Begitu mendengar
Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan penyelenggaraan BPJS Kesehatan tidak syar'i
karena terdapat akad-akad yang tidak sesuai syariah, kontan saja pihak-pihak
yang tak mau terikat syariat Islam menghujat, salah satunya seperti yang
dinyatakan artis kawakan Tio Pakusadewo.
"Sekarang gimana
kalau saya mengharamkan MUI di Indonesia. Padahal MUI itu isinya manusia semua,
bukan nabi. Tapi kadang orang Indonesia suka enggak masuk akal, siapa sih yang
mengangkat dia,” ujarnya seperti dikutip Media Umat dari tribunnews.com, Jumat
(31/7/2015).
Tampaknya, dia
menjadikan asas manfaat sebagai tolok ukurnya sehingga tidak mempermasalahkan
keharaman riba bila digunakan untuk kepentingan rakyat banyak. ”Gimana unsur
ribanya, ini kan untuk kepentingan rakyat banyak. Kalau dia baca perintah Tuhan
dan memahaminya harusnya enggak mesti keluar fatwa seperti itu," ucapnya.
Artis Ria lrawan yang
sudah menggunakan BPJS Kesehatan sejak Sepetember 2014 pun menghardik. ”MUI
kena gejala kanker otak! Iya, Ria Irawan yang ngomong, seorang penderita
kanker, MUI gejala kanker otak!" cetus Ria saat dihubungi tabloidbintang.
com, Kamis (30/7/2015).
Seperti halnya Tio,
Ria tidak melihat halal-haram dari dalil Al-Qur’an dan Sunnah melainkan hanya
berdasarkan asas manfaat, sehingga kalau dianggap bermanfaat dianggap halal dan
kalau dianggap tidak bermanfaat (mudharat)
dianggap haram.
”Apa sih yang bisa
disebut haram? Kalau banyak mudharatnya
mungkin iya, tapi kalau banyak masyarakat yang terbantu (oleh BPJS), lebih
banyak faedahnya, masak dibilang haram?” bintang film ”Gejolak Kawula
Muda" itu balik bertanya.
Bukan hanya artis,
sosiolog Thamrin Amal Tomagola juga tampak sekali kebodohannya terkait fungsi
ulama dalam pranata sosial. Sehingga melarang ulama menjalankan fungsinya yang
memang bertugas mengingatkan penguasa maupun masyarakat akan halal-haramnya suatu
perbuatan dan benda.
”MUI tidak boleh
berkoar-koar di depan publik!” teriaknya lancang kepada ulama dalam sebuah
acara debat di TvOne Senin (3/8/2015) malam, seakan ingin menghidupkan kembali
rezim Orde Baru ia pun kembali membentak, ”MUI tidak boleh mengkritik
pemerintah!"
Bukan hanya kepada
MUI, kepada ulama di kelompok dakwah yang tengah menerangkan kewajiban negara
dalam pandangan Islam pun tak luput dari celaannya. ”Salah pikir lagi nih,
salah nalar lagi," cela Thamrin ketika Rokhmat S. Labib yang tengah menjelaskan bahwa negara berkewajiban
menjamin kesehatan seluruh rakyatnya dan tidak boleh memungut premi (iuran
kesehatan).
Tidak
Sesuai Syariah
Dalam keputusan yang
dihasilkan forum pertemuan atau ijtima'
Komisi Fatwa MUI di Pondok Pesantren At-Tauhidiyyah Cikura, Bojong, Tegal, Jawa
Tengah, pada Juni 2015 disebutkan iuran dalam transaksi yang dilakukan BPJS
tidak sesuai ketentuan syariah.
Ketua bidang fatwa MUI
KH Ma'ruf Amin menjelaskan sistem pengelolaan dana yang dikumpulkan dari
masyarakat tidak tahu uangnya diinvestasikan ke mana oleh BPJS. Dalam transaksi
syariah, tidak boleh menimbulkan maisir
dan gharar. Adapun, maisir adalah memperoleh keuntungan tanpa
bekerja, yang biasanya disertai unsur pertaruhan atau spekulasi. Sementara gharar secara terminologi adalah penipuan dan
tidak mengetahui sesuatu yang diakadkan yang di dalamnya diperkirakan tidak ada
unsur kerelaan.
"Kalau itu
dibiarkan diinvestasi tanpa syariah, ada maisir-nya,
seperti berjudi. Karena uang itu bisa diinvestasikan ke mana saja," ujar
Ma'ruf.
Sehingga dari dua
unsur itu, penyelenggaraan BPJS Kesehatan dianggap belum bisa memenuhi syariah.
Seharusnya, pada saat akad, peserta BPJS diberikan pengetahuan lengkap sehingga
uang yang disetorkannya benar-benar dimanfaatkan untuk hal-hal yang memenuhi
syariat Islam.
Tak hanya itu, Ma'ruf
melanjutkan, BPJS juga melakukan riba, yang dilarang oleh Islam. Riba didapat
BPJS Kesehatan dengan menarik bunga sebagai denda atas keterlambatan
pembayaran.
”Enggak boleh, kalau
syariah enggak boleh begitu,” kata dia.
"Jadi kalau
syariah itu akadnya harus betul, status dana yang dikumpulkannya jelas.
Bagaimana kalau dana itu surplus, bagaimana kalau kurang, siapa yang
bertanggung jawab? Itu semua harus secara syariah,” tutur Ma'ruf.
”Secara umum program
BPJS Kesehatan belum mencerminkan konsep ideal jaminan sosial dalam Islam,
terlebih lagi jika dilihat dari hubungan hukum atau akad antar para pihak,”
demikian bunyi Ijtima' Ulama V Tahun 2015.
Mudir Ponpes Hamfara,
Bantul, DIY KH, Muhammad Shiddiq Al-Jawi pun angkat bicara. ”Fatwa MUI itu
menurut saya sudah tepat, karena alasan-alasan tersebut memang ada pada BPJS
saat ini,” ujarnya kepada Media Umat, Senin (3/8/2015).
Menurut Shiddiq,
masalah penyelenggaraan BPJS Kesehatan saat ini bukan hanya sekadar karena
adanya ketidakpastian (gharar), riba,
dan maisir tetapi akadnya pun tidak
sesuai dengan syariat. Karena objek akad (ma'quud
'alaihi) asuransi tidak dapat dikategorikan obyek akad yang sah, yaitu
barang atau jasa. Obyek akad asuransi, adalah janji/komitmen (at-ta'ahhud), yakni perusahaan asuransi
berjanji akan membayar dana pertanggungan jika terjadi suatu peristiwa penyebab
turunnya dana pertanggungan, seperti kematian, kecelakaan, kebakaran, dan
sebagainya.
”Nah, janji seperti
ini tidak dapat dikategorikan barang atau jasa, maka asuransi itu haram
hukumnya,” ujarnya.
Selain
aspek obyek akad itu, akad asuransi juga haram karena tak sesuai dengan
ketentuan-ketentuan akad pertanggungan/jaminan (al-dhamaan)
dalam Islam. []joko
prasetyo
Menolak Sejak Awal
Jauh hari sebelum
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dibentuk, Hizbut Tahrir
Indonesia (HTI) dengan tegas menolaknya. Alasannya, “rakyat akan menjadi obyek
'pemalakan' dengan kedok jaminan sosial sehingga rakyat yang sudah menderita
akan semakin sengsara,” ujar Jubir HTI Muhammad Ismail Yusanto.
Kesimpulan tersebut
didapat berdasarkan telaahan terhadap UU 40/2004 Tentang SJSN dan UU 24/2011
Tentang BPJS, di dalam pers rilis No 238 Pernyataan Hizbut Tahrir Indonesia
tentang Pemalakan Rakyat di Balik UU SJSN dan UU BPJS tertanggal 19
November2012/5 Muharram 1434, HTI menyimpulkan dua poin.
Pertama, kedua UU ini secara fundamental telah
mengubah kewajiban negara dalam memberikan jaminan sosial menjadi kewajiban
rakyat, serta mengubah jaminan sosial menjadi asuransi sosial. Padahal makna
'jaminan sosial' jelas berbeda sama sekali dengan 'asuransi sosial'. Jaminan
sosial adalah kewajiban pemerintah dan merupakan hak rakyat, sedangkan dalam
asuransi sosial, rakyat sebagai peserta harus membayar premi sendiri. Itu
artinya rakyat harus melindungi dirinya sendiri. Pada jaminan sosial, pelayanan
kesehatan diberikan sebagai hak dengan tidak membedakan usia dan penyakit yang
diderita, sedangkan pada asuransi sosial peserta yang ikut dibatasi baik dari
segi usia, profesi maupun penyakit yang diderita. Di samping itu, akad dalam
asuransi termasuk akad batil dan diharamkan oleh syariat Islam.
Kedua, UU ini juga
telah memposisikan hak sosial rakyat berubah menjadi komoditas bisnis. Bahkan
dengan sengaja telah membuat aturan untuk mengeksploitasi rakyatnya sendiri
demi keuntungan pengelola asuransi. Hal ini sudah terbukti di mana-mana,
termasuk di Indonesia, institusi bisnis asuransi multi nasional saat ini tengah
mengincar peluang bisnis besar di Indonesia yang dibukakan antara lain oleh UU
40/2004, Pasal 5 dan Pasal 17, juga UU 24/2011 Pasal 11 huruf b yang
menyebutkan BPJS berwenang untuk menempatkan dana jaminan sosial
untuk-investasi. Ini merupakan bukti nyata dan pengaruh neoliberalisme yang
memang sekarang sedang melanda Indonesia. []joy
Sumber: Tabloid Media
Umat edisi 155
---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar