التكليف تكليفاً جازماً
ولا يمكن الخروج عن عهدة هذا التكليف إلا عند وجود الإمام وما لا يتأتى الواجب إلا
به وكان مقدوراً للمكلف فهو واجب فلزم القطع بوجوب نصب الإمام .
“Umat
Islam telah bersepakat bahwa seorang rakyat tidak memiliki wewenang menerapkan
hudud atas para penjahat, bahkan mereka bersepakat bahwa menerapkan hudud atas
para penjahat merdeka tidak boleh kecuali hanya oleh seorang Imam (kholifah).
Maka tatkala taklif (kewajiban
menerapkan hudud) ini adalah bersifat pasti/harus, dan tidak ada jalan keluar
dari taklif ini kecuali dengan keberadaan seorang Imam, dan apa-apa yang wajib
tidak bisa dilaksanakan tanpanya, sedangkan ia dimampui oleh seorang mukallaf
maka dia hukumnya wajib. Maka secara pasti, hal tersebut meniscayakan wajibnya
mengangkat seorang Imam.” (Fakhruddin
Ar-Rozi, Mafatih Al-Ghayb fi At-Tafsir,
juz 11 hlm. 181)
وَلَوِ اسْتُعْمِلَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ يَقُودُكُمْ بِكِتَابِ اللَّهِ
فَاسْمَعُوا لَهُ وَأَطِيعُوا
“Seandainya
diangkat sebagai pemimpin atas kalian seorang (yang asalnya) hamba sahaya yang
memimpin kalian dengan Kitabullah maka dengar dan taatilah dia.” (HR.
Muslim [Kitab: al-Imarah, Bab: Wujub tha’atil umara, no: 1838], Ibn Majah,
an-Nasai, Ahmad)
Dalam
lafal lain, kata “wa law ustu’mila ‘alaykum…”
diganti dengan “wa in ummira ‘alaykum ‘abdun
habasyiyun (Jika diangkat amir atas kalian seorang (yang asalnya)
hamba sahaya Habasyi)…”
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوْا اللهَ، وَإِنْ أُمِّرَ عَلَيْكُمْ
عَبْدٌ حَبَشِيٌّ مُجَدَّعٌ، فَاسْمَعُوْا وأَطِيْعُوْا مَا أَقَامَ فِيْكُمْ
كِتَابَ اللهِ
“Wahai
manusia, bertakwalah kepada Allah. Jika diangkat amir atas kalian seorang (yang
asalnya) hamba sahaya Habasyi yang hitam legam maka dengar dan taatilah dia
selama dia menegakkan di tengah kalian Kitabullah.” (HR. at-Tirmidzi)
Wajibnya
Khilafah disepakati oleh semua mazhab ahlus sunnah dan bahkan selainnya.
Imam Ibnu Hazm (w. 456 H) berkata:
(
إتَّفَقَ جَمِيْعُ أهْلِ السُنَّةِ وَجَمِيْعُ الْمُرْجِئَةِ وَجَمِيْعُ
الشِيْعَةِ وَجَمِيْعُ الْخَوَارِجِ عَلَى وُجُوْبِ اْلإمَامَةِ... ).
“Telah sepakat semua Ahlus Sunnah, semua
Murji`ah, semua Syi’ah, dan semua Khawarij atas wajibnya Imamah (Khilafah)...” (Ibnu Hazm, Al Fashlu fi Al Milal wal Ahwa` wan Nihal, Juz 4
hlm. 87)
Dan
beliau mengatakan:
وأن الامة واجب
عليها الإنقياد لإمام عادل يقيم فيهم أحكام الله ويسوسهم بأحكام الشريعة التي آتى
بها رسول الله صلى الله عليه وسلم ،
“Dan
bahwa wajib atas umat untuk tunduk pada seorang Imam (Khalifah) yang adil, yang
menegakkan hukum-hukum Alloh Swt. di tengah-tengah mereka, serta mengurus
urusan-urusan mereka dengan hukum-hukum Syari’at yang dibawa Rosululloh
Saw.” (Ibn Hazm, Al-Fashl fi Al-Milal
wa Al-Ahwa’ wa An-Nihal, juz 4 hlm. 72)
Wajibnya Khilafah Dari Hadits-Hadits
Sabda
Rasulullah SAW:
إِذَا خَرَجَ ثَلاَثَةٌ فيِ سَفَرٍ فَلْيُؤَمِّرُوْا أَحَدَهُمْ
“Jika
keluar tiga orang dalam suatu perjalanan, maka hendaklah mereka memilih
pemimpin satu orang dari mereka.” (HR. Abu Dawud no.3608)
Hadits
tersebut menurut manthuq (makna
tersurat) mewajibkan adanya satu pemimpin untuk tiga orang dalam sebuah
perjalanan. Menurut mafhum mukhalafah
(makna tersirat yang berkebalikan dari makna tersurat) dari hadits tersebut,
yakni dari lafazh “ahadahum” (satu orang
dari mereka), berarti tidak boleh hukumnya mengangkat pemimpin lebih dari satu.
Dan jika untuk tiga orang dalam perjalanan saja tidak boleh mengangkat pemimpin
lebih dari satu, maka berdasarkan mafhum
muwafaqah (makna tersirat yang bersesuaian dengan makna tersurat),
berarti lebih tidak boleh lagi ada lebih dari satu Khalifah bagi seluruh kaum
muslimin di seluruh dunia. (Imam Syaukani, Nailul
Authar, 8/265)
Imam
Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa jika Islam mewajibkan pengangkatan seorang amir
(pemimpin) untuk jumlah yang sedikit (tiga orang) dan urusan yang sederhana
(perjalanan), maka berarti Islam juga mewajibkan pengangkatan amir (pemimpin)
untuk jumlah yang lebih besar dan untuk urusan yang lebih penting. (Ibnu
Taimiyah, Al-Hisbah, hlm. 11)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar