Walaupun telah berlalu
puluhan tahun, peristiwa G 30 S/PKI masih lekat di benak penduduk Indonesia,
sebuah peristiwa yang sulit untuk dilupakan. Tindakan kejam yang dilakukan oleh
para anggota Partai Komunis Indonesia jelas jelas membuat mereka tidak mendapat
tempat di hati penduduk negeri. Terlebih lagi, mereka kaum pengingkar
keberadaan Sang Pencipta. Padahal, paham kufur tersebut jelas bertentangan
dengan pandangan hidup mayoritas penduduk negeri ini. Dengan demikian, telah
lengkaplah kesesatan dan keburukan paham sosialisme-komunisme, sehingga tidak
ada hambatan bagi siapapun untuk secara tegas menentangnya.
Berbeda halnya dengan
paham kapitalisme-sekularisme. Jika paham sosialisme-komunis dihukumi oleh
mayoritas sebagai paham yang tidak layak hidup, masih ada
pihak-pihak yang membela sekularisme. Padahal, jika dicermati, paham kapitalisme-sekuler
yang sedang bercokol adalah biangnya segala “penyakit” yang sekarang menjalar
di mana-mana. Bahkan, sekularisme sendiri membolehkan atheisme berkembang.
Jika para penganut
sosialisme-komunis menolak keberadaan tuhan secara mutlak, maka sesungguhnya
para penganut ideologi kapitalisme-sekuler menolak hukum-hukum Allah Swt. untuk
diterapkan. Di satu sisi, mereka mengakui keberadaan Tuhan sebagai Pencipta, sementara
di sisi lain, mereka menolak eksistensi Allah Swt. sebagai pembuat aturan bagi
manusia.
Seorang muslim harus
meyakini keberadaan Allah SWT sebagai Pencipta sekaligus meyakini-Nya sebagai
pemberi hukum yang terbaik yang harus ditaati. Sebagai Pencipta, pastilah Allah
yang paling mengetahui hakikat ciptaan-Nya dan kemaslahatan yang paling tepat
untuk ciptaan-Nya.
Allah tidaklah
menciptakan manusia untuk membuat-buat sistem pemerintahan menuruti hawa nafsu
semacam demokrasi, saling tarik-menarik kepentingan dalam membuat hukum-hukum
publik, dengan atas nama kepentingan rakyat setiap kezhaliman penguasa menjadi
halal, hingga akibatnya umat manusia menjadi rusak tanpa petunjuk, terkubur
dalam pertikaian buas dan kesengsaraan. Tetapi justru manusia -penguasa maupun
rakyatnya- diciptakan untuk beribadah pada-Nya, taat menerapkan syariah dalam
segala aspek kehidupan.
Allah akan memberikan
balasan kepada siapapun yang beriman dan mematuhi aturan-aturanNya. Jika
manusia melaksanakan aturan-aturan Allah, Allah akan memberikan balasan
kebaikan di dunia dan Surga di akhirat. Sebaliknya, jika manusia melanggar
aturan-aturan Allah, Allah pun akan membalasnya dengan keburukan di dunia dan
siksa Neraka di akhirat.
Dengan demikian,
alangkah berbahayanya jika kita mengabaikan aturan-aturan dari Allah dalam
urusan publik; meski ketika masih hidup di dunia, manusia bisa saja berdalih
ini-itu maupun memelintir ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits. Tindakan
pengabaian terhadap banyak ayat al-Qur’an dan hadits Nabi Saw. itulah yang
justru secara inheren melekat pada sosialisme-komunisme maupun
kapitalisme-sekuler.
Para penganut
sekularisme berdalih bahwa jika Allah ikut campur dalam masalah kehidupan
manusia, maka manusia tidak akan penah maju. Katanya hal ini sudah terjadi pada
zaman kegelapan Eropa maupun di masa Khilafah Islam.
Selama abad
pertengahan di Eropa, banyak ilmuwan dan pemikir dihukum mati oleh pihak gereja
karena dianggap telah menetang gereja yang diklaim sebagai wakil tuhan. Kondisi
ini memicu pembangkangan terhadap otoritas gereja dan agama, meski tetap
membolehkan agama di ruang privat.
Oleh karena itu,
muncullah gagasan “jalan tengah”, yaitu bahwa sekularisme –yang menjadi asas bagi negara republik/demokrasi– mengharamkan manusia
menerapkan aturan-aturan dari Allah Swt. dalam pengaturan negara.
Pengakuan mereka atas
adanya Tuhan hanyalah seperti pengakuannya Iblis. Jadi, pada hakikatnya,
ideologi kapitalisme-sekuler sama saja dengan ideologi sosialisme-komunis,
sama-sama kufur.
Maka dalam hal
pandangan terhadap pengaturan kehidupan masyarakat, kapitalisme-sekuler sama
berbahayanya dengan sosialisme-komunis.
Sosialisme-komunis
melarang masyarakat untuk bertakwa kepada Allah Swt. dalam urusan bermasyarakat
dan bernegara; kapitalisme menyuburkan kesesatan pikiran dan perilaku mengikuti
hawa nafsu, sembari juga melarang Islam dalam pengaturan urusan publik.
Sekularisme
membebaskan individu –atas nama kebebasan HAM- dalam masalah kepemilikan maupun
perilaku. Dengan adanya prinsip seperti ini, efek negatif yang ditimbulkan
jelas tidak kalah merusaknya daripada sosialis-komunis. Dengan kebebasan
tersebut, manusia malah merasa berhak untuk ngawur
dalam berbuat di muka bumi. Manusia yang memang secara potensial memiliki
naluri untuk berkuasa, saling bersaing dan berebut kekuasaan dengan segala
cara. Akibatnya, benturan kepentingan sulit untuk dihindarkan, hukum rimba
menjadi biasa.
Perilaku mereka
dituntun oleh semangat mencari kepuasan duniawi belaka yang seringkali disebut
sebagai maslahat, maka hukum senantiasa dibuat berpihak pada pihak-pihak yang
memiliki kekuatan secara materi. Akibatnya, yang terjadi di masyarakat bukanlah
kedamaian dan ketentraman, namun kezhalimanlah yang justru mendominasi
kehidupan umat.
Jika demikian, tentu
tidak ada yang bisa kita harapkan dari sepaket paham
sekularisme-kapitalisme-demokrasi yang diimpor dari kaum kufar. Oleh sebab itu,
kembali pada pandangan hidup paripurna yang datang dari Allah SWT., yakni Islam
yang komprehensif, merupakan pilihan wajib bagi kita.
Semoga Allah Swt.
selalu menunjuki dan menguatkan umat Islam untuk memperjuangkan tegaknya sistem
syariat Islam, mewujudkan rahmat Islam untuk semua. Aamiin.
Bacaan: Majalah
Al-Wa`ie No.13 tahun 2, 1-30 September 2001
Tidak ada komentar:
Posting Komentar