Dalam istilah hukum
positif yang berlaku di Indonesia ada istilah terduga, tersangka, dan terdakwa.
Terduga adalah orang yang diduga melakukan kejahatan atau pelanggaran hukum,
dengan adanya bukti permulaan, atau sebelum adanya barang bukti. Status naik menjadi
tersangka, ketika sudah ada barang bukti yang kuat sebagai bukti kejahatannya,
sebelum dilimpahkan ke pengadilan. Setelah dilimpahkan ke kejaksaan, dan
diajukan ke pengadilan, statusnya naik lagi menjadi terdakwa.
Hanya saja, di dalam
Islam, bukti yang bisa digunakan hanya ada empat. Empat itu adalah saksi [syahadah], jumlahnya sesuai dengan jenis
kejahatan atau kasusnya. Kedua, pengakuan [iqrar]
pelaku. Ketiga, sumpah [yamin], bagi
pihak terdakwa yang mengingkari kejahatan atau kasusnya, jika bukti yang
pertama tidak cukup. Keempat, dokumen [watsiqah]
perjanjian atau akad. Selain itu, tidak bisa digunakan sebagai bukti untuk
memvonis seseorang sebagai pelakunya. Meski, bisa saja video, gambar atau sidik
jari dan sejenisnya digunakan sebagai "bukti permulaan” tetapi tidak bisa
digunakan untuk menetapkan vonis.
Selain bukti yang
berbeda, dasar, filosofi hukum dan pembuktian di dalam Islam juga berbeda.
Inilah yang membedakan sistem peradilan dalam Islam dengan sistem non-Islam,
baik yang menganut ideologi kapitalisme maupun sosialisme.
Takwa
Sebagai Pondasi
Perbedaan mendasar
kedua sistem yang ada ini adalah pada ketakwaan yang menjadi pondasi. Jika
individu, masyarakat dan negara khilafah itu dibangun dengan pondasi ketakwaan
kepada Allah SWT, maka tidak demikian dengan negara sekuler.
Dengan pondasi
ketakwaan seperti ini, aparat tidak dengan seenaknya menjadikan seseorang
menjadi terduga atau tersangka, kecuali benar-benar berdasarkan bukti yang
valid. Penegak hukum tidak akan bertindak semena-mena, dengan mencari-cari
kesalahan seseorang yang menjadi target [TO], hanya karena memenuhi syahwat
kekuasaan. Begitu juga, orang yang melakukan kejahatan, dengan ketakwaannya
tidak akan berbohong atau merekayasa kasusnya agar tidak bisa dibuktikan,
dengan memanfaatkan celah hukum yang ada.
Pendek kata, dengan
dasar ketakwaan pada kedua belah pihak, masing-masing pihak bertindak sesuai
dengan apa yang Allah tetapkan. Dengan begitu, semua proses hukum akan berjalan
dengan adil seadil-adilnya, dan jujur sejujur-jujurnya. Tidak ada rekayasa, tidak
ada kebohongan, tidak ada intimidasi dan seterusnya.
Penerapan
Asas
Selain pondasi
ketakwaan, peradilan di dalam Islam mempunyai filosofi yang khas, yaitu ”al-Ashlu bara'atu ad-dzimmah" [Hukum asal
manusia tidak bersalah], sampai bisa dibuktikan bahwa dia bersalah. Karena itu,
pembuktiannya pun sangat ketat. Dengan dasar dan filosofi seperti itu, siapapun
tidak boleh menangkap dan menahan warga negara, apalagi membunuhnya, sebelum
dibuktikan dengan bukti yang kuat. Sampai Nabi SAW menyatakan, ”Cegahlah
hukuman hudud itu, meski dengan syubhat," saking berharganya kehormatan, jiwa
dan raga setiap warga negara.
Meski dengan
"bukti permulaan" aparat penegak hukum boleh menahan, dan meminta
keterangan orang yang diduga melakukan kejahatan atau pelanggaran hukum, tetapi
tetap saja dia tidak boleh diintimidasi apalagi disiksa agar memberikan
pengakuan [iqrar], supaya bisa dijadikan
tersangka dan terduga. Kehormatan, jiwa dan raganya wajib dijaga. Penegak hukum
yang bertindak sebagai penegak hukum harus berpegang pada filosofi ”al-Ashlu bara'atu ad-dzimmah” Karena itu,
tidak boleh mengeluarkan statemen, misalnya, ”Terduga
teroris, terduga makar, terduga porno…” dan sebagainya. Meski dimulai
dengan kata, "terduga” tetap saja bisa dianggap sebagai pencemaran nama
baik. Terlebih setelah itu, tidak ada rehabilitasi yang dilakukan.
Siapapun yang
melakukan pencemaran nama baik, apalagi menyerang jiwa dan raga orang yang
diduga melakukan kejahatan, bisa dituntut oleh pihak yang dirugikan. Sanksinya
pun jelas dan tegas. Bukan karena penegak hukum kemudian bisa bertindak
semena-mena, atau malah meruntuhkan hukum yang seharusnya ditegakkan. Semuanya
itu bisa diwujudkan dengan dasar ketakwaan dan filosofi hukum yang harus
dijunjung tinggi.
Karena itu, Islam
telah menetapkan, semua proses pengadilan dilakukan di ruang sidang, bukan di
luar sidang. Apapun kesaksian, pengakuan, sumpah atau dokumen yang diberikan di
luar persidangan tidak bisa diterima oleh pengadilan. Ini merupakan proses yang
ditetapkan dalam Islam untuk menjaga agar hukum yang ditegakkan benar-benar
adil.
Adil
dan Independen
Begitu rupa Islam
menjaga kehormatan, jiwa dan raga warga negaranya, proses menjatuhkan vonis
kepada seseorang yang dinyatakan sebagai terduga, tersangka hingga terdakwa
begitu hati-hati dan ketat. Karena Islam tidak mengenal peradilan banding, maka
keputusan hakim bersifat mengikat, dan tidak bisa dibatalkan oleh siapapun.
Karena itu, selain
pondasi ketakwaan, filosofi ”al-ashlu bara’atu
ad-dzimmah”, pembuktian dan prosesnya yang begitu rigit, peradilannya
pun diatur sedemikian rupa. Dimulai dari pembuktian yang tidak bisa dilakukan
di luar mahkamah, itu berarti kedudukan hakim menjadi sangat penting.
Independensi dan keadilan hakim sangat menentukan. Dalam konteks ini, Islam
telah menetapkan banyak hukum syara' yang mengatur kepribadian, akhlak, adab
dan tindakan hakim, baik di dalam maupun di luar persidangan.
Asyhab, seorang
fuqaha' dari mazhab Maliki, menyatakan bahwa merupakan kewajiban hakim untuk
"meremehkan" penguasa [Thahir bin Asyur, Maqashid as-Syariah, hal.197]. Maksudnya, hakim tidak bisa
ditekan apalagi dipaksa memenuhi syahwat penguasa. Itu artinya, para hakim itu
pun sangat independen, tidak bisa dipengaruhi oleh kekuasaan. Hakim juga harus
menjaga wibawa dirinya, baik di dalam maupun di luar pengadilan. Karena itu,
tidak boleh bergaul dengan masyarakat yang bisa merusak wibawanya. Imam Syafii
pun menyatakan makruh, jika hakim berbisnis dengan masyarakat, yang bisa
menciderai keadilannya [al-Mawardi, Adab
al-Qadhi, juz I/237-238].
Menerima hadiah juga
tidak boleh, apalagi suap. Karena hakim adalah pegawai kaum Muslim, yang
dibayar oleh negara. Kebutuhannya dipenuhi oleh negara, sehingga tidak lagi
pusing memikirkan keadaan ekonomi diri dan keluarganya.
Selain itu, keputusan
yang dijatuhkan di peradilan itu ibaratnya merupakan "utang" bagi
setiap hakim. Semua ada bayarannya. Jika dia memberikan keputusan yang salah
dan zhalim, maka dia akan menerima bayarannya. Jika dia memberikan keputusan yang
benar dan adil, maka dia pun akan menerima bayarannya. Bisa di dunia, maupun di
akhirat. Dengan begitu, maka hukum yang keluar dari proses peradilan seperti
ini akan dihormati, ditaati dan dilaksanakan dengan penuh keikhlasan sebagai
ketundukan kepada hukum Allah SWT yang adil.
Dengan cara seperti
itu, kehormatan, jiwa dan raga setiap warga negara akan terjaga dengan baik.
Begitulah cara Islam dengan sistem khilafahnya yang luar biasa memperlakukan
orang yang berstatus sebagai terduga, tersangka bahkan terdakwa sekalipun.
Dengan begitu, hanya Islam dengan sistem Khilafahnyalah satu-satunya yang bisa
memartabatkan manusia. Wallahu a'lam. []
Sumber: Tabloid Media
Umat edisi 194
---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar