Unduh BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Senin, 25 Januari 2021

Cara Khilafah Menangani Rekayasa Kasus, Kasus Kadaluwarsa Dan Dendam



Oleh: KH Hafidz Abdurrahman, Lajnah Tsaqafiyah

Meski khilafah adalah negara Islam, yang tegak di atas pondasi akidah Islam yang kokoh, dan menerapkan sistem Islam yang terpancar dari akidah tersebut, tetapi khilafah adalah negara manusia, bukan negara malaikat. Manusia tetaplah manusia, yang tidak maksum, dan berpotensi melakukan maksiat. Meski akidah dan sistem Islam yang ada berhasil membentuk ketakwaan individu, tetapi ketakwaan itu sendiri tidak bersifat konstan. Sebaliknya, bisa naik dan turun.

Itulah mengapa di dalam sistem khilafah sekalipun ditemukan adanya rekayasa kasus, kasus kadaluwarsa yang diungkit kembali, termasuk dendam yang mencuat di pengadilan. Karena memang, senyatanya khilafah adalah negara manusia, bukan negara malaikat. Hanya saja, bedanya khilafah dengan negara manapun yang ada adalah, di dalam Khilafah ada tiga benteng tegaknya keadilan. Pertama, ketakwaan individu. Kedua, kontrol masyarakat. Ketiga, negara yang menerapkan sistem Islam secara kaffah, termasuk dalam pengangkatan dan pemberhentian hakim.

Pengadilan Sumber dan Benteng Keadilan

Lembaga peradilan sebagai lembaga independen, tidak bisa diintervensi oleh kekuasaan. Bahkan, ketika lembaga ini harus memutuskan perkara yang melibatkan khalifah sekalipun. Ini bisa direalisasikan, ketika kedaulatan di tangan syara'. Semuanya harus tunduk kepada hukum syara', mulai dari khalifah, hakim hingga rakyat jelata. Ketundukan kepada hukum syara' ini menjadi identitas khalifah, hakim termasuk rakyat jelata. Dengannya, ketakwaan mereka bisa ditakar.

Ketakwaan inilah yang menjadi benteng tegaknya keadilan. Karena itu, syarat ini melekat pada khalifah, juga hakim yang memvonis perkara. Ketika 'Umar menjadi khalifah, beliau menulis surat kepada Mu'ad bin Jabal dan Abu 'Ubaidah al-Jarrah, “Perhatikanlah oleh kalian lelaki yang shalih [bertakwa], lalu angkatlah untuk menjadi hakim.” [Ibn Qudamah, al-Mughni, Juz IX/37]. Tidak hanya bertakwa, dia juga harus ikhlas, jauh dari sikap riya', apalagi penjilat, ”Urusan Allah ini tidak akan bisa tegak, kecuali oleh orang yang tidak mengada-ada, suka menunjukkan kebolehan, dan ambisius.” [Ibn Qudamah, al-Mushannaf, Juz VIII/299]. Ketakwaan dan keikhlasan inilah yang membentuk kekuatan pribadi seorang hakim.

Dengan ketakwaan, keikhlasan dan kekuatan pribadinya, seorang hakim tidak akan bermain mata, apalagi ikut merekayasa kasus. Selain ketiga faktor ini, faktor kekayaan dan strata sosial juga menjadi perhatian khalifah, ketika mengangkat hakim. Ini juga penting untuk menutup celah agar hakim tidak bisa disuap atau dijatuhkan kredibilitasnya. Pesan 'Umar, “Janganlah kalian meminta keputusan kecuali kepada orang yang mempunyal harta dan kedudukan. Orang yang mempunyai harta tidak membutuhkan harta orang lain. Sedangkan orang yang mempunyai kedudukan tidak akan takut terhadap konsekuensi.” [Akhbar al-Qudha', Juz I/76].

Selain itu, hakim pun menjaga diri dari berbagai hal yang bisa mempengaruhi keputusannya. Selain suap, hadiah, termasuk relasi bisnis dan sejenisnya juga dilarang oleh khalifah. 'Umar pernah menulis surat kepada Abu Musa al-Asy'ari, ”Kamu jangan sekali-kali berjual beli, melakukan mudharabah, dan menerima suap dalam pemerintahan [keputusan].” ['Abdurrazzaq, al-Mushannaf, Juz VIII/300].

Dengan semua kriteria seperti itu, hakim di zaman khilafah benar-benar menjadi benteng keadilan, hatta bagi rakyat yang bersengketa dengan khalifah. Qadhi Syuraih pernah menjatuhkan vonis atas sengketa yang terjadi antara orang Yahudi dengan 'Ali bin Abi Thalib, yang nota bena adalah khalifah. 'Ali yang mengklaim baju besi milik Yahudi sebagai miliknya akhirnya harus kalah, karena tidak bisa membuktikan klaimnya, baik dengan saksi maupun yang lain.

Kasus Rekayasa dan Rekayasa Kasus

Kasus rekayasa adalah kasus yang tidak ada, tetapi direkayasa sehingga seolah-olah ada. Seperti tuduhan zina, mencuri dan sebagainya. Dalam hal ini, Islam menetapkan, bahwa hukum asal manusia itu tidak bersalah. Nabi menyatakan, “al-Bayyinatu 'ala al-Mudda'i wa al-yaminu 'ala man ankara.” [Bukti itu wajib diberikan oleh orang yang menuduh, sedangkan sumpah wajib diberikan oleh orang yang mengingkari tuduhan].

Dalam sistem peradilan Islam hanya mengenal empat pembuktian: Pertama, saksi [syahadah]. Kedua, sumpah [yamin]. Ketiga, pengakuan [iqrar]. Keempat, dokumen tertuiis [watsaiq]. Jika keempat alat bukti ini dan atau salah satunya tidak ada, maka kasus tidak bisa dilanjutkan. Terlebih, jika tuduhan itu bisa mencemarkan nama baik, maka tidak mustahil tuduhan itu bisa berbalik kepada pihak penuduhnya jika dia bersikeras tidak mau mencabut tuduhannya, sementara dia tidak bisa membuktikan tuduhannya.

Abu Bakrah radhiya-Llahu 'anhu pernah melaporkan kasus yang menimpa Mughirah bin Syu'bah, yang rumahnya berhadapan dengan Abu Bakrah. Ketika didapati Mughirah tidur dengan seorang wanita. Abu Bakrah pun mengajak orang lain untuk menjadi saksi. Pendek kata, saksi pun lengkap empat orang. Setelah saksi memenuhi nishab, empat orang, Abu Bakrah melaporkan kasus ini kepada 'Umar. Tetapi ketika mereka dihadapkan di pengadilan, salah seorang saksi menarik kesaksiannya. Konsekuensinya, Abu Bakrah dihadapkan pada pilihan yang sulit: melanjutkan aduan atau menarik.

Karena nishab kesaksiannya kurang, maka tidak ada pilihan kecuali menarik tuduhan. Jika tidak, maka Abu Bakrah bisa dicambuk 80 kali, karena tuduhan zina [qadzaf], dengan konsekuensi kesaksiannya tidak akan diterima selama-lamanya. Abu Bakrah ternyata memilih pilihan yang terakhir, karena tidak ingin berbohong dua kali kepada Allah, meski dengan konsekuensi yang sangat berat. Setelah dicambuk 80 kali, dan kesaksiannya tidak diterima, Abu Bakrah tetap tidak mengubah pendiriannya. 'Ali bin Abi Thalib pun menyarankan 'Umar, jika Abu Bakrah tetap bersikukuh dengan pendiriannya maka 'Umar harus mengambil sumpah Mughirah. Akhirnya kasus ini dihentikan karena 'Umar tidak mau mengambil sumpah dari Mughirah.

Kasus Mughirah yang dilaporkan Abu Bakrah ini benar-benar terjadi, tetapi karena pembuktiannya tidak memenuhi syarat, laporan ini pun berbalik kepada pelapornya. Jika demikian keadaannya maka dalam negara khilafah sangat sulit merekayasa kasus, atau munculnya kasus-kasus rekayasa.

Dendam dan Kejernihan Hati Hakim

Masalah hati memang tidak bisa dinilai. Karena itu, Nabi mengingatkan, "Nahnu qaumun nahkumu bi ad-dhawahiri wa-Llahu ya'lamu as-sara'ir.” [Kita adalah kaum yang kita memutuskan hukum berdasarkan yang tampak, sedangkan Allah yang Maha Tahu apa yang tak tampak]. Itulah yang menjadi pegangan 'Umar, ketika menjadi khalifah.

Kata 'Umar, "Sekarang kami mengetahui kalian melalui ucapan kalian. Siapa saja yang menyatakan kepada kami kebaikan, kami pun menduganya baik dan mencintainya. Siapa saja yang menyatakan keburukan, kami pun menduganya buruk dan kami pun membencinya. Tentang rahasia kalian adalah urusan antara kalian dengan Allah." [Riwayat Bukhari]

Meski begitu, 'Umar menetapkan, jika ada kasus yang telah terjadi dua tahun lebih, maka ketika kasus itu diajukan ke pengadilan, 'Umar pun menginstruksikan agar kasus tersebut ditolak. Alasannya, ketika seseorang mengajukan kasus lebih dari dua tahun, sebenarnya dia bukan untuk mencari keadilan tetapi karena dendam.

Pada saat yang sama, hakim pun tidak boleh memutuskan dengan marah, dendam atau berpihak kepada salah satu. Bahkan, itu disyaratkan kepada para hakim oleh 'Umar bin Khatthab. Itu dituturkan oleh Qadhi Syuraih, ”'Umar menetapkan syarat kepadaku ketika mengangkatku sebagai hakim, agar aku tidak memutuskan dalam keadaan marah.” [Ibn Qudamah, al-Mughni, Juz IX/79]. Bukan hanya marah yang dilarang oleh 'Umar, tetapi dendam, atau keberpihakan kepada pihak tertentu, sehingga menutupi keadilan yang seharusnya diberikan kepada yang berhak.

'Umar pun menyatakan kepada Abu Musa al-Asy'ari, “Janganlah Anda memutuskan perkara, ketika Anda marah.” ['Abdurrazzaq, al-Mushannaf, Juz VIII/300]. Pesan 'Umar kepada para hakim, ”Hendaknya seorang hakim tidak memutuskan, kecuali dalam keadaan kenyang dan segar." [Riwayat al-Baihaqi].

Begitulah keadilan ditegakkan dalam sistem Islam, di bawah naungan khilafah. Keadilan bagi setiap pencarinya, juga pengemban dan pemberinya. Karena, kezaliman kelak akan membawa kegelapan dan petaka di akhirat. []

Sumber: Tabloid Media Umat edisi 191
---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Download BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam