Pengertian Aqidah – Arti Iman
Menurut Bahasa Dan Istilah
‘AQIDAH
Iman Dalam Tinjauan Bahasa
Secara literal, ‘aqidah
berasal dari kata ‘aqada yang bermakna al-habl, al-bai’, al-‘ahd (tali,
jual beli, dan perjanjian). [Mohammad Ibnu Abiy Bakar al-Raaziy, Mukhtaar
al-Shihaah, Daar al-Fikr, 1401 H/1971
M, hal.444. Bila dikatakan I’taqada fulaan al-amr (seseorang
telah beri’tiqad terhadap suatu perkara), maknanya adalah, shadaqahu, wa
‘aqada ‘alaihi qalbuhu, wa dlamiiruhu, (seseorang itu telah membenarkan perkara
tersebut, hatinya telah meyakininya, dan ia telah bersandar kepada perkara
tersebut). Lihat al-Mu’jam al-Wasith,
jilid I, bab ‘aqada.]
Menurut istilah, kata I’tiqad
(keyakinan) bermakna, tashdiiq al-jaazim
al-muthaabiq li al-waaqi’ ‘an al-daliil (pembenaran pasti yang sesuai dengan
kenyataan dan ditunjang dengan bukti). [ Fathi Salim, al-Istidlaal bi al-Dzan fi al-‘Aqidah,
ed. II, Daar al-Bayaariq, 1414 H/199 M , hal. 22.]
Kata al-‘aqiidah, al-‘ilm,
al-yaqiin, dan al-iiman bermakna sama.
Menurut bahasa, al-yaqiin bermakna
al-‘ilmu. [Al-Raaziy, Mukhtaar al-Shihaah, hal. 743] Menurut istilah, yaqiin memiliki arti, “meyakini sesuatu dengan keyakinan bahwa sesuatu yang diyakininya itu
tidak mungkin berbeda dengan keyakinannya.
Sebab, keyakinannya sesuai dengan kenyataan yang tidak mungkin berubah.”
[Al-Jurjaniy, al-Ta’riifaat, hal. 113]
Imam Ibnu Mandzur menyatakan, "Tokoh ahli bahasa Azujaj, mendefinisikan iman dengan, “Sikap
ketundukan, kepatuhan, dan kesediaan untuk menerima syari'at Islâm.” Sikap ini harus terefleksi pula dalam
menerima apa-apa yang disampaikan Rasulullah Saw. (sunnah). Sunnah harus
diyakini dan dibenarkan di dalam hati. Siapa saja yang bersikap seperti itu,
dan meyakini bahwa melaksanakan suatu kewajiban itu merupakan keharusan tanpa
ragu-ragu lagi, maka hakekatnya ia adalah seorang mukmin dan muslim yang keimanannya
tidak ragu-ragu lagi. Allah Swt.. berfirman, "....dan kamu sekali-kali
tidak akan percaya kepada kami..." [Al-Quran, Yusuf:17.]
Makna iman adalah tashdiq (pembenaran).
Dalam kitab al-Tahdzib, disebutkan bahwa iman berasal dari kata amana - yu'minu- îmânan, yang artinya membenarkan. Ahli bahasa sepakat bahwa
iman berarti tashdiq (pembenaran).
Lawan dari yaqin, ‘ilmu, dan iiman adalah dzan.
[Al-Raghib al-Isfahaaniy, Mufradaat al-Faadz al-Quran, hal.327] Menurut bahasa, dzan bermakna tahammuh (prasangka/dugaan). [Dalam kamus Mukhtaar
al-Shihaah, disebutkan, bahwa kata dzan kadang digunakan dengan makna al-‘ilmu
(yaqiin) [lihat juga Imam al-Amidiy,
al-Ihkaam fi Ushuul al-Ahkaam, hal
218]. Fathi Mohammad Salim menyatakan, bahwa kata dzann adalah keyakinan kuat
yang masih mengandung makna yang berlawanan. Al-Raaziy, Mukhtaar
al-Shihaah, hal. 406. Kata dzan
kadang-kadang digunakan dengan makna yaqiin dan syakk (keraguan). [lihat Fathi Salim, al-Istidlaal bi al-Dzan fi al-‘Aqidah, ed. II, Daar al-Bayaariq,
1414 H/199 M , hal. 20].]
Imam Zamakhsyariy berkata, “bi’r dzannuun: la yutsaaq bi maa’iha.[Sumur
yang meragukan adalah sumur yang airnya tidak bisa dipercaya]; rajul dzannuun:
la yutsaaq bi khabarihi [laki-laki yang meragukan adalah laki-laki yang
beritanya tidak bisa dipercaya].” [Asaas
al-Balaaghah,
hal. 303]
Iman Dalam Tinjauan Istilah
Imam
al-Nasafiy, berpendapat, "Îman adalah pembenaran hati sampai
pada tingkat kepastian dan ketundukan." [Imam
al-Nasafiy, Al-'Aqâid al-Nasafiyyah, hal. 27-43]
Imam Ibnu Katsir menjelaskan,"Îman yang telah ditentukan oleh syara' dan diserukan kepada kaum muslimîn adalah berupa i’tiqâd (keyakinan), ucapan, dan perbuatan. Inilah
pendapat sebagian besar Imam-imam madzhab. Bahkan, Imam Syafi'iy, Ahmad bin Hanbal, dan Abu Ubaidah menyatakan,
pengertian ini sudah menjadi suatu ijma'. (kesepakatan)". [Ibnu Katsîr, Tafsir Ibnu Katsîr, jilid.I, hal. 40]
Imam Nawawi, menyatakan, "Ahli Sunnah dari kalangan ahli hadits, para fuqaha, dan ahli
kalam, telah sepakat bahwa seseorang dikategorikan muslim apabila orang
tersebut tergolong sebagai ahli kiblat (melakukan sholat). Ia tidak kekal di
dalam neraka. Ini tidak akan didapati kecuali setelah orang itu mengimani
dienul Islâm di dalamnya hatinya,
secara pasti tanpa keraguan sedikitpun, dan ia mengucapkan dua kalimat
syahadat." [Imam Nawawi, Syarah Shahih Muslim, jilid I, hal. 49]
Imam al-Ghazali,
menyatakan,"Îman adalah pembenaran
pasti yang tidak ada keraguan maupun perasaan bersalah yang dirasakan oleh
pemeluknya." [Imam Al-Ghazali, Iljâm al-'Awam 'an 'Ilm al-Kalâm, hal. 112]
Keimanan harus ditetapkan dengan dalil
yang bersifat qath’iy (pasti) baik tsubut (sumber) maupun dilalah-nya (penunjukkannya). Sebab, keimanan yang dituntut oleh Syaari’
adalah keimanan yang meyakinkan dan tidak disusupi keraguan.
Dari Buku: MELURUSKAN
AQIDAH KITA HADITS AHAD TIDAK BOLEH DIJADIKAN HUJJAH DALAM
PERKARA AQIDAH ; Syamsuddin Ramadlan
Pengertian Aqidah – Arti Iman
Menurut Bahasa Arti Aqidah Menurut Istilah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar