Mencari Istri Muslimah Berkepribadian
BAB IX
BAGAIMANA SEHARUSNYA SEORANG MUSLIM
MENILAI SEORANG MUSLIMAH?
Sebagaimana pernah dibahas sebelumnya, kaum Muslim laki-laki tidak bebas memandang
kaum perempuan menurut keinginannya, tetapi harus memahami bahwa dirinya
bertanggung jawab kepada Sang Khaliq Swt. Mereka harus membatasi pandangannya
sesuai dengan ketentuan Islam.
Sebagai contoh, jika seorang laki-laki berusaha mencari jodoh, Rasulullah
Saw. memberikan petunjuk dengan hadits yang sangat terkenal, diriwayatakan oleh
Abu Hurairah sebagai berikut:
«تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ
ِلأَرْبَعٍ لِمَالِهَا
وَلِنَسَبِهَا
وَلِجَمَالِهَا
وَلِدِيْنِهَا
فَاظْفَرْ بِذَاتِ
الدَّيْنِ تَرِبَتْ
يَدَاكَ»
Seorang perempuan dinikahi karena empat
perkara: Kekayaannya, nasabnya, kecantikannya, dan agamanya. Maka kawinilah
yang baik agamanya, niscaya engkau akan beruntung.
Oleh karena
itu, bila seorang laki-laki Muslim ingin mendapatkan kebahagiaan di dunia dan
di akhirat, maka ia akan berusaha mendapatkan istri yang dikenal baik dan teguh
dalam beragama, melebihi perhatiannya terhadap sifat-sifat utama lainnya yang
barangkali dimiliki perempuan tersebut. Dia tidak akan pernah terperosok dengan
mitos kecantikan yang selalu menyebarluaskan pandangan bahwa seorang perempuan
dianggap cantik bila mempunyai ciri khas tertentu, misalnya tinggi, ramping,
dan berkulit putih. Dia juga tidak pernah tergoda dengan pendapat bahwa
penampilan adalah faktor terpenting dalam pergaulan.
Sebaliknya,
ia akan berusaha mencari seorang istri yang memiliki pemahaman yang baik
tentang tugas-tugas seorang Muslimah; yang akan melaksanakan tugas-tugas
seorang istri sebagaimana yang diperintahkan Islam; yang dengan penuh kasih
sayang akan merawat dan memelihara pemikiran anak-anaknya dengan tsaqafah
Islam; dan yang akan menjaga suaminya agar tetap taat beribadah sebagaimana
sang suami menjaga agamanya. Rasulullah Saw. bersabda:
«اَلدُّنْيَا
مَتَاعٌ وَمِنْ
خَيْرِ مَتَاعِهَا
امْرَأَةٌ تُعِيْنُ
زَوْجَهَا عَلَى
الآخِرَةِ»
Dunia itu adalah perhiasan, dan
sebaik-baik perhiasan adalah seorang wanita (istri) yang senantiasa
mengingatkan suaminya tentang hari akhir.
Realitas yang
kini terjadi di negeri-negeri kaum Muslim memperlihatkan bahwa sikap yang benar
dalam hal menilai seorang perempuan ternyata –secara umum– tidak hadir di
tengah-tengah masyarakat. Namun, hal ini tidaklah mengejutkan, mengingat tidak
ada satu pun bagian dari dunia Islam yang memperoleh kemuliaan dengan
menerapkan Islam secara keseluruhan. Sebaliknya, andaikata syari’at dapat
diterapkan secara utuh dalam bingkai Daulah Islamiyah atau negara Khilafah, di
mana kemudian masyarakat Islam yang sejati dapat diwujudkan, maka niscaya
mentalitas seperti itu akan muncul di tengah-tengah masyarakat secara alamiah
sebagaimana pernah terbukti dalam sejarah Islam.
Dalam masalah
ketenagakerjaan, misalnya, seorang majikan Muslim yang berada di tengah-tengah
masyarakat Islam akan menyadari tanggungjawabnya kepada Sang Khaliq ketika dia
mempekerjakan seseorang untuk tugas tertentu. Maka dia akan menyadari bahwa
haram baginya mengangkat seseorang dalam jabatan tertentu semata-mata atas
dasar pilihan ras dan jenis kelamin, atau kecantikan, sementara ada orang lain
yang lebih tepat untuk jabatan tersebut. Lebih jauh lagi, dia tidak akan dapat
mempekerjakan seorang perempuan pada tugas-tugas tertentu yang akan membuat
auratnya terbuka, karena dia menyadari bahwa dirinya –seperti halnya kaum
laki-laki lainnya di masyarakat– tidak mempunyai hak untuk melihat aurat atau
kecantikan perempuan-perempuan yang bukan mahramnya, termasuk
perempuan-perempuan yang bekerja dengannya. Apabila seorang laki-laki, meskipun
tanpa sengaja, melihat bagian tubuh –selain wajah dan telapak tangan– perempuan
bukan mahramnya, maka ia wajib menundukkan pandangannya. Dalam sebuah hadits
yang diriwayatkan oleh Jarir bin Abdullah, ia bertanya kepada Rasulullah:
«سَأَلْتُ رَسُوْلَ
اللهِ r عَنْ نَظْرِ
الْفُجَاءَةِ
فَأَمَرَنِيْ
أَنْ أَصْرِفَ
بَصَرِيْ»
Aku bertanya kepada Rasulullah Saw.
mengenai pandangan yang tiba-tiba. Beliau kemudian menyuruhku untuk memalingkan
pandanganku.
Dalam hadits
yang lain dari Ali bin Abi Thalib ra., diriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. telah
bersabda kepadanya:
«لاَ تَتَّبِعْ
النَّظْرَةَ النَّظْرَةَ
فَإِنَّمَا لَكَ
اْلأُوْلَى وَلَيْسَ
لَكَ اْلآخِرَةَ»
Janganlah engkau mengikuti pandangan
pertama dengan pandangan berikutnya. Pandangan pertama adalah untukmu,
sedangkan pandangan berikutnya bukan untukmu.
Kaum perempuan
juga tidak dapat dipekerjakan untuk menggarap tugas-tugas yang mengeksploitasi
sifat-sifat kewanitaannya, atau bilamana kecantikannya merupakan sifat yang
dimanfaatkan dalam bidang kerjanya, seperti memperagakan busana atau
mengiklankan produk yang membuat orang tertarik dengan kecantikannya.
Gambar-gambar yang mendorong timbulnya hasrat seksual laki-laki dan membuat
perempuan hanya menjadi objek pemuas syahwat tidak akan diizinkan dalam
masyarakat Islam yang sejati. Bahkan sebenarnya, laki-laki dilarang memandang
wajah perempuan yang menarik perhatiannya lebih dari satu kali, sebagaimana
terungkap dalam hadits berikut ini. Abu Dawud meriwayatkan bahwa al-Fadhl bin
Abbas suatu ketika berkuda bersama Rasulullah Saw., kemudian datanglah seorang
perempuan dari Bani Khats’am untuk meminta penjelasan dari Rasulullah Saw.
Fadhl lantas memandang perempuan tersebut, dan perempuan itu pun memandangnya.
Karena itu, Rasulullah Saw. kemudian memalingkan wajah Fadhl dari perempuan
tersebut. Dalam riwayat Ali bin Abi Thalib ada kalimat tambahan, yaitu ketika
al-Abbas bertanya kepada Rasulullah Saw., “Ya Rasulullah, mengapa engkau
memalingkan wajah keponakanmu?” Maka Rasulullah Saw. menjawab: Aku
melihat seorang pemuda dan seorang gadis yang aku khawatir kalau-kalau setan menggoda
keduanya.
Terakhir,
pergaulan antara seorang perempuan dengan laki-laki bukan mahram di tempat
kerja, di rumah, maupun di tengah masyarakat luas bisa dibenarkan bila
dilakukan dalam rangka pelaksanaan pekerjaan atau aktivitas muamalah lainnya.
Haram hukumnya melakukan berbagai macam bentuk pergaulan di luar
perkara-perkara yang diizinkan oleh syara’. Ini menunjukkan bahwa, sekalipun
dalam lingkungan pekerjaan, kaum laki-laki dan kaum perempuan juga dipisahkan.
Ini dilakukan untuk mengikuti salah satu aturan dalam sistem pergaulan Islam.
Pemisahan ini memberikan kepastian bahwa kaum perempuan akan dinilai dan
dinaikkan jabatannya berdasarkan kualitas pekerjaannya, bukan semata-mata
karena kecantikannya atau sekedar ‘memanfaatkan daya tarik kewanitaannya’. Maka
perempuan akan mampu melaksanakan pekerjaannya secara profesional, baik sebagai
dokter, guru, insinyur, ilmuwan, atau pengusaha, tanpa rasa khawatir mengalami
pelecehan fisik maupun seksual dari teman kerja laki-laki.
Semua
pembahasan di atas menunjukkan bahwa dalam Daulah Islamiyah dan masyarakat
Islam, kaum perempuan dinilai berdasarkan sifat-sifatnya, pemikirannya,
kecerdasannya, dan ketrampilannya. Itu semua membuat mereka memiliki peran yang
berharga bagi masyarakat. Kaum perempuan tidak akan dipandang sebagai komoditas
yang layak dieksploitasi, atau dijadikan objek hanya untuk memuaskan nafsu dan
keinginan kaum laki-laki, tetapi justru mendapat perlindungan dan penghargaan
dari masyarakat.
Germaine
Greer, tokoh feminis Barat yang terkemuka, menulis dalam bukunya ‘The Whole
Woman’, “Empat tahun setelah buku ‘The Female Eunuch’ ditulis, saya
berkeliling dunia untuk melihat apakah saya dapat melihat satu saja perempuan
yang utuh. Dia adalah seorang perempuan yang tidak sekedar menjadi fantasi seksual
laki-laki, atau tergantung pada sosok laki-laki yang memberinya jati diri dan
status sosial; seorang perempuan yang tidak mesti cantik, namun boleh jadi
cerdas, dan tumbuh menjadi perempuan yang berwibawa ketika usianya semakin
lanjut.” Saran kami kepadanya untuk mengakhiri perjalanannya dan menghemat
uangnya adalah dengan meneliti status sejati perempuan dalam Islam dan posisi
perempuan dalam sistem negara Khilafah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar