Sejak Khilafah
Islamiyah dihancurkan oleh Mustafa Kamal Attaturk 28 Rajab 1342 H –dengan
dukungan Inggris dan sekutunya- kaum Muslim tak lagi memiliki institusi negara.
Kaum Muslim yang kini berjumlah lebih dari 1,5 milyar jiwa bercerai-berai dalam
banyak negara, lebih dari 50 negara bangsa. Ikatan iman yang sebelumnya
menyatukan mereka berganti menjadi ikatan atas dasar kebangsaan.
Bersamaan dengan
hancurnya institusi khilafah ini, lenyap pula penerapan syariah Islam secara
kaffah. Hukum dan perundang-undangan Barat yang notabene dari orang-orang kafir
mendominasi sistem hukum di wilayah-wilayah kaum Muslim. Tak aneh, bila mereka
rajin shalat, zakat, puasa, bahkan haji dan umrah, tapi pola pikir dan pola
sikap mereka justru mengikuti peradaban Barat.
Dalam situasi
terbaratkan tersebut, kaum Muslim pun masih dicekoki pemahaman yang
disimpangkan oleh Barat dan antek-anteknya mengenai makna Islam rahmatan lil ‘alamin. Islam ala Barat ini
dimaknai sebagai Islam yang bisa menerima nilai-nilai Barat seperti toleransi,
kebebasan hak asasi manusia, gender, menentang ajaran jihad, dan sejenisnya.
Makna sesungguhnya,
Islam adalah agama yang sempurna. Agama ini diturunkan oleh Allah SWT kepada
Nabi Muhammad SAW untuk mengatur interaksi manusia dengan Tuhannya, diri dan
sesamanya. Islam mengatur seluruh aspek kehidupan umat manusia, tanpa kecuali.
Di sisi lain, kaum
Muslim diperintahkan oleh Allah SWT agar memeluk Islam secara kaffah, tidak
setengah-setengah: ”Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam
secara menyeluruh, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan.
Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (TQS. Al-Baqarah [2]: 208)
Sebagai agama yang
diturunkan oleh Dzat yang Maha Sempurna, Islam diturunkan sebagai rahmat bagi
alam semesta. Allah SWT menegaskan: “Kami tidak mengutus Kamu [Muhammad],
kecuali untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam.” (TQS. al-Anbiya' [21]: 107)
Ayat ini, menurut
al-Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahuLlah, menjelaskan bahwa tujuan
diutusnya Rasulullah SAW adalah agar risalahnya menjadi rahmat bagi manusia.
Konsekuensi menjadi ”rahmat bagi manusia”, maka risalah ini diturunkan untuk
mewujudkan kemaslahatan [jalb al-mashalih]
manusia, dan mencegah kemafsadatan [dar'u
al-mafasid].
Perlu dipahami bahwa
terwujudnya kemaslahatan [jalb al-mashalih],
dan tercegahnya kemafsadatan [dar’u al-mafasid]
bukanlah 'illat [alasan hukum]
disyariatkannya hukum syariah. Tapi kerahmatan itu akan muncul manakala Islam
diterapkan secara menyeluruh sebagai satu kesatuan. Bukan satu per satu hukum.
Terjaganya agama [hifdz ad-din], jiwa [hifdz an-nafs], akal [hifdz
al-'aql], harta [hifdz aI-mal],
keturunan [hifdz an-nasl], kehormatan [hifdz al-karamah], keamanan [hifdz al-amn] dan negara [hifdz ad-daulah] yang notabene merupakan
kemaslahatan bagi individu dan publik, misalnya, bisa disebut sebagai hasil
penerapan syariah.
Semuanya itu juga
tidak bisa diwujudkan sendiri-sendiri, tetapi harus diwujudkan dalam sistem
syariah secara kaffah. Sebagai contoh, hukum potong tangan tidak bisa
diterapkan sendiri, agar harta terjaga, sementara problem kemiskinan dan
ketimpangan ekonomi tidak diselesaikan dengan sistem ekenomi syariah. Sedangkan
sistem ekonomi syariah, dan hukum potong tangan tidak bisa dijalankan kecuali
di dalam Negara Khilafah.
Karena itu, kerahmatan
Islam bagi alam semesta [Islam rahmat[an] Ii
al-'alamin] merupakan konsekuensi logis dari penerapan Islam secara
kaffah dalam seluruh aspek kehidupan manusia. Bukan Islam yang hanya diambil
sebagai simbol, slogan, asesoris dan pelengkap ”penderita” yang Iain. Bukan
Islam yang hanya diambil ajaran spiritual dan ritualnya saja, sementara ajaran
politiknya ditinggalkan, paham politik malah diambil dari kapitalisme maupun
sosialisme, yang notabene bertentangan dengan Islam.
Inilah Islam rahmat[an] li al-‘alamin yang sesungguhnya.
Islam sebagaimana yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi-Nya, Muhammad SAW.
Islam yang benar-benar pernah diterapkan selama 14 abad di seluruh dunia.
Memimpin umat manusia, dari Barat hingga Timur, Utara hingga Selatan. Di bawah
naungannya, dunia pun aman, damai dan sentosa, dipenuhi keadilan. Muslim,
Kristen, Yahudi, dan penganut agama lain pun bisa hidup berdampingan dengan
aman dan damai selama berabad-abad lamanya.
Begitulah Islam rahmat[an] li al-'alamin, yang telah terbukti
membawa kerahmatan bagi seluruh alam. Inilah Islam yang dirindukan oleh umat
manusia untuk kembali memimpin dunia. Membebaskan umat manusia dari perbudakan
dan penjajahan oleh sesama manusia. Menebarkan kebaikan, keadilan dan kemakmuran
di seluruh penjuru dunia. Islam yang hidup sebagai peradaban di tengah umat
manusia, diterapkan, dipertahankan dan diemban oleh umat manusia di bawah
naungan Khilafah Rasyidah.
Khilafah
Kewajiban, Bukan Romantisme Sejarah atau Tuntutan Kekinian Belaka
Mewujudkan kembali
Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin
adalah panggilan iman. Ini adalah kewajiban Allah SWT kepada kaum Muslim,
sampai-sampai para sahabat Nabi SAW ber-ijma'
bahwa kaum Muslim tidak boleh kosong dari kekhilafahan dalam waktu tiga hari
lamanya.
Dan secara fakta
terbukti, tanpa sistem Islam kaum Muslim terpuruk. Baik di Indonesia maupun di
negeri Muslim lainnya. Padahal, dulu kaum Muslim pernah berjaya selama lebih 13
abad memimpin hampir dua pertiga dunia dengan gemilang.
Sejarah mencatat,
penerapan syariah Islam secara kaffah dalam institusi yang sesuai syariah,
yakni khilafah, mampu menjadikan dunia Islam mercusuar peradaban. Ini pula yang
diakui secara jujur oleh para orientalis Barat sendiri.
"Para khalifah telah
memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi
kehidupan dan usaha keras mereka. Para khalifah itupun telah menyediakan
berbagai peluang bagi siapapun yang memerlukannya dan memberikan kesejahteraan
selama berabad-abad dalam keluasan wilayah yang belum pernah tercatat lagi
fenomena seperti itu setelah masa mereka. Kegigihan dan kerja keras mereka
menjadikan pendidikan menyebar luas sehingga berbagai ilmu, sastra, falsafah
dan seni mengalami kejayaan luar biasa..." (Will Durant, The Story of Civilization).
Namun, satu hal
penting dicatat, menurut M. Ismail Yusanto,
kewajiban menegakkan khilafah bukan didasarkan realitas historis atau kenyataan
empiris, tetapi berdasarkan kewajiban yang diperintahkan Allah SWT dan Nabi Muhammad
SAW sebagai jalan untuk menerapkan syariah dan mewujudkan ukhuwah.
Dalam konteks
Indonesia, ide khilafah adalah jalan untuk membawa Indonesia ke arah lebih
baik. Syariah akan menggantikan sekulerisme yang terbukti memurukkan negeri
ini. Ide khilafah sebenarnya juga merupakan bentuk perlawanan terhadap
penjajahan multidimensi yang kini nyata-nyata mencengkram negeri ini dalam
berbagai aspek. Dan yang terpenting, khilafah akan mewujudkan Islam sebagai rahmatan lil' alamin yang hakiki.
Bacaan: Tabloid Media
Umat edisi 172
---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar