Dengan UU yang
sekarang diberlakukan saja, Islam dan umat Islam selalu menjadi sasaran, mulai
dari salah tangkap, tembak mati di tempat, dan disiksa selama masa tahanan.
Lantas mengapa UU yang begitu keras mau diperkeras lagi? Siapa yang dibidik
oleh UU ini? Apa kerugiannya bila Islam dianggap musuh? Dan siapa musuh
sebenarnya bagi bangsa ini? Temukan jawabannya dalam wawancara wartawan tabloid
Media Umat Joko Prasetyo dengan Muhammad Ismail Yusanto. Berikut petikannya. (Tabloid Media Umat edisi 170,
18-31 Maret 2016)
Bagaimana
tanggapan Anda dengan revisi UU Terorisme yang sekarang ini tengah dibahas di
DPR?
Kita belum mendapatkan
draft revisi itu. Dalam pandangan pemerintah khususnya, masalah terorisme di
Indonesia masih terus terjadi oleh karena penanganan yang dinilai kurang tegas
akibat kewenangan yang ada pada aparat dinilai terbatas. Revisi UU Teroris ini
diperlukan untuk memberikan kewenangan lebih kepada aparat agar masalah
terorisme ini bisa diatasi lebih dini.
Pertanyaannya, apakah
benar seperti itu? Apakah benar terorisme ini terus terjadi karena kelemahan
aparat? Apa bukan sebaliknya, justru terorisme ini terus terjadi karena
tindakan aparat yang melampaui batas sehingga menimbulkan kebencian yang
mendorong tindakan menyerang balik aparat? Hal ini penting dipertanyakan karena
bila dulu terorisme itu cenderung mengambil sasaran segala hal yang berbau
Barat, sejak beberapa waktu terakhir seperti seolah berubah sehingga aparat
kepolisianlah yang jadikan sasaran.
Bagaimana
pula dengan draf yang memberikan kewenangan kepada kepolisian untuk
memperpanjang masa tahanan sementara, dari 7 hari menjadi 30 hari?
Perpanjangan masa
tahanan sementara itu akan memberikan kesempatan lebih untuk mengorek
keterangan dari para terduga teroris. Tapi apakah perpanjangan itu diperlukan, lah wong hampir semua terduga teroris belum
lagi ditangkap sudah ditembak mati?
Bagaimana
pula dengan draf yang membolehkan pemerintah mencabut paspor WNI yang keluar
negeri yang diduga bergabung dengan kelompok garis keras di luar negeri?
Ini juga perlu
dipertanyakan, apa yang dimaksud bergabung? Kelompok garis keras mana yang
dimaksud? Lalu, dalam konteks yurisdiksi Indonesia, apa salah mereka atau
pelanggaran hukum apa yang dilakukan, seandainya ada yang memang benar-benar
bergabung dengan kelompok garis keras yang dimaksud? Bukankah itu terjadi di
luar negeri? Bagaimana bisa tindakan yang terjadi di luar negeri itu dianggap
melakukan pelanggaran hukum di dalam negeri sementara di negeri yang
bersangkutan itu tidak dianggap pelanggaran?
Selain
itu, apakah Anda melihat di balik revisi UU Terorisme ini justru akan
memunculkan kembali negara represif?
Iya betul.
Alasannya?
Ada banyak
kekhawatiran publik tentang bakal munculnya kembali rezim represif. Dengan
kewenangan lebih yang diberikan kepada aparat melalui revisi UU Terorisme itu
dikhawatirkan aparat dengan mudah melakukan tindakan yang serampangan dengan
alasan memberantas terorisme atau dengan alasan seseorang terkait dengan
terorisme.
Sekarang saja, dengan
UU Terorisme yang lama, sudah berapa banyak yang tewas di ujung moncong senjata
aparat tanpa proses peradilan (extra judicial
killing). Apalagi dengan kewenangan lebih pada aparat yang diberikan
melalui revisi UU Terorisme? Berapa banyak lagi korban akan berjatuhan?
Adakah
kaitannya revisi UU Terorisme ini dengan kebijakan luar negeri Amerika war on terorrism?
Ini semua jelas masih
terkait dengan War on Terrorism atau
WOT-nya Amerika. Hanya saja bila dulu terorisme itu dikaitkan dengan usaha
menyerang kepentingan AS khususnya atau negara Barat pada umumnya, maka
sekarang terorisme tampaknya hendak dikaitkan dengan kelompok ISIS dengan
khilafahnya. Ini harus kita waspadai, karena bila sekarang masih dikaitkan
dengan kelompok ISIS, sangat boleh jadi ujungnya nanti terorisme langsung
dikaitkan dengan khilafah itu sendiri. Artinya, siapa saja yang berjuang untuk
(menegakkan) khilafah langsung dicap teroris. Bila benar begitu, maka WOT itu
sesungguhnya tak lain adalah taktik AS untuk membendung bakal berdirinya
khilafah nantinya.
Bila
melihat rekam jejak penanganan terorisme, apakah dapat disimpulkan Islam dan
umat Islamlah yang sebenarnya menjadi target?
Iya jelas sekali.
Mengapa?
Lihatlah, bila
terorisme itu diartikan sebagai siapa saja yang dalam meraih tujuannya
menggunakan kekerasan, maka mestinya semua individu, kelompok apalagi negara
yang dalam meraih tujuannya menggunakan kekerasan harus juga dianggap teroris.
Tapi kenyataannya, kan tidak begitu. Hanya mereka yang mengancam kepentingan
Barat, lebih khusus AS, saja yang diangap teroris. Sementara banyak individu,
kelompok atau bahkan negara seperti Israel dan AS sendiri yang banyak menebar
kekerasan di mana-mana tidak pernah dianggap sebagai teroris.
Dalam list FTOs (Foreign Terrorist Organizations) yang terbaca
di situs US Department of State, Diplomacy in Action, mayoritasnya adalah
organisasi dan kelompok Islam. Di antaranya, Abdallah Azzam Brigades (AAB),
Hamas, Haqqani Network (HQN), Harakat ul-Jihad-i-Islami (HUJI), Harakat
ul-Jihad-i, Islami/Bangladesh (HUJI-B), Harakat ul-Mujahideen (HUM), Islamic
Movement of Uzbekistan (IMU), Jaish-e-Mohammed (JEM), Jemaah Ansharut Tauhid
(JAT), Jemaah Islamiya (JI),Jundallah, Kata'ib Hizballah (KH), Palestine
Liberation Front, Abu Abbas Faction (PLF), Al-Qa'ida (AQ) dan lainnya.
Dalam operasi yang
disebut pemberantasan terorisme juga semua tak lepas dari simbol-simbol Islam,
seperti dijadikannya Al-Qur’an dan buku-buku jihad sebagai barang bukti, lalu
dikait-kaitkan terorisme itu dengan latar pendidikan pesantren. Sementara program
deradikalisasi yang disebut-sebut diperlukan untuk memberantas terorisme,
nyata-nyata bermuatan pemahaman Islam yang dikatakan moderat, ramah dan
seterusnya. Jadi tak terbantahkan, sasaran dari WOT adalah umat Islam.
Sebenarnya
Islam itu ancaman atau bukan sih bagi
bangsa ini?
Tentu bukanlah.
Bagaimana bisa Islam yang dipeluk oleh mayoritas penduduk negeri ini dianggap
sebagai ancaman? Islam itu rahmatan lil alamin.
Islam sesungguhnya adalah potensi besar bagi bangsa ini, dan juga bangsa lain.
Lihatlah, berkat Islam lahir para pahlawan yang dengan semangat jihad berani
berjuang melawan penjajah Belanda. Tanpa semangat jihad, mungkin kita masih
terus dijajah, karena mana ada yang berani berhadapan dengan Belanda? Oleh
karena itu, Islam harus dianggap sebagai modal dasar yang penting, bahkan
paling penting dalam membangun bangsa ini. Tidak boleh dianggap sebagai
ancaman.
Tentu saja Islam
adalah ancaman buat para perampok kekayaan alam negara ini, koruptor, para
komprador negara kapitalis dan imperialis, juga menjadi ancaman bagi mereka
yang suka melakukan kemaksiatan dan sebagainya karena semua itu bakal dihapus
oleh Islam.
Apa
kerugiannya menjadikan Islam sebagai ancaman?
Itu seperti menjadikan
diri kita sendiri sebagai ancaman. Jelas rugi besar.
Lantas
sebenarnya siapa yang menjadi musuh sejati bangsa ini?
Musuh sejati bangsa
ini ada dua. Yang pertama adalah neoliberalisme dan neoimperilisme, dan yang
kedua adalah siapa saja yang mendukung neoliberalisme dan neoimperialisme itu
sendiri. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar