AL-'ILMU
WA AL-DZAN Pengertian Ilmu (Keyakinan) Dan Dzan (Prasangka)
AL-'ILMU WA AL-DZAN
Dua kata ini, al-‘ilmu dan al-dzan, merupakan terminologi yang sering digunakan dalam
pembahasan ‘aqidah. Akan tetapi, tidak sedikit dari kaum muslim yang belum
memahami makna dari dua kata ini.
Padahal, mengetahui makna dari kedua kata ini merupakan faktor yang
sangat penting sebelum memulai pembahasan-pembahasan ‘aqidah.
Al-‘Ilmu sering diartikan
dengan iman atau yakin [Imam
Abu Bakar al-Raaziy, Mukhtaar
al-Shihaah, bab yaqana, hal. 743]. Iman sendiri bermakna,
pembenaran (tashdiiq) [ibid,
bab amana, hal. 26] pasti yang berkesesuaian dengan fakta dan dibangun berdasarkan
dalil [Fathi Salim, al-Istidlaal bi al-Dzan fi al-‘Aqidah,
ed.II, Daar al-Bayaariq, 1414H/199M, hal.22]. Keyakinan hati yang tidak
sampai ke derajat kepastian, tidak absah disebut sebagai iman. Keyakinan semacam ini disebut dengan
al-dzan.
Berikut ini akan kami
ketengahkan ayat-ayat yang berbicara tentang al-‘ilmu dan al-dzan. Allah Swt. berfirman;
"Sesungguhnya orang-orang yang tidak beriman
kepada kehidupan akherat, mereka benar-benar menamakan malaikat itu dengan nama perempuan. Dan mereka tidak mempunyai pengetahuan (AL-'ILMU) tentang
itu. Mereka tidak lain hanyalah
mengikuti persangkaan sedangkan sesungguhnya persangkaan itu (AL-DZAN) tiada
berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran." (al-Najm : 27-28)
"...maka tidak ada dosa kepada keduanya (bekas suami pertama dari
isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan
hukum-hukum Allah.." (Al-baqarah : 230)
"dan karena ucapan mereka:" Sesungguhnya
kami telah membunuh Al- Masih, 'Isa putera Maryam, Rasul Allah, padahal mereka
tidak membunuhnya, dan tidak pula menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh ialah)
orang yang diserupakan 'Isa bagi mereka.
Sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham tentang (pembunuhan)
'Isa, benar-benar dalam keraguan tentang yang dibunuh itu. Mereka tidak mempunyai keyakinan, tentang
siapa yang dibunuh itu, kecuali mengikuti persangkaan belaka, mereka tidak
(pula) yakin bahwa yang mereka bunuh itu adalah 'Isa". (Al-Nisaa' :
157)
Di dalam al-Quran, kata al-'ilmu kadang-kadang bermakna al-qath'iy (pasti) dan al-yaqiin (yakin). Penyebutan kata al-'ilmu dengan makna al-dzan
(prasangka kuat) sangatlah sedikit.
Allah Swt. berfirman,
"Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu
tidak mempunyai pengetahuan (AL-'ILM) tentangnya..." (al-Isra' : 36)
"..Maka jika kamu telah mengetahui (Al-'ILM)
bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada
(suami-suami mereka) orang-orang kafir. (al-Mumtahanah : 10)
Kata al-‘ilmu dalam
ayat-ayat ini bermakna al-dzan (prasangka kuat).
Kata al-dzan bisa juga bermakna al-wahm (dugaan
tanpa dasar). Al-Quran telah menyatakan
hal ini dalam surat Al-najm ayat 28;
"Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan sedangkan
sesungguhnya persangkaan itu (AL-DZAN) tiada berfaedah sedikitpun terhadap
kebenaran." (Al-najm : 28)
Kadang-kadang al-dzan
juga bermakna al-qath'i dan al-yaqiin.
Allah Swt. berfirman;
"(yaitu) Orang-orang yang meyakini (yadzunnuun), bahwa mereka akan
menemui Tuhan-Nya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya."
(al-Baqarah : 46)
Al-dzan kadang bermakna tarjiih (prasangka kuat). Allah Swt. berfirman,"...maka tidak ada dosa kepada keduanya (bekas suami pertama dari
isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan
hukum-hukum Allah.." (Al-baqarah : 230)
Al-dzan dengan makna al-wahm
(sangkaan ilutif) tidak boleh dijadikan dalil dalam perkara
keyakinan (al-'aqaaid), dan hukum syara'. Orang yang mengatakan bahwa
malaikat itu berjenis kelamin perempuan, sesungguhnya, perkataan mereka itu
tidak didasarkan pada dalil, ataupun syubhah dalil. [Syubhat dalil adalah
dalil-dalil istidlal (sumber
penggalian hukum) yang masih diperbincangkan keabsahannya di kalangan 'ulama
ushul, semisal al-mashlahat al-mursalah,
istihsan, syar'u man qablanaa, jalb al-mashalih wa dar`u al-mafaasid, dll. Dalil adalah
Al-Quran, Sunnah, Ijma' Shahabat,
dan Qiyas. Syubhat dalil kadang juga digunakan untuk menyebut suatu
pendapat yang lemah.] Mereka tidak memiliki bukti
apapun kecuali sekedar persangkaan saja. Jenis al-dzan semacam ini (al-wahm)
tidak membawa kebenaran sedikitpun baik dalam masalah keyakinan ('aqaaid) maupun hukum syara’.
Al-dzan yang berma'na tarjiih al-ra'yi (pendapat kuat) absah
digunakan dalil dalam persoalan hukum syara', namun tidak untuk masalah 'aqidah.
Ketentuan semacam ini didasarkan pada firman Allah Swt. ;
"...jika keduanya
berpendapat (in dzanna) akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah" [2:230].
Ayat ini berbicara
mengenai kasus seorang laki-laki yang men-thalaq-tiga
isterinya. Jika laki-laki tersebut ingin kembali kepada isterinya kembali, maka
isterinya harus nikah dengan suami yang lain terlebih dahulu. Jika suami kedua
menceraikannya, maka ia boleh kembali kepada isterinya yang pertama. Allah Swt.
telah menyatakan ketetapan ini dengan sangat jelas, "...jika keduanya berpendapat (in dzanna) akan
dapat menjalankan hukum-hukum Allah"
[2:230].
Suami boleh ruju’ kembali dengan isterinya, meskipun pelaksanaan
ruju’ tersebut didasarkan pada dzan (prasangka kuat). Ruju’ merupakan bagian dari hukum
syara’. Ini menunjukkan bahwa, dalam
melaksanakan hukum-hukum syara’, tidak harus didasarkan pada al-‘ilm (keyakinan), akan tetapi cukup
didasarkan pada al-dzan (prasangka kuat) saja.
Walaupun dzan (prasangka kuat) absah digunakan
dalil dalam masalah hukum syara’, akan tetapi, ia tidak absah digunakan dalil
dalam masalah 'aqidah. Ketentuan semacam ini sejalan dengan kisah diangkatnya
Nabi Isa as. yang termuat dalam surat al-Nisaa':157.
Ayat itu menjelaskan
bahwa orang-orang yang menyangka 'Isa as. telah
tertawan, dibunuh, dan disalib, memiliki bukti yang sangat kuat. Persangkaan
mereka bukan sekedar wahm. Sebab,
mereka menyaksikan 'Isa as. berada di dalam sebuah rumah bersama
murid-muridnya, sedangkan para tentara telah mengepung rumah itu. Kemudian, Allah
menyerupakan salah seorang muridnya seperti beliau as. Tanpa sepengetahuan para
tentara, Allah mengangkat nabi 'Isa as. ke atas langit. Ketika para tentara memasuki rumah dan menangkap
orang yang berada di dalam rumah, mereka menyangka bahwa orang yang diserupakan
dengan Isa, adalah 'Isa as. Mereka menangkap orang yang diserupakan 'Isa as.
tersebut, dan menyalibnya hingga mati. Peristiwa ini disaksikan oleh khalayak
ramai, sekaligus merupakan bukti kuat bagi orang yang menyangka bahwa Isa as.
telah tersalib.
Namun, bukti yang mereka
sodorkan tidak sampai kepada keyakinan, bahkan mengandung keraguan dilihat dari
dua sisi. Pertama, penyerupaan itu
tidak sempurna. Wajah orang yang diserupakan Isa itu, adalah wajah 'Isa as., akan tetapi, tubuhnya
bukan tubuh 'Isa as. Kedua, bahwa jumlah orang yang bersama Isa as. di
dalam rumah berkurang satu. Padahal, di dalam rumah itu terdapat 13 orang, 'Isa
as. dan 12 muridnya. Akan tetapi, tatkala para tentara masuk ke dalam rumah,
mereka tidak mendapatkan kecuali 12 orang laki-laki. Karena ada perbedaan pada
wajah dan jumlah, timbullah keraguan. Persoalan itu akhirnya jatuh dari derajat
yakin
inderawiy ke derajat dzan.
"Mereka tidak mempunyai keyakinan , tentang siapa yang
dibunuh itu, kecuali mengikuti persangkaan belaka". (Al-Nisaa' : 157).
Allah Swt. telah melarang
dzan semacam ini untuk dijadikan dalil dalam masalah 'aqidah (keyakinan),
walaupun dalil tersebut rajih (kuat).
Allah telah menetapkan, 'aqidah
tidak boleh dibangun di atas dalil-dalil yang bersifat dzanniyyah (persangkaan
kuat). ‘Aqidah harus dibangun di atas dalil-dalil yang meyakinkan (qath’iy).
Allah telah menyatakan", mereka
tidak (pula) yakin bahwa yang mereka bunuh itu adalah 'Isa" (al-Nisaa':157). Orang yang meyakini bahwa Isa as. telah
terbunuh, tidak memiliki bukti yang meyakinkan. Keyakinan semacam ini adalah keyakinan
yang dicela oleh Al-Quran.
Dari Buku: MELURUSKAN
AQIDAH KITA HADITS AHAD TIDAK BOLEH DIJADIKAN HUJJAH DALAM
PERKARA AQIDAH ; Syamsuddin Ramadlan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar