Metode Dakwah Islam Mengatasi Kedangkalan Berpikir
Sedangkan kaum terpelajar, bagaimana pun juga macam pengetahuan mereka, dalam pandangan Hizb mereka tetap seperti orang kebanyakan. Karena itu, mereka harus dibina lagi dengan tsaqafah Hizb, dengan pembinaan intensif dan pembinaan umum. Dalam hal ini Hizb mengasumsikan bahwa setiap orang dianggap tidak mempunyai tsaqafah apa pun, berapa pun tingkat pengetahuannya, baik pengetahuan yang diterima sebelumnya berupa pengetahuan Islam atau pengetahuan yang lain. Hizb tetap wajib membinanya lagi dari awal.
Asumsi terhadap setiap orang ini harus dilakukan, karena dua alasan :
Pertama, bahwa pemikiran dan potensi akal terdapat pada semua orang, baik kaum terpelajar maupun bukan. Mereka berbeda-beda tingkat pemikirannya, karena adanya perbedaan potensi alamiahnya, bukan karena bertambahnya informasi. Sebab tsaqafah Islam kadang-kadang dapat tercetus dari seorang jenius yang mempunyai pengetahuan minim. Kejeniusannya dapat mencapai tsaqafah Islamiyah itu sehingga menjadi nampak sangat jelas baginya. Pemikirannya maju beberapa langkah mendahului orang-orang yang mempunyai pengetahuan lebih banyak dan ilmu yang lebih kaya darinya. Karena itu, yang menjadi tolok ukur adalah adanya potensi akal yang harus dijadikan pertimbangan utama. Sebab potensi akal itulah yang akan membuat seseorang lebih mampu mengemban qiyadah fikriyah serta menciptakan revolusi pemikiran dan perasaan di tengah-tengah masyarakat.
Kedua, metode berpikir yang dimiliki oleh kaum terpelajar -meskipun mereka mempunyai berbagai pengetahuan- adakanya dangkal atau terpengaruh dengan metode ilmiah. Keduanya jauh dari metode berpikir akliah. Selama metode berpikir itu tidak diubah dan diganti dengan metode berpikir akliah, dan selama dasar pemikiran dan pemikiran-pemikiran yang mereka emban juga tidak diubah, maka mereka tidak dapat dianggap sebagai para pemikir. Karena itu mereka harus diubah menjadi para pemikir dengan cara memberikan metode berpikir akliah kepada mereka sehingga mereka menjadi para pemikir. Atas dasar itu, Hizb wajib melahirkan para pemikir yang unggul di tengah-tengah umat.
33. Dalam melaksanakan tugasnya -yaitu mengemban dakwah Islam- Hizb harus berjalan sesuai dengan metode Islam. Metode Islam dalam mengemban dakwah ke seluruh dunia adalah jihad, sedangkan metode Islam dalam mengemban dakwah Islam kepada masyarakat adalah dengan mengajak mereka kepada Islam dengan metode hikmah, mau’idhah hasanah, serta jidal billati hiya ahsan. Allah SWT berfirman :
“Serulah (mereka) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan peringatan yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”
(QS An Nahl : 125).
Yang dimaksud dengan hikmah adalah bukti atau argumentasi yang logis (al burhan al aqli). Sedangkan mau’idhah hasanah adalah memberi peringatan yang baik (at tadzkir al jamil), yaitu mempengaruhi perasaan masyarakat ketika kita menyeru akal mereka, atau mempengaruhi akal mereka ketika kita menyeru perasaan mereka, sampai perasaan dan pemikiran mereka bersatu padu sehingga mampu membuahkan amal perbuatan secara sempurna. Adapun jidal billati hiya ahsan adalah diskusi yang fokusnya terbatas pada pemikiran dan tidak melewati batas pemikiran, yakni menyerang pribadi. Ketiga metode dakwah ini wajib diperhatikan, sebab kebanyakan orang yang dihadapi dalam dakwah di tengah-tengah masyarakat adalah tiga kelompok berikut :
Pertama, kelompok yang ingin memahami Islam dan mengemban dakwah Islam. Namun mereka ingin memahami Islam melalui proses berpikir sampai akalnya puas dan hatinya tenang. Kelompok ini harus didakwahi dengan argumentasi logis dan kajian yang mendalam. Ini dilakukan melalui pembinaan intensif yang tidak dapat diperoleh orang kecuali di dalam halaqah-halaqah. Di dalamnya dia pertama-tama akan menerima tsaqafah. Setelah itu dia akan membina halaqah lain. Jadi orang yang dibina dalam halaqah diseru dengan hikmah, dan orang yang membina halaqah menyeru dengan hikmah. Inilah proses pembinaan yang menyadarkan (tsaqafah wa’iyah) yang akan melahirkan revolusi pemikiran dalam diri seseorang serta menjadikan dirinya mampu melahirkan revolusi pemikiran dalam diri orang lain di masyarakat.
Kedua, kelompok khalayak ramai, yaitu orang-orang yang tidak mempunyai cukup waktu, kesiapan, serta situasi dan kondisi yang memungkinkan mereka untuk mengikuti pembinaan intensif secara terus menerus. Termasuk dalam golongan ini adalah mereka yang pernah mengikuti halaqah kemudian berhenti, atau mereka yang sama sekali belum pernah mengikuti halaqah. Kepada mereka ini disampaikan dakwah melalui pembinaan umum (tsaqafah jama’iyah). Proses pembinaan ini dapat dilakukan dengan ceramah, tulisan, radio, koran, dan semua sarana publikasi. Tetapi harus dipahami dengan jelas bahwa pembinaan yang diberikan secara umum ini wajib memperhatikan aspek pemberian pengaruh terhadap perasaan ketika kita melakukan pembahasan yang bersifat akliah atau memberikan pemikiran yang mendalam. Juga harus tetap diperhatikan aspek pemberian pengaruh yang mendalam terhadap akal ketika kita melakukan pembahasan yang menyentuh perasaan. Dengan demikian, tsaqafah yang disampaikan tidak melulu bersifat akliah sehingga menjadi beku dan tidak disambut dengan baik oleh khalayak ramai. Juga tidak melulu bersifat emosional sehingga terkesan murahan dan tidak diterima oleh kalangan intelektual. Perlu diperhatikan, bahwa pembinaan umum inilah yang dapat menggerakkan masyarakat dan memberikan pemahaman kepada mereka. Pembinaan inilah yang menyebabkan dakwah di tengah masyarakat menjadi angin topan dan arus gelombang yang menghanyutkan. Artinya, pembinaan umum itulah yang yang akan benar-benar mengendalikan masyarakat dalam langkah perjuangan dakwah untuk merealisasikan target-target dakwah. Karena itu, proses pembinaan umum ini harus diberi perhatian khusus.
Ketiga, orang-orang yang terpesona dengan pemikiran-pemikiran lain dan organisasi-organisasi lain, atau orang-orang yang sedang kebingungan. Mereka ini adalah penganut pemikiran-pemikiran lain dan orang-orang yang bingung. Terhadap mereka, harus dilakukan diskusi mengenai pemikiran Islam. Mereka harus diajak untuk memahami Islam dan mengemban dakwah Islam, meskipun sudah pasti mereka akan menentang dakwah dengan cara menebarkan keraguan terhadap pemikiran Islam dan memberikan persepsi-persepsi yang rancu tentangnya serta menyerang pemikiran Islam. Oleh karena itu, seorang pengemban dakwah harus berlapang dada terhadap mereka. Dia harus mengambil posisi sebagai pihak yang menyerang pemikiran-pemikiran mereka yang rusak, pemahaman-pemahaman mereka yang rancu, serta metode-metode berpikir mereka yang bengkok. Dia harus menjauhi posisi sebagai pihak yang diserang dan jangan sampai mau menerima Islam sebagai pihak yang tertuduh. Dia harus menolak mentah-mentah semua itu dan segera menjelaskan pemikiran-pemikiran Islam dengan cara memberikan penjelasan (bayan) dan uraian (syarah), bukan dengan cara membela diri secara defensif. Bantahan yang diberikannya wajib berupa jidal billati hiya ahsan (perdebatan dengan cara yang baik), yaitu harus berupa diskusi, bukan debat kusir. Dalam diskusi tersebut, hendaknya pengemban dakwah waspada terhadap dua trik di mana penganut pemikiran yang rusak akan berusaha mengalihkan pembicaraan dengan dua trik tersebut ketika mereka menyadari kekalahannya. Trik pertama, yaitu pengalihan pembicaraan -ketika pengemban dakwah hampir sampai pada kebenaran yang meyakinkan- kepada pembicaraan lain sebelum selesainya pembicaraan pertama. Pengalihan ini mengakibatkan diskusi hanya berputar-putar dalam lingkaran kosong, yakni hanya berpindah-pindah dari satu pembahasan ke pembahasan lain, sehingga membuang-buang waktu yang tidak sedikit tanpa pernah sampai kepada tujuan diskusi. Trik kedua, ketika para penganut pemikiran rusak itu menyadari kekalahannya, mereka akan segera mencela dan menyerang pribadi lawan diskusinya atau orang-orang yang mendakwahinya. Ini dapat membuat pengemban dakwah tersebut balas mencela atau melakukan pembelaan terhadap dirinya ataupun terhadap pengemban dakwah lainnya. Karena itu, hendaknya kita waspada terhadap hal ini. Tidak dibolehkan terlibat dalam pembelaan terhadap diri pribadi atau terhadap pengemban dakwah yang lain. Kita harus pula menghindarkan diri membalas celaan, sebab semua ini merupakan usaha mengalihkan perhatian dari pemikiran dan proses berpikir yang mendalam. Padahal justru inilah yang diinginkan oleh penganut pemikiran yang rusak tersebut. Karena itu, pembicaraan harus dibatasi pada aspek pemikiran semata dan aspek dakwah saja. Dalam hal ini wajib ada pemikiran yang diterima oleh kedua belah pihak yang dapat dijadikan rujukan dalam pembicaraan. Selama tidak ada pemikiran dasar yang diterima oleh kedua belah pihak, tidak mungkin melakukan diskusi sebab dalam keadaan demikian diskusi sebenarnya tidak pernah ada.
...............................
Tidak ada komentar:
Posting Komentar