Konsep Kecantikan Menurut Islam
BAB VII
ISLAM DAN KONSEP KECANTIKAN
Sama sekali
berkebalikan dengan jati diri orang-orang Barat yang menjadikan akal dan hawa
nafsu manusia sebagai standar untuk menentukan bagaimana manusia menjalani
kehidupan, jati diri Islam berlandaskan pada keyakinan bahwa Sang Pencipta manusia
dan alam semesta adalah satu-satunya Zat yang mempunyai kedaulatan dan otoritas
untuk menentukan bagaimana umat manusia menjalani kehidupannya. Lebih dari itu,
Dia-lah satu-satunya Zat yang menciptakan manusia, berikut naluri dan kebutuhan
fisik yang dimilikinya, dan bahwa Dia-lah yang paling tahu bagaimana cara
terbaik untuk mengatur mereka.
Pandangan
hidup sekuler Barat mengemban konsep kebebasan pribadi yang menetapkan bahwa
kaum laki-laki dan perempuan memiliki kebebasan untuk menentukan bagaimana mereka
berbusana, bagaimana mereka berpenampilan, bagaimana semestinya mereka
memandang lawan jenisnya, bagaimana model pergaulan di antara mereka, apa peran
mereka dalam kehidupan rumah tangga dan di tengah-tengah masyarakat, serta
bagaimana seharusnya mereka bertingkah laku. Sebaliknya, kaum Muslim, baik
laki-laki maupun perempuan, menjalani kehidupan mereka atas dasar keyakinan
bahwa mereka harus mempertanggungjawabkan setiap perbuatan mereka di dunia
kepada Sang Khaliq. Oleh karena itu, kaum Muslim paham bahwa mereka harus
mengembalikan setiap permasalahan pada hukum dan aturan, serta pada standar
halal dan haram yang telah ditetapkan oleh Sang Khaliq. Oleh karena itu, kaum
Muslimah tidak menjadikan akal pikiran dan hawa nafsunya sebagai penentu
bagaimana mereka mendefinisikan kecantikan, penampilannya, atau bagaimana
mereka menilai dirinya; tetapi mereka mengembalikan semua permasalahan tersebut
kepada al-Qur’an dan as-Sunnah. Bagi kaum Muslim, hawa nafsu tidak boleh
menjadi standar dalam menentukan bagaimana mereka melihat dan memperlakukan
kaum perempuan; tetapi mereka menjadikan al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai
standar. Allah Swt berfirman dalam Surat al-Ahzab:
]وَمَا كَانَ
لِمُؤْمِنٍ وَلاَ
مُؤْمِنَةٍ إِذَا
قَضَى اللهُ وَرَسُولُهُ
أَمْرًا
أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلاَلاً مُبِينًا[
أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلاَلاً مُبِينًا[
Dan
tidaklah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi perempuan yang
mu'min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada
bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa
mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang
nyata. (TQS. al-Ahzab [33]: 36)
Islam tidak
menentukan konsep yang pasti mengenai kriteria “Wanita Cantik”, dan juga tidak
menentukan bagaimana penampilan seorang perempuan agar nampak kecantikannya. Oleh
karena itu, dalam Islam tidak terdapat harapan-harapan yang tidak wajar yang
mesti diraih oleh perempuan, maupun diharapkan oleh kaum laki-laki. Namun
demikian, Islam memang membahas konsep tentang bagaimana seorang Muslimah harus
berpenampilan pada berbagai kesempatan, dan kepada siapa saja ia dapat
sepenuhnya menunjukkan kecantikannya.
Di depan
laki-laki yang bukan mahramnya, atau kalangan yang boleh menikah dengannya,
seorang Muslimah diwajibkan berpenampilan sesuai dengan syariat, yaitu menutup
seluruh bagian tubuhnya kecuali wajah dan kedua telapak tangannya. Selain itu,
busana yang dikenakannya tidak boleh terlalu tipis sehingga kulitnya bisa
kelihatan, dan juga tidak boleh terlalu ketat sehingga tampak bentuk tubuhnya.
Dengan demikian, seluruh bagian tubuh perempuan, termasuk lehernya, kakinya,
dan rambutnya (meski hanya sehelai saja) –selain wajah dan kedua telapak
tangannya– merupakan aurat, yang haram ditampakkan di depan laki-laki yang
bukan mahramnya. Segala bentuk pengecualian atas ketentuan ini harus ditetapkan
melalui nash-nash al-Qur’an dan as-Sunnah, bukan akal manusia.
Dalam satu
hadits yang diriwayatkan ‘Aisyah ra., beliau berkata bahwa Asma’ binti Abu
Bakar telah memasuki rumah Rasulullah Saw. dengan memakai busana yang tipis,
maka Rasulullah Saw. pun berpaling seraya berkata:
«يَا أَسْمَاءَ
إِنَّ الْمَرْأَةَ
إِذَا بَلَّغَتْ
المَحِيْضَ لَمْ
يَصْلُحْ أَنْ
يُرَى مِنْهَا
إِلاَّ هَذَا وَهَذَا،
وَأَشَارَ إِلَى
وَجْهِهِ وَكَفَّيِهِ»
Wahai Asma’, sesungguhnya perempuan itu jika telah
baligh tidak pantas untuk ditampakkan dari tubuhnya kecuali ini dan ini –
sambil menunjuk telapak tangan dan wajahnya.
Dalam surat an-Nur, Allah Swt berfirman:
]
وَقُلْ
لِلْمُؤْمِنَاتِ
يَغْضُضْنَ مِنْ
أَبْصَارِهِنَّ
وَيَحْفَظْنَ
فُرُوجَهُنَّ
وَلاَ يُبْدِينَ
زِينَتَهُنَّ
إِلاَّ مَا ظَهَرَ
مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ
بِخُمُرِهِنَّ
عَلَى جُيُوبِهِنَّ
وَلاَ يُبْدِينَ
زِينَتَهُنَّ
إِلاَّ لِبُعُولَتِهِنَّ
أَوْ ءَابَائِهِنَّ
أَوْ ءَابَاءِ
بُعُولَتِهِنَّ
أَوْ أَبْنَائِهِنَّ
أَوْ أَبْنَاءِ
بُعُولَتِهِنَّ
أَوْ إِخْوَانِهِنَّ
أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ
أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ
أَوْ نِسَائِهِنَّ
أَوْ مَا مَلَكَتْ
أَيْمَانُهُنَّ
أَوِ التَّابِعِينَ
أَوِ التَّابِعِينَ
غَيْرِ أُولِي
اْلإِرْبَةِ مِنَ
الرِّجَالِ أَوِ
الطِّفْلِ الَّذِينَ
لَمْ يَظْهَرُوا
عَلَى عَوْرَاتِ
النِّسَاءِ وَلاَ
يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ
لِيُعْلَمَ مَا
يُخْفِينَ مِنْ
زِينَتِهِنّ]
Katakanlah kepada wanita yang beriman:
"Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah
mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan
hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan
perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami
mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau
saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka,
atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau
budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak
mempunyai keinginan (terhadap perempuan) atau anak-anak yang belum mengerti
tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui
perhiasan yang mereka sembunyikan. (TQS. an-Nur [24]: 31)
Ibnu Abbas
menafsirkan kalimat “yang (biasa) nampak daripadanya” sebagai wajah dan kedua
telapak tangan.
Selain itu,
di depan laki-laki yang bukan mahramnya, seorang perempuan juga tidak boleh
memakai pakaian, perhiasan, dan menggunakan dandanan yang akan menarik
perhatian laki-laki atas kecantikannya (tabarruj). Sebagaimana firman
Allah Swt. dalam surat al-Ahzab:
]وَلاَ
تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ
الْجَاهِلِيَّةِ
اْلأُولَى[
Dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku
seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu. (TQS. al-Ahzab [33]: 33)
Kemudian, apabila seorang perempuan keluar rumah dan memasuki kehidupan
umum (ruang publik), penampilan atau pakaian yang diwajibkan baginya adalah khimar, yakni penutup kepala yang
menutup seluruh bagian kepala, leher, dan bagian bahu menutupi dada; serta jilbab, yaitu kain panjang yang menutup
pakaian kesehariannya dan diulurkan sampai ke bagian bawah. Apabila seorang
perempuan keluar rumah tanpa kedua macam pakaian ini maka ia memperoleh dosa,
karena telah mengabaikan perintah Sang Khaliq Swt. Dalilnya sangat jelas,
sebagaimana tersebut dalam ayat berikut ini yang memerintahkan pemakaian khimar:
]وَلْيَضْرِبْنَ
بِخُمُرِهِنَّ
عَلَى جُيُوبِهِنَّ[
Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke
dadanya. (TQS. an-Nur [24]: 31)
Sementara itu, dalam surat al-Ahzab, Allah Swt. mewajibkan jilbab:
]يَاأَيُّهَا
النَّبِيُّ قُلْ
ِلأَزْوَاجِكَ
وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ
الْمُؤْمِنِينَ
يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ
مِنْ جَلاَبِيبِهِنَّ[
Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu,
anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu'min: "Hendaklah mereka
mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". (TQS. al-Ahzab [33]: 59)
Selain itu, dalam salah satu hadits yang diriwayatkan oleh Ummu ‘Athiyah,
bahwa ia berkata:
«أَمَرَنَا
رَسُوْلُ اللهِ
r أَنْ
نُخْرِجَهُنَّ
فِي اْلفِطْرِ
وِاْلأَضْحَى،
الْعَوَاتِقُ
وَاْلحَيْضُ وَذَوَاتِ
الْخُدُوْرِ،
فَأَمَّا الْحَيْضُ
فَيَعْتَزِلْنَ
الصَّلاَةَ وَيَشْهَدْنَ
الْخَيْرَ وَدَعْوَةَ
الْمُسْلِمِيْنَ.
قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ
اللهِ إِحْدَانَا
لاَ يَكُوْنُ لَهَا
جِلْبَابٌ. قاَلَ:
لِتُلْبِسَهَا
أُخْتُهَا مِنْ
جِلْبَابِهَا»
Rasulullah Saw. memerintahkan kami, baik
ia budak perempuan, perempuan haid, ataupun anak-anak perawan agar keluar
(menuju lapangan) pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Bagi perempuan yang
sedang haid diperintahkan untuk menjauh dari tempat shalat, tetapi tetap
menyaksikan kebaikan dan seruan atas kaum Muslimin. Aku lantas berkata, ‘Ya
Rasulullah, salah seorang di antara kami tidak memiliki jilbab’. Maka
Rasulullah pun menjawab, ‘Hendaklah saudaranya meminjamkan jilbab kepadanya.’
Bagi
Muslimah, yang dimaksud dengan kecantikan (kebaikan) adalah manakala ia
mengikuti hukum-hukum dan aturan Allah Swt., sedangkan keburukan adalah tatkala
ia mengesampingkan aturan tersebut dan menuruti hawa nafsunya. Ia tidak boleh
mengikuti ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh manusia. Upaya untuk
mendapatkan penampilan dan perilaku yang ditentukan Allah Swt. tersebut jelas
masih berada dalam batas-batas kemampuan setiap perempuan, dan pasti tidak akan
menimbulkan berbagai macam permasalahan, seperti gangguan pola makan yang
diakibatkan karena harapan-harapan yang tidak wajar untuk memperoleh
penampilan, ukuran tubuh, dan bentuk tubuh tertentu yang harus dipenuhi oleh
kaum perempuan Barat.
Sekalipun
Islam tidak memiliki konsep yang pasti tentang kriteria “wajah atau bentuk
tubuh yang cantik”, namun kaum Muslimah didorong untuk melakukan
tindakan-tindakan tertentu yang membuat penampilannya menarik hati suaminya,
seperti berdandan untuk suaminya serta berpenampilan yang rapi dan bersih. Kaum
Muslimah tahu bahwa tindakan seperti itu akan mendatangkan ridha Allah Swt.
Namun ketika melakukan upaya mempercantik diri tersebut –seperti memperindah
bentuk tubuh atau memutihkan wajahnya– kaum Muslimah harus menyadari bahwa itu
semua sama sekali bukan dimaksudkan untuk menyesuaikan diri dengan norma-norma
yang berlaku di tengah-tengah masyarakat, namun semata-mata untuk menuruti
batas-batas yang ditentukan Allah Swt. baginya. Demikian pula para suami
Muslim, ketika menentukan apa yang disukai dan apa yang dibenci, mereka harus
dapat memastikan bahwa sikap mereka itu bukan semata-mata karena menuruti
harapan-harapan yang tidak wajar dari masyarakat Barat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar