Bukan hanya menerapkan
sekularisme, secara tegas Presiden Jokowi juga mengajak semua pihak untuk
memisahkan betul antara agama dengan politik. Hal itu diungkapnya saat
meresmikan Tugu Titik Nol Peradaban Islam Nusantara di Kecamatan Barus,
Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, Jumat (24/3/2017). Tentu saja pernyataan itu
sangat berbahaya dan mengonfirmasi kebijakannya selama ini. Namun apakah dia
satu-satunya kepala negara yang sekuler di negeri ini? Lantas, mengapa negara
ini bisa sekuler? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, wartawan Media Umat Joko
Prasetyo mewawancarai Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Muhammad Ismail
Yusanto. Berikut petikannya.
Bagaimana
tanggapan Anda dengan pernyataan Jokowi bahwa agama harus dipisah betul dengan
politik?
Pilihan kita dalam
memosisikan agama terhadap politik itu memang cuma ada dua. Pertama, mengaitkan
agama dengan politik, bahkan menjadikan agama sebagai dasar politik. Atau,
memisahkan antara keduanya. Sebenarnya ada lagi yang ketiga, yaitu mengaitkan,
tapi keterkaitannya di sini hanya menempatkan agama sebagai sumber etika.
Dengan definisi manapun, memisahkan agama dari politik itu namanya sekuler. Dan
rezim ini memang sekuler. Jadi sebenarnya pernyataan Jokowi itu tidaklah aneh.
Yang aneh adalah mengapa seorang presiden kok
ya mengungkapkan pikiran sekuler itu sebegitu terang ke hadapan publik. Yang
sudah-sudah biasanya akan mengungkapkan secara lebih halus, setidaknya supaya
tampak menghargai peran agama. Dengan kata lain, mengikuti pola ketiga.
Apa
saja indikasinya rezim Jokowi ini sekuler?
Kalau tidak sekuler,
pasti seluruh kebijakan pemerintahannya akan mendasarkan pada agama Islam dan
pernyataan seperti itu tidak akan keluar dari mulut dia. Juga penista agama
tidak akan dilindungi.
Bagaimana
dengan rezim-rezim sebelumnya, apakah sekuler juga atau tidak?
Sama juga.
Rezim
Soekarno juga?
Ya.
Berarti
negara ini sudah sekuler sejak awal?
Ya.
Kenapa
begitu?
Memang itu pilihan
(voting) sejak awal. Hanya saja, orang tidak pernah mau mengakui negara ini
sebagai sekuler. Selalu dibilang, negara ini bukan negara agama, tapi juga
bukan negara sekuler.
Berarti,
masalahnya bukan hanya pada rezim tetapi juga sistem?
Ya. Tapi sekulernya
Indonesia itu memang tidak sepenuhnya alias sekuler setengah hati. Hal ini
dipengaruhi oleh kuatnya peranan Islam dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara, bahkan sejak sebelum Indonesia merdeka. Pergerakan kemerdekaan
banyak diinisiasi oleh organisasi Islam seperti Syarikat Islam. Sebelumnya ada
tokoh-tokoh pejuang Islam seperti Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, Cut Nyak
Dien dan lainnya yang semua bergerak oleh karena dorongan agama. Dalam tahap
persiapan kemerdekaan, tuntutan agar Indonesia yang hendak didirikan adalah
negara yang berdasar Islam sangatlah gencar. Kalimat ”Atas berkat Rahmat Allah”
dalam pembukaan UUD 45 menunjukkan kuatnya kesadaran keaqamaan dalam prases
proses politik di negeri ini. Andai tidak ada pengkhianatan, mungkin Indonesia
yang berdasar Islam akan sudah terwujud.
Setelah merdeka pun
peran Islam tak surut. Hari Pahlawan itu terjadi karena peristiwa Hotel Oranye
yang digerakkan oleh para pemuda dengan semangat jihad yang dipicu oleh adanya
Resolusi Jihad. Resolusi Jihad itu sendiri jelas muncul dari kesadaran para ulama
tentang kewajiban dalam melawan penjajah. Oleh karena itu, usaha untuk
memisahkan agama dari politik tidak pernah sungguh-sungguh berhasil. Bahkan
meski di masa Orde Baru diberlakukan secara paksa asas tunggal, tapi setelah
itu, dalam Era Reformasi, asas Islam dalam ormas dan orpol kembali mengemuka.
Bahkan sekarang ada kecenderungan kesadaran Islam di tengah masyarakat justru
semakin kuat, meski yang sekuler juga makin mengental.
Memang
masalah pokok dari sistem yang diberlakukan itu apa sehingga semua rezim kok jadi sekuler?
Sejak dari awal, pada
tahap penyusunan landasan negara menjelang Indonesia merdeka, sudah terjadi
debat sengit antara Indonesia yang berdasar Islam atau bukan. Dan kita tahu,
setelah melalui proses yang berliku-liku, pilihan (voting) jatuh pada yang kedua.
Semenjak itu, Indonesia sesungguhnya adalah negara sekuler, dalam arti tidak
menjadikan Islam sebagai dasar dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Selanjutnya, Islam,
sebagaimana agama dalam pengertian Barat, hanya ditempatkan dalam urusan
individu dengan tuhannya saja.
Sementara dalam urusan
sosial kemasyarakatan, Islam ditinggalkan. Maka, di tengah-tengah sistem
sekuleristik tadi lahirlah berbagai bentuk tatanan yang jauh dari nilai-nilai
Islam. Yakni tatanan ekonomi yang kapitalistik, perilaku politik yang
oportunistik machiavellistik, budaya hedonistik, kehidupan sosial yang egoistik
dan individualistik, sikap beragama yang sinkretistik serta sistem pendidikan
yang materialistik.
Kegiatan politik tidak
didedikasikan untuk tegaknya nilai-nilai Islam melainkan sekadar demi kekuasaan
dan kepentingan sempit lainnya. Makanya, perjuangan Islam justru dihambat, dan
tokohnya dikriminalisasi.
Sikap beragama
sinkretistik menyebabkan sebagian umat Islam telah memandang rendah, bahkan
tidak suka, menjauhi dan memusuhi aturan agamanya sendiri. Lihatlah, siapa yang
paling giat menolak pemberlakukan syariah? Siapa juga yang mendukung pemimpin
kafir? Ya umat Islam yang tersekulerkan tadi.
Apa
bahayanya sekulerisme?
Di Akhirat pasti akan
menjadi orang yang merugi, karena telah mengingkari perintah Allah dan
meninggalkan prinsip ibadah dalam menjalani kehidupan ini. Sementara dalam
kehidupan dunia, sebagaimana disebut dalam surah al-Baqarah ayat 85, sebagai
akibat mengimani Islam sebagian dan mengingkari sebagian yang lain, umat Islam
akan menjadi orang yang terhina. Umat Islam yang semestinya mulia, karena hidup
dalam sistem sekuler menjadi hilang kemuliaannya, seperti yang terlihat dewasa
ini.
Lantas
sistem apa sebagai gantinya?
Kembali kepada Islam,
karena sistem Islamlah yang benar dan karenanya akan memberikan rahmat atau
kebaikan kepada semua (rahmatan lil alamin).
Bagaimana
agar sistem tersebut dapat ditegakkan?
Pertama, umat Islam harus paham bahwa
sekulerisme telah menjauhkan mereka dari Islam, dan membuat Islam tidak bisa
memberikan kerahmatan karena tidak diterapkan secara kaffah.
Kedua, setelah paham, umat Islam harus
bergerak untuk melakukan perubahan. Didukung oleh ahlul
quwwah dan ahlul sultah, umat
yang sadar akan menjadi kekuatan perubahan yang dahsyat, yang tak akan bisa
dibendung oleh siapapun. Insya Allah. []
Sumber: Tabloid Media
Umat edisi 194
---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar