Oleh: KH Hafidz
Abdurrahman, Lajnah Tsaqafiyah
Meski khilafah adalah
negara Islam, yang tegak di atas pondasi akidah Islam yang kokoh, dan
menerapkan sistem Islam yang terpancar dari akidah tersebut, tetapi khilafah
adalah negara manusia, bukan negara malaikat. Manusia tetaplah manusia, yang
tidak maksum, dan berpotensi melakukan maksiat. Meski akidah dan sistem Islam
yang ada berhasil membentuk ketakwaan individu, tetapi ketakwaan itu sendiri
tidak bersifat konstan. Sebaliknya, bisa naik dan turun.
Itulah mengapa di
dalam sistem khilafah sekalipun ditemukan adanya rekayasa kasus, kasus
kadaluwarsa yang diungkit kembali, termasuk dendam yang mencuat di pengadilan.
Karena memang, senyatanya khilafah adalah negara manusia, bukan negara
malaikat. Hanya saja, bedanya khilafah dengan negara manapun yang ada adalah,
di dalam Khilafah ada tiga benteng tegaknya keadilan. Pertama, ketakwaan individu. Kedua,
kontrol masyarakat. Ketiga, negara yang
menerapkan sistem Islam secara kaffah, termasuk dalam pengangkatan dan
pemberhentian hakim.
Pengadilan
Sumber dan Benteng Keadilan
Lembaga peradilan
sebagai lembaga independen, tidak bisa diintervensi oleh kekuasaan. Bahkan,
ketika lembaga ini harus memutuskan perkara yang melibatkan khalifah sekalipun.
Ini bisa direalisasikan, ketika kedaulatan di tangan syara'. Semuanya harus
tunduk kepada hukum syara', mulai dari khalifah, hakim hingga rakyat jelata.
Ketundukan kepada hukum syara' ini menjadi identitas khalifah, hakim termasuk
rakyat jelata. Dengannya, ketakwaan mereka bisa ditakar.
Ketakwaan inilah yang
menjadi benteng tegaknya keadilan. Karena itu, syarat ini melekat pada
khalifah, juga hakim yang memvonis perkara. Ketika 'Umar menjadi khalifah,
beliau menulis surat kepada Mu'ad bin Jabal dan Abu 'Ubaidah al-Jarrah,
“Perhatikanlah oleh kalian lelaki yang shalih [bertakwa], lalu angkatlah untuk
menjadi hakim.” [Ibn Qudamah, al-Mughni,
Juz IX/37]. Tidak hanya bertakwa, dia juga harus ikhlas, jauh dari sikap riya',
apalagi penjilat, ”Urusan Allah ini tidak akan bisa tegak, kecuali oleh orang
yang tidak mengada-ada, suka menunjukkan kebolehan, dan ambisius.” [Ibn
Qudamah, al-Mushannaf, Juz VIII/299].
Ketakwaan dan keikhlasan inilah yang membentuk kekuatan pribadi seorang hakim.
Dengan ketakwaan,
keikhlasan dan kekuatan pribadinya, seorang hakim tidak akan bermain mata,
apalagi ikut merekayasa kasus. Selain ketiga faktor ini, faktor kekayaan dan
strata sosial juga menjadi perhatian khalifah, ketika mengangkat hakim. Ini
juga penting untuk menutup celah agar hakim tidak bisa disuap atau dijatuhkan
kredibilitasnya. Pesan 'Umar, “Janganlah kalian meminta keputusan kecuali
kepada orang yang mempunyal harta dan kedudukan. Orang yang mempunyai harta
tidak membutuhkan harta orang lain. Sedangkan orang yang mempunyai kedudukan
tidak akan takut terhadap konsekuensi.” [Akhbar
al-Qudha', Juz I/76].
Selain itu, hakim pun
menjaga diri dari berbagai hal yang bisa mempengaruhi keputusannya. Selain
suap, hadiah, termasuk relasi bisnis dan sejenisnya juga dilarang oleh
khalifah. 'Umar pernah menulis surat kepada Abu Musa al-Asy'ari, ”Kamu jangan
sekali-kali berjual beli, melakukan mudharabah, dan menerima suap dalam
pemerintahan [keputusan].” ['Abdurrazzaq, al-Mushannaf,
Juz VIII/300].
Dengan semua kriteria
seperti itu, hakim di zaman khilafah benar-benar menjadi benteng keadilan,
hatta bagi rakyat yang bersengketa dengan khalifah. Qadhi Syuraih pernah
menjatuhkan vonis atas sengketa yang terjadi antara orang Yahudi dengan 'Ali
bin Abi Thalib, yang nota bena adalah
khalifah. 'Ali yang mengklaim baju besi milik Yahudi sebagai miliknya akhirnya
harus kalah, karena tidak bisa membuktikan klaimnya, baik dengan saksi maupun
yang lain.
Kasus
Rekayasa dan Rekayasa Kasus
Kasus rekayasa adalah
kasus yang tidak ada, tetapi direkayasa sehingga seolah-olah ada. Seperti
tuduhan zina, mencuri dan sebagainya. Dalam hal ini, Islam menetapkan, bahwa
hukum asal manusia itu tidak bersalah. Nabi menyatakan, “al-Bayyinatu 'ala al-Mudda'i wa al-yaminu 'ala man
ankara.” [Bukti itu wajib diberikan oleh orang yang menuduh, sedangkan
sumpah wajib diberikan oleh orang yang mengingkari tuduhan].
Dalam sistem peradilan
Islam hanya mengenal empat pembuktian: Pertama, saksi [syahadah]. Kedua, sumpah [yamin].
Ketiga, pengakuan [iqrar]. Keempat,
dokumen tertuiis [watsaiq]. Jika keempat
alat bukti ini dan atau salah satunya tidak ada, maka kasus tidak bisa
dilanjutkan. Terlebih, jika tuduhan itu bisa mencemarkan nama baik, maka tidak
mustahil tuduhan itu bisa berbalik kepada pihak penuduhnya jika dia bersikeras
tidak mau mencabut tuduhannya, sementara dia tidak bisa membuktikan tuduhannya.
Abu Bakrah radhiya-Llahu 'anhu pernah melaporkan kasus
yang menimpa Mughirah bin Syu'bah, yang rumahnya berhadapan dengan Abu Bakrah.
Ketika didapati Mughirah tidur dengan seorang wanita. Abu Bakrah pun mengajak
orang lain untuk menjadi saksi. Pendek kata, saksi pun lengkap empat orang.
Setelah saksi memenuhi nishab, empat orang, Abu Bakrah melaporkan kasus ini
kepada 'Umar. Tetapi ketika mereka dihadapkan di pengadilan, salah seorang
saksi menarik kesaksiannya. Konsekuensinya, Abu Bakrah dihadapkan pada pilihan
yang sulit: melanjutkan aduan atau menarik.
Karena nishab
kesaksiannya kurang, maka tidak ada pilihan kecuali menarik tuduhan. Jika
tidak, maka Abu Bakrah bisa dicambuk 80 kali, karena tuduhan zina [qadzaf], dengan konsekuensi kesaksiannya tidak
akan diterima selama-lamanya. Abu Bakrah ternyata memilih pilihan yang
terakhir, karena tidak ingin berbohong dua kali kepada Allah, meski dengan
konsekuensi yang sangat berat. Setelah dicambuk 80 kali, dan kesaksiannya tidak
diterima, Abu Bakrah tetap tidak mengubah pendiriannya. 'Ali bin Abi Thalib pun
menyarankan 'Umar, jika Abu Bakrah tetap bersikukuh dengan pendiriannya maka
'Umar harus mengambil sumpah Mughirah. Akhirnya kasus ini dihentikan karena
'Umar tidak mau mengambil sumpah dari Mughirah.
Kasus Mughirah yang
dilaporkan Abu Bakrah ini benar-benar terjadi, tetapi karena pembuktiannya
tidak memenuhi syarat, laporan ini pun berbalik kepada pelapornya. Jika
demikian keadaannya maka dalam negara khilafah sangat sulit merekayasa kasus,
atau munculnya kasus-kasus rekayasa.
Dendam
dan Kejernihan Hati Hakim
Masalah hati memang
tidak bisa dinilai. Karena itu, Nabi mengingatkan, "Nahnu qaumun nahkumu bi ad-dhawahiri wa-Llahu ya'lamu
as-sara'ir.” [Kita adalah kaum yang kita memutuskan hukum berdasarkan
yang tampak, sedangkan Allah yang Maha Tahu apa yang tak tampak]. Itulah yang
menjadi pegangan 'Umar, ketika menjadi khalifah.
Kata 'Umar,
"Sekarang kami mengetahui kalian melalui ucapan kalian. Siapa saja yang
menyatakan kepada kami kebaikan, kami pun menduganya baik dan mencintainya.
Siapa saja yang menyatakan keburukan, kami pun menduganya buruk dan kami pun
membencinya. Tentang rahasia kalian adalah urusan antara kalian dengan
Allah." [Riwayat Bukhari]
Meski begitu, 'Umar
menetapkan, jika ada kasus yang telah terjadi dua tahun lebih, maka ketika
kasus itu diajukan ke pengadilan, 'Umar pun menginstruksikan agar kasus
tersebut ditolak. Alasannya, ketika seseorang mengajukan kasus lebih dari dua
tahun, sebenarnya dia bukan untuk mencari keadilan tetapi karena dendam.
Pada saat yang sama,
hakim pun tidak boleh memutuskan dengan marah, dendam atau berpihak kepada
salah satu. Bahkan, itu disyaratkan kepada para hakim oleh 'Umar bin Khatthab.
Itu dituturkan oleh Qadhi Syuraih, ”'Umar menetapkan syarat kepadaku ketika mengangkatku
sebagai hakim, agar aku tidak memutuskan dalam keadaan marah.” [Ibn Qudamah, al-Mughni, Juz IX/79]. Bukan hanya marah yang
dilarang oleh 'Umar, tetapi dendam, atau keberpihakan kepada pihak tertentu,
sehingga menutupi keadilan yang seharusnya diberikan kepada yang berhak.
'Umar pun menyatakan
kepada Abu Musa al-Asy'ari, “Janganlah Anda memutuskan perkara, ketika Anda
marah.” ['Abdurrazzaq, al-Mushannaf, Juz
VIII/300]. Pesan 'Umar kepada para hakim, ”Hendaknya seorang hakim tidak
memutuskan, kecuali dalam keadaan kenyang dan segar." [Riwayat
al-Baihaqi].
Begitulah keadilan
ditegakkan dalam sistem Islam, di bawah naungan khilafah. Keadilan bagi setiap
pencarinya, juga pengemban dan pemberinya. Karena, kezaliman kelak akan membawa
kegelapan dan petaka di akhirat. []
Sumber: Tabloid Media
Umat edisi 191
---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar