HADITS AHAD TIDAK BOLEH DIJADIKAN
HUJJAH DALAM PERKARA
AQIDAH
Meskipun diskusi seputar
hadits ahad (apakah menghasilkan keyakinan atau sekedar dzan)
telah menjadi bahan perdebatan di kalangan kaum muslim dan para ‘ulama, namun
demikian perbedaan pendapat dalam masalah ini tidak pernah menyulut
pertentangan maupun tindakan-tindakan gegabah untuk saling mengkafirkan dan
menyesatkan sesama muslim. Para ‘ulama yang berpendapat bahwa hadits ahad
menghasilkan ilmu tidak pernah mengeluarkan sepatah kata “pengkafiran” kepada
‘ulama yang berpendapat bahwa khabar ahad tidak menghasilkan keyakinan.
Salah seorang pakar
tafsir Syaikh Mohammad Jamaluddin al-Qasimi dalam kitab tafsirnya, Mahasinu
Ta’wil, telah menyatakan bahwa mengkritik hadits ahad sudah biasa terjadi
dan popular sejak periode shahabat.
Selanjutnya beliau menyebutkan penegasan al-Ghazali, Ibnu Taimiyyah, dan
al-Fanari, bahwa yang mengkritik dan menolak hadits ahad tidak dapat dianggap
kafir atau fasik dan sesat. Sebab, hal
ini pernah terjadi dan dilakukan oleh para shahabat dan para ulama seperti
penolakan ‘Aisyah ra. terhadap hadits yang menyebutkan bahwa seorang mayit akan
disiksa karena ditangisi oleh keluarganya, juga penolakan ‘Umar atas riwayat
dari Hafshah (Syaikh
Mohammad Jamaluddin al-Qasimi, Mahasinu Ta’wil,
juz 17 hal.304-305).
Sayyid Qutub dalam tafsir
Fi Dzilalil Quran menyatakan, bahwa, hadits ahad tidak bisa dijadikan
sandaran (hujjah) dalam menerima masalah ‘aqidah. Al-Quran-lah rujukan yang
benar, dan kemutawatirannya adalah syarat dalam menerima pokok-pokok ‘aqidah (Sayyid Qutub,
Fi Dzilalil Quran, juz 30, hal. 293-294).
Akan tetapi, ada sebagian kaum
muslim yang dengan gegabah dan prematur telah menyesatkan sekelompok kaum
muslim yang berpendapat bahwa khabar ahad tidak boleh dijadikan hujjah dalam
perkara ‘aqidah. Padahal pendapat yang
menyatakan bahwa khabar ahad tidak menghasilkan apa-apa kecuali sekedar dzan
saja adalah pendapat terkuat yang dipilih oleh jumhur ‘ulama.
Sedangkan mereka yang berpendapat bahwa hadits ahad menghasilkan keyakinan
adalah pendapat rapuh yang didasarkan pada dalil-dalil yang lemah. Bahkan orang
yang berpendapat bahwa hadits ahad menghasilkan ilmu (keyakinan), sungguh ia
telah merendahkan akal pikirannya sendiri.
Perhatikan komentar dari Imam Bazdawiy, “Adapun siapa saja yang menyerukan bahwa ia menghasilkan ilmu yaqin
–maksudnya adalah dari hadits ahad--, tanpa diragukan lagi, itu adalah seruan
bathil. Sebab, setiap orang pasti menolaknya. Semua ini disebabkan karena,
khabar ahad masih mengandung syubhat. Tidak ada keyakinan bila masih mengandung
syubhat (kesamaran). Siapa saja yang menolak hal ini, sungguh ia telah
merendahkan dirinya sendiri dan sesat akalnya.” (Prof.
Mahmud Syaltut,
Islam, ‘Aqidah wa Syari’ah, ed.III,
1966, Daar al-Qalam, hal.63.)
’Aqidah
harus dibangun berdasarkan dalil-dalil yang meyakinkan, baik tsubut maupun
dilalah-nya. Sebab, keyakinan (‘aqidah) yang dituntut oleh syara’ adalah
‘aqidah yang tidak ada keraguan sedikitpun di dalamnya. Dengan kata lain,
‘aqidah harus meyakinkan dan pasti kebenarannya. Oleh karena itu, dalil yang
membangun pokok-pokok ‘aqidah haruslah dalil yang meyakinkan, baik dari sisi
tsubut maupun dilalah-nya.
Hadits
ahad adalah hadits yang sanadnya masih mengandung syubhat atau kesamaran (Ibid,
hal. 63). Oleh karena itu, dari sisi tsubut
(penetapan), hadits ahad tidak bisa menghasilkan kepastian atau keyakinan.
Karena tidak menghasilkan keyakinan, alias hanya menghasilkan dzan saja, maka
hadits ahad tidak bisa dijadikan hujjah untuk perkara-perkara yang membutuhkan
keyakinan pasti (‘aqidah). Pendapat ini
dipegang dan dianggap paling kuat oleh jumhur para ‘ulama.
Prof. Mahmud Syaltut (Prof Mahmud Syaltut adalah
mantan guru besar di Universitas al-Azhar) menyatakan,”Sesungguhnya
jalan satu-satunya untuk menetapkan masalah ‘aqidah adalah al-Quran al-Karim;
yakni ayat-ayat Quran yang qath’iy dilalah-nya –ayat yang tidak mengandung dua
makna atau lebih-, sebagaimana ayat-ayat yang digunakan untuk menetapkan
keesaan Allah, risalah, dan keyakinan kepada Hari Akhir. Ayat-ayat yang tidak
qath’iy dilalah-nya –mengandung dua makna atau lebih-, maka ayat-ayat semacam
ini tidak absah dijadikan dalil dalam masalah ‘aqidah….Walhasil, apakah ‘aqidah
bisa ditetapkan dengan al-Quran atau tidak tergantung dari dilalah-nya, qath’iy
atau dzanniy. Jika ‘aqidah tidak boleh ditetapkan kecuali berdasarkan nash yang
qath’iy baik dari sisi wurud (tsubut) dan dilalah-nya, maka….. ” (Ibid,
hal.61-62)
Seluruh ‘ulama tidak berbeda pendapat, bahwa al-Quran dan hadits
mutawatir yang qath’iy dilalah-nya merupakan sumber yang meyakinkan (qath’iy tsubut) untuk menetapkan pokok
keyakinan. Namun, bila dilalah-nya
tidak qath’iy maka ia tidak boleh dijadikan hujjah dalam perkara ‘aqidah,
meskipun dari sisi tsubut meyakinkan.
Para ‘ulama berbeda pendapat mengenai status hadits ahad; apakah hadits ahad dari sisi tsubut
(penetapan) menghasilkan keyakinan atau tidak.
Sebagian ‘ulama berpendapat, bahwa hadits ahad tidak menghasilkan
keyakinan. Sebagian ‘ulama lain menyatakan bahwa hadits ahad menghasilkan
keyakinan. Ada pula yang berpendapat, jika hadits ahad diperkuat qarinah, maka ia menghasilkan keyakinan.
(Haafidz Tsanaa
al-Allah al-Zaahidiy ,Taujiih al-Qaariy ila al-Qawaa’id wa
al-Fawaaid al-Ushuuliyah wa al-Hadiitsiiyyah wa al-Isnaadiyyah fi Fath
al-Baariy, Daar al-Fikr, hal.156. Penjelasan
panjang lebar mengenai masalah ini dapat dirujuk ke dalam kitab Al-Ihkaam fi Ushuul al-Ahkaam, karya Imam al-Amidiy, Juz I,
hal.217-dan seterusnya)
Berikut ini kami ketengahkan para ‘ulama yang berpendapat bahwa
khabar ahad tidak menghasilkan keyakinan.
Imam Syaukani menyatakan, “Khabar ahad adalah berita yang dari dirinya sendiri
tidak menghasilkan keyakinan. Ia tidak menghasilkan keyakinan baik secara asal,
maupun dengan adanya qarinah dari luar…Ini adalah pendapat jumhur ‘ulama.
Imam Ahmad menyatakan bahwa, khabar ahad dengan dirinya sendiri menghasilkan
keyakinan. Riwayat ini diketengahkan oleh Ibnu Hazm dari Dawud al-Dzahiriy,
Husain bin ‘Ali al-Karaabisiy dan al-Harits al-Muhasbiy.’ (Imam
Syaukani, Irsyaad al-Fuhuul ila Tahqiiq al-Haq min
‘Ilm al-Ushuul, hal.48. Diskusi
tentang hadits ahad, apakah ia menghasilkan keyakinan atau tidak setidaknya
bisa diikuti dalam kitab Al-Ihkaam fi
Ushuul al-Ahkaam, karya Imam al-Amidiy; [lihat Al-Amidiy, Al-Ihkaam fi Ushuul al-Ahkaam, juz I, Daar
al-Fikr, 1417 H/1996 M, hal.218-223])
Prof Mahmud Syaltut menyatakan, ‘Adapun jika sebuah berita diriwayatkan oleh
seorang, maupun sejumlah orang pada sebagian thabaqat –namun tidak memenuhi
syarat mutawatir [pentj]—maka khabar itu tidak menjadi khabar mutawatir secara
pasti jika dinisbahkan kepada Rasulullah Saw.. Ia hanya menjadi khabar ahad.
Sebab, hubungan mata rantai sanad yang sambung hingga Rasulullah Saw. masih
mengandung syubhat (kesamaran). Khabar
semacam ini tidak menghasilkan keyakinan (ilmu) (Prof.
Mahmud Syaltut,
Islam, ‘Aqidah wa Syari’ah, ed.III,
1966, Daar al-Qalam, hal.63).”
Beliau melanjutkan lagi, ‘Sebagian ahli ilmu, di antaranya adalah imam
empat (madzhab) , Imam Malik, Abu Hanifah, al-Syafi’iy dan Imam Ahmad dalam
sebuah riwayat menyatakan bahwa hadits ahad tidak menghasilkan keyakinan.” (Ibid.
hal. 63)
Imam Bazdawiy menyatakan, “Adapun yang mendakwakan ilmu yaqin
–maksudnya adalah dari hadits ahad-, maka itu adalah dakwaan bathil tanpa ada
keraguan lagi. Sebab, setiap orang pasti menolaknya. Semua ini disebabkan
karena, khabar ahad masih mengandung syubhat. Tidak ada keyakinan bila masih
mengandung syubhat (kesamaran). Siapa saja yang menolak hal ini, sungguh ia
telah merendahkan dirinya sendiri dan sesat akalnya.” (Ibid.hal.63)
Al-Ghazali berkata, ‘Khabar ahad tidak menghasilkan
keyakinan. Masalah ini –khabar ahad
tidak menghasilkan keyakinan—merupakan perkara yang sudah dimaklumi. Apa yang dinyatakan sebagian ahli hadits
bahwa ia menghasilkan ilmu, barangkali yang mereka maksud dengan menghasilkan
ilmu adalah kewajiban untuk mengamalkan hadits ahad. Sebab, dzan kadang-kadang disebut dengan
ilmu.” (Ibid,
hal.64)
Imam Asnawiy menyatakan, “Sedangkan sunnah, maka hadits ahad tidak
menghasilkan apa-apa kecuali dzan (Ibid. hal.64)”
Imam Bazdawiy menambahkan lagi, ‘Khabar ahad selama tidak menghasilkan ilmu tidak boleh digunakan hujah
dalam masalah i’tiqad (keyakinan). Sebab, keyakinan harus didasarkan kepada
keyakinan. Khabar ahad hanya menjadi hujjah dalam masalah amal. (Ibid.hal.64)”
Imam Asnawiy menyatakan, “Riwayat ahad hanya menghasilkan dzan. Namun,
Allah Swt. membolehkan dalam masalah-masalah amal didasarkan pada dzan….” (Ibid,
hal.64)
Al-Kasaaiy menyatakan, “Jumhur fuqaha’ sepakat, bahwa hadits ahad
yang tsiqah bisa digunakan dalil dalam masalah ‘amal (hukum syara’), namun
tidak dalam masalah keyakinan…” (Al-Kasaaiy,
Badaai’
al-Shanaai’,
juz.I, hal.20)
Imam Al-Qaraafiy salah satu
‘ulama terkemuka dari kalangan Malikiyyah berkata, “..Alasannya, mutawatir berfaedah kepada ilmu sedangkan hadits ahad
tidak berfaedah kecuali hanya dzan saja.” (Imam al-Qaraafiy, Tanqiih al-Fushuul , hal.192.)
Al-Qadliy berkata, di dalam Syarh Mukhtashar Ibn al-Haajib berkata,
“’Ulama berbeda pendapat dalam hal hadits
ahad yang adil, dan terpecaya, apakah menghasilkan keyakinan bila disertai
dengan qarinah. Sebagian menyatakan, bahwa khabar ahad menghasilkan keyakinan
dengan atau tanpa qarinah. Sebagian lain berpendapat hadits ahad tidak
menghasilkan ilmu, baik dengan qarinah maupun tidak.”
Syeikh Jamaluddin al-Qasaamiy, berkata, “Jumhur kaum muslim, dari kalangan
shahabat, tabi’in, dan ‘ulama-ulama setelahnya, baik dari kalangan fuqaha’,
muhadditsin, serta ‘ulama ushul; sepakat bahwa khabar ahad yang tsiqah
merupakan salah satu hujjah syar’iyyah; wajib
diamalkan, dan hanya menghasilkan dzan saja,
tidak menghasilkan ‘ilmu.” (Al-Qasaamiy,
Qawaa’id al-Tahdiits, hal.137,138.)
Dr. Rifat Fauziy, berkata, “Hadits ahad adalah hadits yang diriwayatkan oleh
seorang,dua orang, atau lebih akan tetapi belum mencapai tingkat mutawatir,
sambung hingga Rasulullah Saw.. Hadits semacam ini tidak menghasilkan
keyakinan, akan tetapi hanya menghasilkan dzan….akan
tetapi, jumhur ‘Ulama berpendapat bahwa beramal dengan hadits ahad merupakan
kewajiban.” (Dr.
Rifat Fauziy, al-Madkhal
ila Tautsiiq al-Sunnah, ed.I, tahun 1978.)
Meskipun demikian, kita tidak pernah menjumpai bahwa para
‘ulama-‘ulama tersebut di atas dengan gegabah telah mengkafirkan ‘ulama-‘ulama
lain yang berseberangan pendapat dengan mereka.
Sangat disesalkan, sebagian kaum muslim yang sedikit
pengetahuannya –terlepas apa tendensinya— telah menyesatkan, bahkan
mengkafirkan saudara seimannya, walaupun bisa jadi pendapat mereka adalah
pendapat yang lemah dan tidak layak untuk diikuti.
Untuk menepis pendapat-pendapat
yang menyatakan bahwa, hadits ahad wajib dijadikan hujjah dalam masalah
‘aqidah, maka kami akan memaparkan secara ringkas penjelasan yang dipilih oleh
jumhur ‘ulama.
Dari Buku: MELURUSKAN AQIDAH KITA HADITS AHAD TIDAK BOLEH DIJADIKAN HUJJAH DALAM PERKARA AQIDAH ; Syamsuddin Ramadlan
HADITS AHAD TIDAK
BOLEH DIJADIKAN HUJJAH DALAM PERKARA AQIDAH
terimakasih telah memberikan pengetahuan tentang hadits ahad, semoga apa yang saya dapatkan bisa berguna...Amiiiin
BalasHapus