Allah
Swt. berfirman:
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ * وَ مَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللهِ
حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
"Apakah
hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik
daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin." (QS. Al-Maaidah: 50)
Dalam
kitab At-Tafsir al-Munir Syaikh Wahbah az-Zuhaili menerangkan bahwa
ayat ini berarti tak ada seorangpun yang lebih adil daripada Allah dan tak ada
satu hukumpun yang lebih baik daripada hukum-Nya. (Wahbah Az-Zuhaili, At-Tafsir
al-Munir, VI/224)
Imam
Ibnu Hajar dari Mazhab Syafi’i berkata: “Cara Imam al-A‘zham (Khalifah)
mengurus (urusan rakyat) adalah menjaga Syariah, dengan menegakkan semua hukum
(Islam) dan adil dalam menjalankan pemerintahan.” (Ibn Hajar
al-Asqalani, Fath al-Bâri, juz
XIII, hlm. 113)
Ijma’ Shahabat (kesepakatan para shahabat Nabi SAW) juga
menegaskan wajibnya Khilafah bagi kaum muslimin.
Ijma’
Shahabat itu terwujud pada saat pertemuan para shahabat Nabi di Saqiifah Bani
Saa’idah untuk membicarakan kepala negara pemimpin umat pengganti Rasulullah
SAW yang telah wafat. Pada saat itu, seorang shahabat Nabi dari golongan
Anshar, yakni Al Hubab Ibnul Mundzir mengusulkan, “Dari kami seorang pemimpin,
dan dari kalian seorang pemimpin (minna amiir
wa minkum amiir).” Maka Abu Bakar ash-Shiddiq dengan tegas membantah
perkataan Al Hubab Ibnul Mundzir itu dengan berkata:
أنه لا يحل أن
يكون للمسلمين أميران
“Sesungguhnya
tidaklah halal kaum muslimin mempunyai dua orang pemimpin” (Riwayat Al
Baihaqi, Sunan Baihaqi, Juz 8 hlm.
145). Perkataan Abu Bakar ash-Shiddiq itu didengar oleh para shahabat dan tak
ada seorangpun yang mengingkarinya. Maka terwujudlah di sini Ijma’ Shahabat
(kesepakatan para shahabat Nabi) mengenai ketunggalan Khilafah. (Mahmud Abdul
Majid Al Khalidi, Qawa’id Nizham Al Hukm fil
Islam, hlm. 316)
Imam Syahrastani (w. 548 H) berkata,
) ...مَا دَارَ فِيْ قَلْبِهِ وَلاَ فِيْ قَلْبِ أَحَدٍ
أَنَّهُ يَجُوْزُ خُلُوُّ اْلأَرْضِ عَنْ إِمَامٍ. فَدَلَّ ذَلِكَ كُلُّهُ عَلىَ
أَنَّ الصَّحَابَةَ وَ هُمْ الصَّدْرُ اْلأَوَّلُ كَانُوْا عَلىَ بُكْرَةِ
أَبِيْهِمْ مُتَّفِقِيْنَ عَلىَ أَنَّهُ لاَ بُدَّ مِنْ إِمَامٍ ، فَذَلِكَ
اْلإِجْمَاعُ عَلىَ هَذَ اْلوَجْهِ دَلِيْلٌ قَاطِعٌ عَلىَ وُجُوْبِ
اْلإِمَامَةِ...
“...tidak pernah terlintas dalam hati dia (Abu
Bakar ash-Shiddiq ra.) dan juga hati seseorang (shahabat) bahwa
bumi ini boleh kosong dari seorang Imam (Khalifah). Maka semua
itu menunjukkan bahwa para shahabat semuanya tanpa kecuali –sedang mereka itu
adalah generasi awal– sepakat bahwa tidak boleh tidak harus ada seorang Imam
(khalifah).
Maka Ijma’ ini dalam bentuk seperti ini [Ijma’ Shahabat], adalah dalil
yang pasti mengenai wajibnya Imamah (Khilafah)... (Imam Syahrastani, Nihayatul
Iqdam ‘an Ilmil Kalam, hlm. 480)
Mendirikan
Khilafah dan mengangkat seorang Khalifah hukumnya fardhu. Bukan sembarang
fardhu, karena kaum Muslim bersegera melaksanakannya, sebelum mereka bersegera
mengurus jenazah Rasulullah Saw. dan mengebumikannya. Rasul Saw. wafat pada
waktu dhuha hari Senin, lalu disemayamkan dan belum dikebumikan pada malam
Selasa, dan Selasa siang saat Abu Bakar dibaiat (baiat umum/ baiat taat).
Kemudian jenazah Rasul dikebumikan pada Selasa tengah malam, malam Rabu. Jadi
pengebumian itu ditunda selama dua malam dan Abu Bakar dibaiat terlebih dahulu
sebelum pengebumian jenazah Rasul Saw.
Ibnu
Ishaq meriwayatkan, “Ketika Rasulullah Saw. wafat, kaum Anshor berpihak
kepada Sa’ad bin Ubadah di saqifah Bani Sa’idah, sedangkan Ali bin Abi Thalib
bersama Zubair bin Awwam dan Thalhah bin Ubaidillah menyendiri di rumah
Fathimah. Sedangkan kaum Muhajirin berkubu kepada Abu Bakar, Umar dan Usaid bin
Hudhair di Bani Abdul Asyhal. Tiba-tiba seseorang mendatangi Abu Bakar dan Umar
bin Khaththab dan berkata, “Sesungguhnya kaum Anshor telah berpihak kepada
Sa’ad bin Ubadah di Saqifah Bani Sa’idah. Jika kalian ada keperluan dengan
mereka, segeralah pergi ke tempat mereka, sebelum perkara ini semakin
membesar.” Saat itu, jenazah Rasulullah Saw. belum diurus dan pintu rumah
beliau ditutup keluarga beliau.” (Ibnu Hisyam, Sirah Ibnu Hisyam)
Ibnu
Ishaq berkata, “Setelah Abu Bakar diangkat menjadi Khalifah, kaum muslim
mulai mengurus jenazah Rasulullah Saw. pada hari Selasa. Para shahabat yang
memandikan jenazah Rasulullah Saw. adalah Ali bin Abi Thalib, Al-‘Abbas bin
Abdul Muthalib, al-Fadl bin ‘Abbas bin Abdul Muthalib, Qutsam bin al-‘Abbas,
Usamah bin Zaid bin Haritsah, dan Syuqran mantan budak Rasulullah
Saw.” (Ibnu Hisyam, Sirah Ibnu Hisyam)
Ibnu
Qutaibah berkata, “Pada hari yang sama ketika
Rasulullah Saw. wafat, Abu Bakar dibaiat di Saqifah Bani Sa’idah bin Ka’ab bin
al-Khazraj. Kemudian besoknya, pada hari Selasa, ia dibaiat dengan baiat umum,
yakni baiat taat.” (Ibnu Qutaibah, Al-Ma’ârif,
hlm. 74)
Amru
bin Harits berkata kepada Said bin Zaid, “Apakah
Anda menyaksikan wafatnya Rasulullah Saw.?” Said menjawab, “Ya.” Amru bertanya lagi, “Kapan Abu Bakar dibaiat (yaitu baiat in’iqad/
pengangkatan)?” Said berkata, “Pada hari
saat Rasulullah Saw. wafat. Pasalnya, mereka tidak ingin berada di sebagian
hari saja, sementara mereka tidak dalam berjamaah, yakni tidak ada Khalifah
yang memimpin mereka.” (Al-Khalidi, Qawâid
Nizhâm al-Hukm fi al-Islâm, hlm. 255)
Maka
fakta ini merupakan Ijmak Sahabat untuk lebih menyibukkan diri mengangkat
Khalifah daripada mengebumikan jenazah. Juga bahwa para sahabat seluruhnya
telah berijmak sepanjang hidup mereka akan wajibnya mengangkat Khalifah. Meski
mereka berbeda pendapat mengenai orang yang dipilih sebagai Khalifah, namun
mereka tidak berbeda pendapat sama sekali tentang wajibnya mengangkat Khalifah,
baik ketika Rasul Saw. wafat, maupun ketika para Khulafaur Rasyidin wafat.
Semuanya
itu membuktikan betapa mendesak dan pentingnya kewajiban Khilafah.
Imam Nawawi (w. 676 H) berkata:
(
أَجْمَعُوْا عَلىَ أَنَّهُ يَجِبُ عَلىَ الْمُسْلِمِيْنَ نَصْبُ خَلِيْفَةٍ ).
“Mereka [para shahabat] telah sepakat bahwa
wajib atas kaum muslimin mengangkat seorang Khalifah.”
(Syarah Shahih Muslim, Juz 12 hlm. 205)
Imam Ibnu Hajar Al Haitsami (w. 973 H) berkata:
(
إِعْلَمْ أَيْضًا أَنَّ الصَّحَابَةَ رِضْوَانُ اللهِ عَلَيْهِمْ أَجْمَعُوْا
عَلىَ أَنَّ نَصْبَ اْلإِمَامِ بَعْدَ انْقِرَاضِ زَمَنِ النُّبُوَّةِ وَاجِبٌ
بَلْ جَعَلُوْهُ أَهَمَّ اْلوَاجِبَاتِ حَيْثُ اشْتَغَلُّوْا بِهِ عَنْ دَفْنِ
رَسُوْلِ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ).
“Ketahuilah
juga bahwa sesungguhnya para Sahabat ridhwanulLah
‘alaihim telah berijmak bahwa mengangkat Imam (Khalifah) setelah
lewatnya zaman kenabian adalah wajib. Mereka bahkan menjadikan kewajiban ini
sebagai salah satu kewajiban yang paling penting (min
ahammi al-wâjibât). Buktinya, mereka lebih menyibukkan diri untuk
memilih dan mengangkat Khalifah daripada menguburkan jenazah Rasulullah Saw.
Perbedaan mereka dalam menentukan (siapa yang menjadi khalifah)
tidak menodai ijmak yang telah disebutkan itu.” (Ibnu
Hajar Al Haitsami, As Shawa’iqul
Muhriqah, hlm. 17)
Dalam
kitab tafsirnya, Al-Jâmi’ li Ahkâm
al-Qur’ân (I/264-265), Imam al-Qurthubi menjelaskan, “Seandainya keharusan adanya Imam itu tidak wajib
baik untuk golongan Quraisy maupun yang lain, lalu mengapa terjadi diskusi dan
perdebatan tentang Imamah. Sungguh orang akan berkata, “Sesungguhnya Imamah itu
bukanlah sesuatu yang diwajibkan, baik untuk golongan Quraisy maupun yang lain.
Lalu untuk apa kalian semua berselisih untuk suatu hal yang tidak ada faedahnya
atas suatu hal yang tidak diwajibkan.”
إِنَّ
نَصْبَ الْإِمَامِ وَاجِبٌ قَدْ عُرِفَ وُجُوْبُهُ فِي الشَّرْعِ بِإِجْمَاعِ
الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ
“Mengangkat
seorang Imam (Khalifah) wajib hukumnya, dan kewajibannya dapat diketahui dalam
Syariah dari ijma’ (kesepakatan) para shahabat dan tabi’in…” (Ibnu Khaldun, Muqaddimah, hlm. 191)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar