Perjuangan
itu pasti berhasil pada saatnya karena terdapat
Janji Kejayaan Umat Dari Allah Swt. Dalam al-Qur’an.
﴿وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَعَمِلُوا
الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُم فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ
مِن قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ
وَلَيُبَدِّلَنَّهُم مِّن بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْناً يَعْبُدُونَنِي لاَ
يُشْرِكُونَ بِي شَيْئاً وَمَن كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُوْلَئِكَ هُمُ
الْفَاسِقُونَ﴾(النور: 55)
“Dan
Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan
mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan
mereka berkuasa (layastakhlifannahum) di
muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka
berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah
diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka,
sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap
menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan
barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah
orang-orang yang fasik.” (QS. an-Nur [24]: 55)
Al-‘Allâmah
al-Qurthûbî menyatakan, bahwa ayat ini diturunkan kepada Nabi Saw. dan para
sahabat saat mereka mengeluhkan beratnya perjuangan memerangi musuh hingga
nyaris tak pernah meletakkan senjata. Lalu Allah pun menurunkan ayat ini, dan
memenangkan Nabi-Nya atas seluruh Jazirah Arab. (Al-Qurthûbî, Al-Jâmi’ li Ahkâmi al-Qur’ân, Dâr
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, XII/297)
Meski
demikian, janji yang dinyatakan oleh Allah SWT di dalam ayat ini tidak hanya
untuk Nabi Saw. dan para Sahabat, tetapi juga berlaku untuk seluruh umat
Muhammad Saw. sepeninggal mereka. (Muhammad Amîn as-Syinqîthî, Adhwâ’ al-Bayân, Dâr ‘Alam al-Kutub,
Beirut, VI/126)
Al-‘Allâmah
al-Hâfidh as-Syaukânî menyatakan:
هَذِه
الْجُمْلَةُ مُقَرِّرَةٌ لِمَا قَبْلَهَا مِنْ أَنَّ طَاعَتَهُمْ لِرَسُوْلِ اللهِ
صلى الله عليه وسلم سَبَبٌ لِهِدَايَتِهِمْ، وَهَذَا وَعْدٌ مِنَ اللهِ
سُبْحَانَهُ لِمَنْ آمَنَ بِاللهِ، وَعَمِلَ اْلأَعْمَالَ الصَّالِحَاتِ
بِاْلاِسْتِخْلاَفِ لَهُمْ فِي الأَرْضِ لِمَا اِسْتَخْلَفَ الذِّيْنَ مِنْ
قَبْلِهِمْ مِنَ الأُمَمِ، وَهُوَ وَعْدٌ يَعُمُّ جَمِيْعَ اْلأُمَّةِ. وَقِيْلَ:
هُوَ خَاصٌّ بِالصَّحَابَةِ، وَلاَ وَجْهَ لِذَلِكَ، فَإِنَّ اْلإِيْمَانَ،
وَعَمِلَ الصَّالِحَاتِ لاَ يُخْتَصُّ بِهِمْ، بَلْ يُمْكِنُ وُقُوْعُ ذَلِكَ مِنْ
كُلِّ وَاحِدٍ مِنْ هَذِهِ اْلأُمَّةِ، وَمَنْ عَمِلَ بِكِتَابِ اللهِ، وَسُنَّةِ
رَسُوْلِهِ، فَقَدْ أَطَاعَ اللهَ وَرَسُوْلَهُ
“Kalimat
ini menegaskan apa yang dinyatakan sebelumnya, bahwa ketaatan mereka kepada
Rasulullah Saw. merupakan sebab bagi mereka mendapatkan hidayah. Ini merupakan
janji dari Allah SWT bagi siapa saja yang beriman kepada Allah dan beramal
salih untuk memberikan kekuasaan (istikhlafi)
di muka bumi kepada mereka, sebagaimana Dia memberikan kekuasaan kepada
umat-umat sebelum mereka. Ini merupakan janji yang berlaku umum untuk seluruh
umat. Ada yang mengatakan, “Ini khusus untuk sahabat.” Namun, tidak ada alasan
untuk mengartikan demikian, karena iman dan amal salih itu tidak hanya khusus
untuk mereka. Sebaliknya, janji itu bisa berlaku bagi tiap umat, dan siapa saja
yang mengamalkan Kitab Allah, Sunnah Rasul-Nya dia sejatinya telah mentaati
Allah dan Rasul-Nya.” (Al-‘Allâmah al-Hâfidh as-Syaukânî, Tafsîr al-Qur’ân, Dâr al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, Beirut, 1997, IV/43)
Keumuman
cakupan janji Allah tersebut tampak dari shîghat yang
digunakan di dalam ayat tersebut, antara lain: “al-Ladzîna âmanû minkum wa ‘amilû as-shâlihât” (orang-orang
yang beriman dan beramal salih di antara kalian), serta kata ganti (dhamîr) yang berbentuk jamak, “hum” (mereka) yang kembali kepada “al-Ladzîna âmanû minkum wa ‘amilû as-shâlihât.”
Karena itu, menurut ar-Razi, ayat ini berlaku bagi orang-orang yang
mengumpulkan sifat “iman dan amal salih” dalam dirinya. (Al-Fakhr
ar-Râzî, Tafsîr ar-Râzî, Dâr
Ihyâ’ at-Turâts al-‘Arabi, Beirut, 24/415)
Bahkan
dengan tegas Imam al-Baidhâwî menyatakan, bahwa ini merupakan khithâb (seruan) untuk Rasul Saw. dan
umatnya. (Al-Baidhâwî, Tafsîr
al-Baidhâwi, Dâr al-Fikr, Beirut, IV/196)
Allah
SWT berfirman:
وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ
“Karena
itu hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakkal.” (QS. Ali
Imran [3]: 160)
]يا أيُّها الّذينَ آمَنوا إنْ تَنْصُروا اللهَ
يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أقْدامَكُمْ[
“Hai
orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan
menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (QS. Muhammad [47]: 7)
إِنَّ اللَّهَ يُدَافِعُ عَنِ الَّذِينَ آمَنُوا
إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ خَوَّانٍ كَفُورٍ
“Sesungguhnya Allah membela orang-orang yang telah
beriman. Sesungguhnya Allah tidak menyukai tiap-tiap orang yang berkhianat lagi
mengingkari ni‘mat.” (QS. Al-Hajj
[22]: 38)
Allah
Swt. berfirman:
﴿وَلَيَنْصُرَنَّ
اللَّهُ مَنْ يَنْصُرُهُ إِنَّ اللَّهَ لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ﴾
“Sesungguhnya
Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah
benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” (QS. al-Hajj [22]: 40)
Allah
juga berfirman, artinya:
“Sesungguhnya
Kami menolong rasul-rasul Kami dan orang-orang yang beriman dalam kehidupan
dunia dan pada hari berdirinya saksi-saksi (Akhirat)” (QS. al-Mu’min [40]: 51)
وَكَانَ حَقًّا عَلَيْنَا نَصْرُ الْمُؤْمِنِينَ
“Dan Kami selalu berkewajiban menolong orang-orang
yang beriman.” (QS. Ar-Rûm [30]: 47)
Ketika
kekuasaan Islam terwujud, ia akan menebarkan rahmat Syariah Islam.
Imam ‘Adhuddin Al Iiji (w. 756 H) berkata:
( نَصْبُ اْلإِمَامِ عِنْدَنَا وَاجِبٌ عَلَيْنَا
سَمْعًا... وَأَمَّا وُجُوْبُهُ عَلَيْنَا
سَمْعًا فَلِوَجْهَيْنِ: اَلْأَوَّلُ إِنَّهُ تَوَاتَرَ إِجْمَاعُ اْلمُسْلِمِيْنَ
فِي الصَّدْرِ اْلأَوَّلِ بَعْدَ وَفَاةِ النَّبِيِّ اِمْتِنَاعَ خُلُوِّ
اْلوَقْتِ عَنْ إِمَامٍ ... اَلثَّانِيُّ إِنَّهُ فِيْهِ دَفْعُ ضَرَرٍ مَظْنُوْنٍ
وَإِنَّهُ وَاجِبٌ إِجْمَاعًا ).
“Mengangkat Imam (Khalifah) bagi kami adalah
wajib atas kami secara naqli (sam’an). Adapun wajibnya hal itu atas kami secara naqli, karena dua alasan,
alasan pertama: telah diriwayatkan secara mutawatir adanya Ijma’ Kaum Muslimin
generasi awal (para shahabat) setelah Nabi SAW bahwa tidak boleh ada kekosongan
waktu dari adanya seorang Imam...
Alasan kedua: sesungguhnya pada yang demikian itu (pengangkatan Imam)
dapat menolak kemudharatan yang patut diduga akan muncul, dan bahwa hal itu
(menolak kemudharatan) adalah wajib menurut Ijma’.” (Imam ‘Adhuddin Al Iiji, Al
Mawaqif, hlm. 961)
Juga
berkata dalam al-Mawâqif:
“Maksud Asy-Syâri‘ (Allah
Swt.) dalam apa yang telah disyariahkan berupa muamalah, munâkahat, jihad, hudûd, peradilan, serta syiar-syiar Islam dan lainnya, semuanya
tidak lain merupakan kemaslahatan-kemaslahatan yang kembali kepada manusia.
Semua ini tidak akan terwujud kecuali dengan adanya seorang Imam (Khalifah)
yang menjadi rujukan dalam apa-apa yang diperselisihkan oleh para hamba.”
Imam Ibnu Hajar Al Asqalani (w. 852 H) berkata:
(وَأَجْمَعُوْا
عَلىَ أَنَّهُ يَجِبُ نَصْبُ خَلِيْفَةٍ وَعَلىَ أَنَّ وُجُوْبَهُ بِالشَّرْعِ لاَ
بِالْعَقْلِ ).
“Dan mereka [para ulama] telah sepakat bahwa
wajib hukumnya mengangkat seorang Khalifah dan bahwa kewajiban itu adalah berdasarkan Syara’ bukan logika akal.” (Fathul Bari, Juz 12 hlm. 205)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar