Unduh BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Sabtu, 09 Januari 2021

Islam Satukan Politik Dan Agama



Kemerdekaan Indonesia tak bisa dilepaskan dari peran agama. Bahkan untuk mempertahankan kemerdekaan pun agama ikut andil di dalamnya. Tapi anehnya, agama dianggap sebagai sumber masalah sehingga harus dipinggirkan dari kehidupan politik. Dan niat ini muncul dari seorang kepala negara muslim terbesar di dunia. Bagaimana menyikapinya? Wartawan Media Umat Joko Prasetyo mewawancarai Fahmi Salim Zubair, Sekretaris Komisi Dakwah MUI Pusat. Berikut petikannya.

Bagaimana pendapat Anda dengan pernyataan Jokowi agar semua pihak memisahkan persoalan politik dan agama?

Mestinya kalau ingin konsisten seperti itu maka Presiden sendiri jangan bawa-bawa agama dalam politik. Dan itu tidak mungkin. Politik identitas di negara ini sudah mendarah daging. Sudah menjadi fakta sejarah dan tidak bisa dipisahkan dari tradisi berpolitik di Indonesia.

Itu kalau kita berbicara kultur dan sosiologi di Indonesia, mulai dari kerajaan-kerajaan Hindu, kerajaan Budha, kerajaan-kerajaan itu selalu menggunakan agama sebagai legalitasnya. Sama seperti sekarang, presiden disumpah dengan Al-Qur’an, kitab sucinya.

Ketika Islam masuk ke Indonesia, apalagi. Karena, Islam itu mengajarkan tidak ada pemisahan antara kehidupan agama dengan politik. Agama itu menjadi pondasi, politik itu adalah pelindung. Agama tidak bisa dilindungi bila tak ada politik. Dan sebaliknya, politik tanpa agama tidak akan beretika, tidak akan beradab, tidak akan berbudaya.

Tapi Said Aqil Siradj mendukungnya dengan menyatakan tidak ada politik dalam agama dan tidak ada agama dalam politik. Apakah pernyataan itu benar?

Pernyataan itu seolah-olah benar tetapi yang sesungguhnya itu adalah kebatilan. Sebab urusan agama dan politik itu menjadi satu kesatuan tidak bisa dipisahkan. Justru yang harus dipisahkan dari politik itu nilai-nilai berpolitik yang kotor, yang keji, yang arogan, yang politik menghalalkan segala cara. Karena itu semua bertentangan dengan agama.

Di sisi lain, pernyataan itu juga bertentangan dengan watak Islam. Bagaimana kita mau membuktikan kalau Islam itu rahmatan lil alamin kalau tidak ada instrumen politik? Dalam sejarah Islam, peradaban Islam menjadi rahmatan lil alamin tidak bisa diketahui dan tidak bisa dirasakan oleh peradaban lain di dunia ini kecuali dengan bersentuhan secara politik.

Karena politik ini mengatur urusan orang banyak dan hubungan antar negara, antar peradaban. Kita mau mentransfer nilai-nilai Islam rahmatan lil alamin tanpa instrumen politik itu tidak akan bisa masif.

Menurut Jokowi, pemisahan tersebut untuk menghindari gesekan antarumat. Pendapat Anda?

Justru yang menghindari gesekan antar umat beragama itu karena hadirnya ajaran agama. Islam mengajarkan toleransi, Islam mengajarkan adil; perbedaan suku, perbedaan bahasa, perbedaan agama tidak boleh membuat kita berbuat curang dan zalim kepada orang lain. Islam juga mengajarkan kita untuk mengelola perbedaan dengan bermartabat.

Jadi lucu kalau dikatakan agama hadir dalam politik membuat gesekan. Ini agama yang mana? Pasti ada ajaran yang salah. Pemahaman seperti itu ingin mengelabui umat atau menakut-nakuti umat seolah-olah agama itu sumber konflik. Pandangan ini kan sangat berbahaya.

Agama diturunkan oleh Allah SWT sebagai rahmat, sebagai problem solver bukan menjadi sumber konflik. Kalau kita, apalagi penguasa, menakut-nakuti rakyat, dengan seolah-olah akan menjadi gesekan dengan membawa agama dalam politik itu berarti beliau tidak memahami ajaran agama yang sesungguhnya.

Menurut Said Aqil, jika politik dan agama digabungkan, maka politik akan menjadi radikal. Ketika ada oposisi, maka oposisi akan disingkirkan atas nama kafir, murtad dan lain sebagainya. Tanggapan Anda?

Pernyataan itu barangkali cocok diarahkan kepada pengalaman politik penyatuan antara negara dan gereja di masa silam. Jadi saya aneh juga ini, Pak Said Aqil, seolah-olah ingin memandang pengalaman politik Islam itu dengan kacamata perspektif Kristen. Peradaban Barat, ketika ingin menyatukan agama (Kristen) dengan politik, itu yang terjadi adalah inkuisisi, intoleransi, kepada umat non-Kristiani. Kepada Yahudi, kepada Muslim, mereka mengusir, mereka membantai kepada siapa saja yang berbeda dengan titah raja dan dekrit paus. Mereka yang menyebabkan terjadinya Perang Salib, mereka yang mencampuradukan agama dengan politik. Dengan konteks Kristiani seperti itu, dunia ini penuh dengan konflik. Berdarah-darah.

Maka ditegaskanlah harus dipisah agama dari politik. Itu pengalaman sekulerisme Kristen. Jangan dibawa ke Islam. Jadi apa yang disampaikan Pak Said Aqil itu cocok untuk Kristen, peradaban Barat abad pertengahan. Kalau dibawa untuk konteks Islam, sangat tidak cocok, sangat tidak relevan. Sebab pengalaman politik Islam, justru membuktikan jadi rahmatan lil alamin. Dan para ulama sudah menyadari bahwa mazhab agama tidak bisa dijadikan alat untuk membungkam atau memaksakan suatu pendapat keagamaan.

Contoh Imam Malik, diminta supaya mazhabnya, dengan kitab Al-Muwatha'-nya dijadikan mazhab resmi negara, beliau menolak. Karena itu bisa menyeragamkan dan mematikan ijtihad. Ulama-ulama yang lain juga seperti itu.

Jadi pernyataan Pak Said itu, menjadi salah satu pintu masuk untuk menyuburkan faham sekulerisme dan liberalisme dalam tubuh umat Islam dengan alasan pengalaman politik Islam itu seperti Kristen. Ini berbahaya.

Mengapa keduanya kok ngomong seperti itu?

Ungkapan seperti itu merupakan ungkapan orang yang minder, tidak percaya diri bahwa agama ini sebagai solusi. Jangan-jangan revolusi mental ini ingin menjauhkan agama dengan politik. Ini tidak boleh tenadi. Saya berharap, tokoh-tokoh ulama jangan sampai menjadi loud speaker atau pen-syarah atau pemberi legitimasi dari ungkapan-ungkapan para politisi yang masih awam.

Saya pandang Pak Jokowi awam dalam masalah agama. Dan saya pikir, pernyataan beliau itu offset dari sisi agama. Tugas kita semua untuk menyadarkan beliau, meluruskan beliau sebagai saudara sebangsa, sebagai saudara seiman juga.

Islam kan tidak memisahkan politik dan agama tetapi mengapa negeri yang penduduknya mayoritas Muslim ini menerapkan sistem berbangsa dan bernegaranya sekuler?

Karena jaringan dunia, jaringan internasional. Sejak awal-awal kemerdekaan terjadi interaksi tarik ulur antara Islam sebagai dasar negara, sebagai asas berpolitik atau tidak. Jadi kekuatan dunia itu sangat memengaruhi.

Ketika dunia Islam ini mundur, tidak memimpin peradaban, maka yang memimpin adalah nilai-nilai sekuler. Kalau kita tidak mengejar ketertinggalan kita dan mematahkan dominasi asing maka selama itu pula kita akan terus mengekor.

Kondisi umat Islam saat ini kan memang menjadi konsumen dan pengekor. Konsumen pemikirian, konsumen budaya, konsumen teori-teori tatanan politik sekuler. Padahal kita punya khazanah sendiri, warisan peradaban Islam yang luar biasa. []

Sumber: Tabloid Media Umat edisi 194
---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Download BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam