واتفق العلماء
على أنه لا يجوز أن يعقد لخليفتين في عصر واحد ، سواء اتسعت دار الإسلام أم لا
“Para
ulama sepakat bahwa tidak boleh diakadkan untuk dua Khalifah pada satu masa
baik Dâr al-Islam itu luas
atau tidak.” (An-Nawawi, Syarh An-Nawawi ‘ala Muslim, juz 12 hlm. 232)
Imam
As-Sinqithi (w. 1393 H) menyatakan:
قول جماهير
العلماء من المسلمين : أنه لا يجوز تعدد الإمام الأعظم ، بل يجب كونه واحدا ، وأن
لا يتولى على قطر من الأقطار إلا أمراؤه المولون من قِبَلِهِ ، محتجين بما أخرجه
مسلم في صحيحه من حديث أبي سعيد الخدري رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله
عليه وسلم: إذا بويع لخليفتين فاقتلوا الآخر منهما .
“Pendapat
jumhur ‘ulama muslimin: Bahwa berbilangnya Al-Imam al-A’zham (Khalifah) adalah
tidak boleh, bahkan wajib berjumlah satu, dan hendaknya tidak berkuasa atas
wilayah-wilayah (kekuasaan kaum muslimin) kecuali umara’ yang diangkat oleh
kholifah, mereka (jumhur ‘ulama) berhujjah dengan hadits sahih dikeluarkan oleh
Imam Muslim, dari Abu Sa’id Al-Khudri ra., bahwa Rosululloh Saw. bersabda:
“Jika dibai’at dua Kholifah maka bunuhlah
yang terakhir (diba’at) di antara keduanya.” (As-Sinqithi, Adhwa’ Al-Bayan fii Idhoh Al-Quran bi Al-Quran, juz 3 hlm. 39)
Juga
menyatakan: “Termasuk perkara yang sudah jelas (ma’lûmun
min adh-dharûrah ad-dîn) bahwa
kaum Muslim wajib mengangkat seorang Imam (Khalifah) yang kepadanya terhimpun
kalimat dan menerapkan hukum-hukum Allah Swt. di bumi-Nya.” (As-Sanqithi, Adhwâ’ al-Bayân, I/I50)
Setelah
memaparkan lima hadits di atas, Syekh Mahmud Abdul Majid Al Khalidi berkata:
“Lima
hadits ini –dan ia adalah hadits-hadits yang shahih– menunjukkan dengan jelas
mengenai kesatuan (ketunggalan) Khilafah, dan bahwa tidak boleh kaum muslimin
mempunyai negara kecuali satu negara saja.” (Mahmud Abdul Majid Al Khalidi, Qawa’id Nizham Al Hukm fil Islam, hlm. 316)
Khilafah
adalah kewajiban umat yang terpenting. Karena itu kaum Muslim wajib turut serta
aktif dalam menegakkan Khilafah. Mereka tidak boleh menjauhi, menolak apalagi
sampai menghalangi upaya penegakan Khilafah. Tindak demikian merupakan dosa
besar.
Imam Mawardi (w. 450 H) berkata:
(
وَعَقْدُهَا لِمَنْ يَقُوْمُ بِهَا وَاجِبٌ بِالْإجْمَاعِ وَإِنْ شَذَّ عَنْهُمُ
اَلْأَصَمُّ).
“Melakukan akad Imamah (Khilafah) bagi orang
yang [mampu] melakukannya, hukumnya wajib berdasarkan Ijma’, meskipun Al Asham
menyalahi mereka (ulama) [dengan menolak wajibnya Khilafah].” (Al Ahkam Al
Sulthaniyyah, hlm. 5)
Imam Qurthubi (w. 671 H) dari Mazhab Maliki berkata:
(
وَلاَ خِلَافَ فِيْ وُجُوْبِ ذَلِكَ بَيْنَ الْأُمَّةِ وَلاَ بَيْنَ الْأَئِمَّةِ،
إِلاَّ مَا رُوِيَ عَنِ الْأَصَمِّ، حَيْثُ كَانَ عَنِ الشَّرِيْعَةِ أَصَمُّ.
وَكَذَلِكَ كُلُّ مَنْ قَالَ بِقَوْلِهِ وَاتَّبَعَهُ عَلىَ رَأْيِهِ وَمَذْهَبِهِ
).
“Tidak ada perbedaan pendapat mengenai wajibnya
hal itu (mengangkat Khalifah) di antara umat dan para imam [mazhab], kecuali
apa yang diriwayatkan dari Al Asham, yang dia itu memang tuli dari Syariat.
Demikian pula setiap orang yang berkata dengan perkataannya serta mengikutinya
dalam pendapat dan mazhabnya.” (Imam
Qurthubi, Al Jami’ li Ahkamil
Qur`an, Juz 1 hlm. 264)
Imam
Abu Zakaria An-Nawawi dari mazhab Asy-Syaafi’i:
وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّهُ يَجِب عَلَى الْمُسْلِمِينَ نَصْبُ
خَلِيفَةٍ وَوُجُوبُهُبِالشَّرْعِ لَا بِالْعَقْلِ, وَأَمَّا مَا حُكِيَ عَنْ
الْأَصَمّ أَنَّهُ قَالَ: لَا يَجِبُ, وَعَنْ غَيْرِهِ أَنَّهُ يَجِبُ بِالْعَقْلِ
لَا بِالشَّرْعِ فَبَاطِلَانِ.
“…
dan mereka (para ulama) bersepakat bahwa wajib atas kaum muslim untuk
mengangkat seorang Kholifah, dan wajibnya berdasarkan Syari’ah bukan
berdasarkan logika akal. Adapun yang dikisahkan dari Al-Ashamm bahwa dirinya
berkata: tidak wajib, dan (yang dikisahkan) dari selainnya (yang mengatakan)
bahwa wajibnya berdasarkan logika akal bukan berdasarkan Syari’ah, maka
keduanya adalah pendapat yang bathil.” (An-Nawawi, Syarh Shohih Muslim, juz 6 hlm. 291)
Imam Ibnu Hazm (w. 456 H) berkata:
(وَاتَّفَقُوْا
أَنَّ الْإِمَامَةَ فَرْضٌ وَأَنَّهُ لاَ بُدَّ مِنْ إِمَامٍ حَاشَا
النَّجْدَاتِ...).
“Mereka (ulama) telah sepakat bahwa Imamah
(Khilafah) itu fardhu dan bahwa tidak boleh tidak harus ada seorang Imam
(Khalifah), kecuali An Najadat...” (Ibnu Hazm, Maratibul
Ijma’, hlm. 207)
Syeikh Wahbah Zuhaili berkata:
تَرَى
اْلأَكْثَرِيَّةُالسَّاحِقَةُمِنْعُلَمَاءِاْلإِسْلاَمِوَهُمْأَهْلُالسُّنَةِوَالْمُرْجِئَةُوَالشِّيْعَةُوَاْلمُعْتَزِلَةُإِلاَّنَفَراً
مِنْهُمْ، وَاْلخَوَارِجُمَا عَدَا النَّجْدَاتِ : )
أَنَّاْلإِمَامَةَأَمْرٌوَاجِبٌأَوْفَرْضٌمُحَتَّمٌ
“Mayoritas besar dari ulama Islam −yaitu ulama Ahlus Sunnah, Murji’ah, Syi’ah, dan Mu’tazilah kecuali segelintir
dari mereka, dan Khawarij kecuali An Najdat− berpendapat bahwa Imamah
(Khilafah) adalah perkara yang wajib atau suatu kefardhuan yang pasti.” (Wahbah Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, Juz VIII
hlm. 272)
Syeikh Abdullah bin Sulaiman bin Umar Ad Dumaiji berkata:
“Telah sepakat golongan terbesar dari kaum
muslimin atas wajibnya mengangkat Imam (Khalifah), dan tidak ada yang menyalahi
Ijma’ ini kecuali An Najdat dari Khawarij, juga Al Asham, dan Al Fuwathi dari Mu’tazilah.” (Abdullah Ad Dumaiji, Al Imamah Al ‘Uzhma ‘Inda Ahlis Sunnah wal
Jama’ah, (cet. I, 1407 H / 1987 M), hlm. 48-49)
Lantunan
Hanzhalah bin Ar-Rabi’ ra., sahabat sekaligus juru tulis Nabi Saw., saat beliau
menyaksikan konspirasi yang dilakukan sebagian penduduk Mesir, Kufah, dan
Bashrah dalam rangka melengserkan Kholifah Utsman bin ‘Affan ra. dari
Kekhilafahan:
عجبت لما يخوض
الناس فـيه * يرومون الخلافة أن تزولا
ولو زالت لزال
الخير عنـهم * ولاقوا بعدها ذلا ذلـيلا
وكانوا كاليهود
أو النصارى * سواء كلهم ضلوا السبيلا
“Aku
heran dengan apa yang menyibukkan orang-orang ini # mereka berharap agar
khilafah segera lenyap”
“Jika
ia sampai lenyap sungguh akan lenyap pula semua kebaikan dari mereka # dan
mereka akan menjumpai kehinaan yang amat sangat.”
“Adalah
mereka kemudian seperti orang-orang Yahudi dan Nasrani # mereka semua sama-sama
berada di jalan yang sesat.” (Ibnu Al-Atsiir, Al-Kamil fi At-Tarikh, juz 2 hlm. 17)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar