Mitos Martabat Perempuan Barat
BAB IV
MEMPERCANTIK DIRI; MENINGKATKAN
MARTABAT PEREMPUAN DI MASYARAKAT?
Pemahaman
yang sering dijadikan pegangan oleh para perempuan yang tinggal di luar
masyarakat Barat dan bercita-cita memiliki citra seperti perempuan Barat,
adalah bahwa perempuan Barat memiliki martabat yang tinggi dan dihormati oleh
masyarakat di mana mereka tinggal. Bayangan semacam itu memang diciptakan oleh
mass-media Barat dan industri hiburan yang diekspor ke negeri-negeri lain.
Mereka yang tinggal di Barat, yang hidup di bawah sistem kapitalis sekuler,
akan memahami bahwa pernyataan itu hanya sebuah fantasi belaka.
Kalau kita
cermati lebih jauh masalah yang timbul akibat perhatian perempuan Barat yang
berlebihan pada aspek kecantikan dan penampilan pada saat mereka menilai
dirinya sendiri, maka kita akan melihat bahwa meskipun banyak yang menilai diri
mereka dari segi kapasitas kecerdasan dan kemampuannya, namun sesungguhnya
banyak di antara mereka yang merasa tidak lengkap bila tidak mengukurnya dari
sisi kecantikan dan penampilan menurut standar yang ada di masyarakat Barat.
Germaine Greer, seorang feminis dan penulis Barat, mengatakan dalam bukunya,
“The Whole Woman”, “Setiap perempuan tahu bahwa sekalipun mereka memperoleh
berbagai prestasi, tetapi bila tidak cantik berarti mereka telah melakukan
suatu kekeliruan.”
Seperti telah
dijelaskan sebelumnya, dalam sebuah penelitian yang diadakan oleh Fakultas
Kedokteran Universitas Cincinnati, 33.000 perempuan AS mengatakan kepada para
peneliti bahwa mereka lebih memilih turun berat badannya 10 – 15 pon daripada
memperoleh prestasi lain. Penelitian “Bread for Life” menemukan fakta
bahwa dari 900 perempuan berusia 18 – 24 tahun yang disurvei, 55% di antaranya
menilai penampilan sebagai hal yang paling menarik dari seorang perempuan, dan
hanya 1% yang menilai perempuan dari tingkat kecerdasannya. Dengan demikian,
jelas banyak perempuan yang menjadikan konsep-konsep Barat sebagai jati dirinya
beranggapan bahwa penampilannya lebih berharga daripada pemikiran, kecerdasan,
kemampuan, serta kepribadiannya, meskipun boleh jadi mereka berusaha
menutup-nutupi hal ini dari diri mereka.
Lantas,
bagaimana masyarakat Barat menilai seorang perempuan? Seorang penulis Barat,
Camille Paglia, menulis dalam sebuah artikel ilmiah berjudul ‘Sexual
Harassment: Confrontation and Decisions’, “Budaya Barat memiliki mata yang
liar. Mata laki-laki suka ‘berburu’ dan ‘mengamati’; anak laki-laki suka
‘ngeceng’ dan ‘bersuit-suit’ dari mobil-mobil mereka, beraksi seperti
berandalan terhadap gadis-gadis yang sedang berjalan-jalan mencuci mata;
laki-laki juga sering ‘melolong seperti serigala’ dan ‘berkotek seperti ayam’.
Di mana pun berada, perempuan yang cantik selalu dipelototi dan dilecehkan. Dia
menjadi simbol utama syahwat manusia.”
Bagi
orang-orang yang mampu melihat masyarakat Barat lebih dalam, mereka akan
mengetahui bahwa perempuan Barat lebih banyak dinilai dari tingkat
kecantikannya daripada dari sisi kecerdasannya. Ini terjadi di semua tingkatan
masyarakat. Kebanyakan laki-laki yang memiliki mentalitas sekuler Barat dan
terpengaruh dengan mitos kecantikan juga lebih sering menjalin hubungan dengan
perempuan berdasarkan pertimbangan penampilan mereka, bukan atas dasar
pertimbangan kecerdasan mereka. Mereka selalu mencari perempuan yang berkulit
terang, tinggi, dan ramping, sebagai ‘piala’ yang akan menemani mereka
berjalan-jalan, sekedar untuk memperlihatkan ‘hasil tangkapan’ atau ‘hadiah’
yang berhasil mereka dapatkan kepada teman-teman dan keluarga mereka. Oleh
karena itu tidaklah mengherankan bila perempuan Barat selalu merasa gelisah
dengan penampilannya. Mereka merasa bahwa penampilannya adalah kunci untuk
menuju pernikahan atau satu-satunya perkara yang dapat mencegah suami atau
teman-teman dekatnya berselingkuh dengan perempuan lain yang lebih cantik,
lebih ramping, lebih tinggi, dan lebih putih kulitnya.
Kenyataan ini
dapat dijelaskan secara sederhana. Konsep kebebasan yang dianut oleh
perempuan-perempuan dengan jati diri sekuler Barat –yang merasa bahwa mereka
berhak berbusana dan berpenampilan sebagaimana yang mereka inginkan– juga
mengendap di dalam benak kaum laki-laki yang mengadopsi jati diri sekuler
Barat. Kaum laki-laki sekuler itu menganggap bahwa mereka bebas untuk melihat
dan memperlakukan seorang perempuan sekehendak hatinya, karena mereka
menjadikan akal dan nafsu mereka sebagai standar perilaku dalam kehidupan.
Inilah esensi konsep kebebasan yang menjadi landasan jati diri masyarakat
Barat.
Ketika sampai
pada permasalahan bagaimana kaum perempuan dipekerjakan dan dipromosikan, kita
bisa melihat bahwa penampilan dan kecantikan merupakan perkara yang semakin
penting dalam semua bidang pekerjaan, bukan saja dalam bidang industri
periklanan, kecantikan, dan hiburan. Cuplikan kasus yang terjadi di dunia Barat
berikut ini sebenarnya bisa menjadi bukti yang cukup kuat bahwa konsep ini
–yaitu penampilan dan kecantikan merupakan faktor yang penting dalam dunia
pekerjaan– merupakan konsep yang dianut baik oleh majikan laki-laki maupun
perempuan di semua sektor, dari dunia bisnis sampai dunia politik, dari profesi
medis hingga dunia hukum.
Di AS, pada
tahun 1975, Catherine McDermott pernah menuntut Xerox Corporation karena tidak
memberikan kesempatan kerja kepadanya atas dasar alasan berat badannya. Pada
dasawarsa yang sama, National Airlines memecat pramugarinya, Ingrid Fee, karena
ia ‘terlalu gemuk’, yaitu memiliki berat badan 4 pon lebih berat daripada batas
yang ditentukan. Pada tahun 1983, di AS juga, seorang karyawan TV, Christine
Craft, menuntut bekas perusahaannya, Metromedia Inc. karena telah memecatnya
atas dasar alasan –menurut atasannya– ‘terlalu tua, sangat tidak menarik,
dan tidak menghargai laki-laki’. Keputusan pengadilan terhadap kasus-kasus
tersebut ternyata memberikan kemenangan kepada pihak perusahaan. Atas kejadian
itu, seorang jurnalis pernah mengatakan, “Ada ribuan Christine Craft lain
yang mengalami nasib serupa … Namun kita diam saja. Siapa yang dapat
mempertahankan daftar hitam ini?” Maskapai penerbangan Dan Air pada tahun
1987 pernah ditentang karena dianggap hanya mempekerjakan perempuan muda yang
cantik sebagai kru penerbangan. Namun maskapai tersebut mempertahankan
pendiriannya dengan alasan bahwa hal itu merupakan pilihan pelanggan. Dengan
kata lain, pelanggan memang menghendaki kru perempuan yang masih muda dan
berpenampilan cantik. Seorang perempuan berusia 54 tahun pernah mengatakan di
lembaga The Sexuality of Organization, bahwa atasannya memberhentikan dia tanpa
peringatan, “Atasannya mengatakan bahwa ia ‘ingin melihat seorang perempuan
yang lebih muda’ agar ‘semangatnya bangkit’.
Bagaimana
masyarakat Barat menilai berbagai karakteristik seorang perempuan juga dapat
dilihat manakala kita mengetahui bahwa satu-satunya bidang ‘pekerjaan’ di mana
seorang perempuan selalu memperoleh penghargaan yang lebih tinggi dari seorang
laki-laki adalah dunia modeling dan prostitusi. Seorang supermodel dapat
memperoleh bayaran sampai 10.000 poundsterling dalam sehari. Jumlah yang sama
baru dapat diperoleh seorang dokter pemula atau seorang guru setelah bekerja 6
bulan.
Perempuan-perempuan
yang berhasil mendapatkan sebuah pekerjaan atau memperoleh promosi karir
seringkali dihadapkan dengan berbagai macam bentuk pelecehan seksual, karena
kaum laki-laki tidak menganggap ia dapat melaksanakan pekerjaannya dengan baik,
tetapi tetap memandangnya semata-mata sebagai suatu objek yang dapat dipermainkan
sesuai dengan keinginan laki-laki. Sebuah penelitian yang diadakan pada tahun
1993 oleh sebuah masyarakat industri mendapatkan bahwa 54% perempuan di Inggris
telah mengalami pelecehan seksual di tempat kerja. Dalam sebuah survei, The
Claremont College Working Papers (2001) menemukan bahwa 70% perempuan yang
bertugas di kesatuan angkatan darat Inggris mengaku telah mengalami sejumlah
pelecehan seksual ketika mereka tengah menjalani masa pendidikan selama 12
bulan. Para responden yang disurvei oleh Equal Opportunity Commission
mengatakan bahwa kebiasaan itu tidak hanya terjadi pada sektor-sektor tertentu
saja, tetapi setiap lapisan masyarakat, baik di lingkungan para manajer,
kesatuan polisi, profesi medis dan hukum, maupun dunia politik. Dalam sebuah studi
yang dilakukan oleh The American Association of University Women pada tahun
1993, ditemukan bahwa 85% mahasiswa perempuan telah mengalami pelecehan
seksual; 25% di antaranya dilakukan oleh karyawan universitas.
Dengan
demikian, telah jelas bahwa kaum perempuan di Barat –pada banyak kasus dan pada
sebagian besar lapisan masyarakat– lebih dinilai berdasarkan penampilannya,
bukan pada tingkat kemampuan dan kecerdasannya. Perempuan di tengah-tengah
masyarakat dianggap oleh banyak kalangan laki-laki hanya sebagai sebuah
komoditas untuk memenuhi nafsu syahwatnya, bukan sebagai pihak yang turut
memberikan kontribusi bagi masyarakat. Bukti yang paling nyata atas pernyataan
ini adalah tingginya wabah pemerkosaan di negara-negara Barat. 1 dari 20
perempuan di Inggris dan Wales pernah diperkosa. 167 perempuan diperkosa setiap
harinya di Inggris dan Wales (data dari British Home Office). Sedangkan di
Amerika Serikat terjadi lebih dari satu kali tindak pemerkosaan terhadap
perempuan dalam setiap menitnya. Dalam suatu penelitian yang dilakukan oleh Ms
Magazine pada tahun 1988 terhadap 114 mahasiswa di AS, diperoleh fakta yang
mengejutkan, bahwa 85% laki-laki memberikan jawaban “ya” atas pernyataan bahwa
“Sejumlah perempuan memang berpenampilan dan bertingkah laku seolah-olah mereka
berharap untuk diperkosa.” Kecenderungan yang berbahaya seperti ini dimiliki
oleh kaum laki-laki yang hidup di tengah-tengah masyarakat yang menganut konsep
kebebasan, yaitu bahwa mereka bebas untuk melihat seorang perempuan sekehendak
hatinya. Pikiran ini pula yang berkembang dalam benak para remaja. Pada sebuah
penelitian yang dilakukan UCLA terhadap remaja usia 14 – 18 tahun, diperoleh
hasil bahwa lebih dari 50% remaja laki-laki beranggapan “oke-oke saja” jika
seorang laki-laki memperkosa seorang perempuan yang telanjur membangkitkan
nafsu syahwatnya. Dalam sebuah survei Ms Magazine terhadap para mahasiswa di AS
pada tahun 1988, diperoleh laporan bahwa 1 dari 12 responden pernah memperkosa
atau berusaha memperkosa seorang perempuan sejak berumur 14 tahun. Di Inggris,
remaja-remaja yang sedikitnya berumur 13 tahun telah dimasukkan dalam daftar
pelaku tindak kekerasan seksual setelah melakukan perbuatan-perbuatan yang
tidak senonoh terhadap anak-anak perempuan. Tidak ada istilah lain untuk menggambarkan
masa depan masyarakat seperti itu kecuali kata “mengerikan”.
Demikianlah
kenyataannya, bahwa pada masyarakat Barat, kecantikan tidak menjadikan seorang
perempuan dihormati atau meningkat martabatnya, sehingga membuat kecantikan
menjadi sesuatu yang berharga dalam kehidupan ini. Konsep itu hanya mitos
belaka. Kaum perempuan Barat hanya menjadi objek yang dinilai sebatas kulitnya
saja, bukan pada pemikiran dan kecerdasannya. Allah Swt secara sempurna
menggambarkan kenyataan ini dalam ayat-Nya:
]وَالَّذِينَ
كَفَرُوا أَعْمَالُهُمْ
كَسَرَابٍ بِقِيعَةٍ
يَحْسَبُهُ الظَّمْآنُ
مَاءً حَتَّى إِذَا
جَاءَهُ لَمْ يَجِدْهُ
شَيْئًا[
Dan bagi orang-orang kafir, amal-amal mereka adalah
laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang
yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu dia tidak mendapatinya sesuatu
apapun. (TQS. an-Nur [24]: 39)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar