Argumentasi
Kokoh: Hadits Ahad Tidak Absah Digunakan Dalil Dalam Perkara ‘Aqidah
1. Ijma’ shahabat tatkala mengumpulkan
al-Quran al-Kariim.
Bila anda perhatikan dengan seksama proses
pengumpulan al-Quran dalam mushhaf Imam, maka anda akan berkesimpulan bahwa
riwayat ahad tidak bisa digunakan hujjah dalam perkara-perkara yang membutuhkan
keyakinan (aqidah). Bahkan, meyakini bahwa khabar ahad harus diyakini dan wajib
dijadikan hujjah dalam perkara ‘aqidah akan berimplikasi serius bagi
kesempurnaan pokok ‘aqidah Islam.
Kita telah memahami bahwa al-Quran merupakan
salah satu pokok keimanan bagi kaum muslim. Seorang mukmin tidak boleh
meragukan keotentikan dan kesempurnaan al-Quran. Al-Quran yang dimaksud di sini adalah
al-Quran yang terlembaga dalam mushhaf ‘Utsmaniy. Apabila ada riwayat yang
dianggap al-Quran, namun tidak diriwayatkan dengan jalan mutawatir, maka
riwayat itu tidak boleh diyakini sebagai al-Quran –sebagai pokok ‘aqidah umat
Islam.
Al-Quran yang sampai ke tangan kita, seluruhnya
diriwayatkan secara mutawatir. Riwayat-riwayat ahad yang dianggap sebagai
al-Quran, tidak boleh diyakini sebagai Al-Quran. Para shahabat sendiri tidak
pernah melembagakan riwayat-riwayat ahad yang dianggap al-Quran ke dalam mushaf
Imam.
Kenyataan ini saja sudah cukup untuk
menggugurkan wajibnya menjadikan riwayat ahad sebagai hujjah dalam masalah
‘aqidah. Sebab, al-Quran adalah pokok dan sumber ‘aqidah kaum muslim. Sementara itu, semua yang tertulis di dalam
mushhaf Imam tidak diriwayatkan kecuali secara mutawatir. Riwayat-riwayat ahad yang dianggap sebagai
al-Quran sama sekali tidak ditulis, bahkan harus ditolak sebagai bagian dari
al-Quran.
Pakar ‘ulumul Quran, al-Hafidz al-Suyuthiy dalam kitab al-Itqan fi ‘Uluum al-Quran menyatakan,
“Tidak ada perbedaan pendapat, bahwa
semua bagian dari al-Quran harus (wajib) mutawatir, baik dari sisi pokoknya,
bagian-bagiannya, tempatnya, topiknya
dan urut-urutannya. Kalangan pen-tahqiq
ahlu sunnah juga berpendapat bahwa al-Quran harus diriwayatkan secara qath’iy
(mutawatir). Sebab, biasanya sesuatu
yang menghasilkan kepastian harus mutawatir. Sebab, al-Quran adalah mukjizat
agung yang menjadi pokok agama yang lurus (ashl al-diin al-qawiim). Ia juga
sebagai shirath al-mustaqim (jalan yang lurus), baik pada aspek global, maupun
terperincinya. Adapun, riwayat yang diriwayatkan secara ahad dan tidak
mutawatir , maka secara qath’iy ia bukan merupakan bagian dari al-Quran.
Sebagian besar kalangan ushuliyyin berpendapat bahwa mutawatir merupakan syarat
penetapan apakah riwayat tersebut
termasuk al-Quran.“ (Al-Hafidz
al-Suyuthiy, al-Itqaan fi ‘Uluum al-Quran, juz I, ed. III, 1951, Daar al-Fikr, hal.79.)
Sebagian besar ‘ulama ushul, sebagaimana
pendapat al-Hafidz
al-Suyuthiy berpendapat bahwa
mutawatir merupakan syarat bagi itsbat (penetapan), apakah suatu riwayat
dianggap sebagai bagian dari al-Quran atau tidak. Mereka berpendapat, bahwa
riwayat-riwayat ahad yang dinyatakan sebagai al-Quran tidak boleh diyakini
sebagai al-Quran secara pasti. Ini menunjukkan bahwa khabar ahad tidak boleh
digunakan hujjah untuk menetapkan al-Quran. Al-Quran adalah pokok dari
keyakinan kaum muslim. Mengingkari al-Quran, atau meyakini bahwa al-Quran telah
mengalami penambahan ataupun pengurangan adalah keyakinan bathil yang harus
dijauhi oleh orang-orang beriman. Walhasil, keterangan-keterangan ini telah
membuktikan bahwa, hadits ahad tidak bisa digunakan sebagai hujjah dalam
perkara ‘aqidah (keyakinan). Al-quran adalah pokok keimanan kaum muslim, dan ia
harus ditetapkan dengan riwayat-riwayat yang mutawatir. Riwayat-riwayat ahad
yang diklaim sebagai al-Quran harus ditolak sebagai bagian dari al-Quran.
Berikut ini kami ketengahkan riwayat-riwayat
ahad yang dianggap al-Quran, akan tetapi tidak boleh diyakini sebagai al-Quran:
·
Bukhari dalam
kitab Tarikhnya menyatakan sebuah riwayat dari Hudzaifah, ia berkata, artinya” Saya pernah membaca surat al-Ahzab pada masa
Nabi Saw. dan tujuh puluh ayat daripadanya saya sudah lupa, dan saya tidak
mendapatkannya di dalam al-Quran sekarang.’[Durr al-Mantsur, jilid 5, hal.
180.]
Riwayat ini adalah riwayat ahad. Seandainya
riwayat ini bisa digunakan hujjah dalam masalah ‘aqidah, tentu kita harus meyakini
juga bahwa surat al-Ahzab yang tertuang dalam mushhaf Imam, tidak lengkap.
Sebab, ada 70 ayat dalam surat al-Ahzab yang telah hilang. Padahal, keyakinan
semacam ini tentu akan berakibat fatal bagi kebersihan dan keotentikan al-Quran
al-Karim sebagai kalamullah dan mukjizat terbesar dari Rasulullah Saw.. Meyakini
riwayat ini sama artinya menuduh al-Quran telah mengalami tahrif (perubahan).
·
Riwayat
semacam ini juga diketengahkan oleh Abu Ubaid di dalam al-Fadlaail dan Ibnu
Mardawaih dari ‘Aisyah, ia menyatakan, “Pada
masa Nabi Saw., surat al-Ahzab dibaca sebanyak dua ratus ayat. Akan tetapi,
ketika ‘Utsman menulis mushhaf dia tidak bisa mendapatkannya kecuali
sebagaimana yang ada sekarang ini.” [al-Itqan, jilid II, hal.25, lihat juga
Duur al-Mantsur, jilid 5; hal.180]
Seandainya riwayat ahad ini harus diyakini,
maka lebih dari separuh surat al-Ahzab telah hilang, tepatnya seratus dua puluh
tujuh ayat telah hilang dari surat al-ahzab. Sebab, surat al-Ahzab yang ada di
dalam Al-Quran hanya sampai tujuh puluh tiga ayat. Walhasil, riwayat ini tidak boleh diyakini
bahkan harus ditolak untuk dijadikan hujjah dalam masalah ‘aqidah. Seorang
muslim dilarang sama sekali meyakini bahwa ada ayat Quran yang tidak terlembaga
dalam mushhaf ‘Utsmaniy.
· Imam al-Anbariy meriwayatkan dalam Mashahif dan al-Hasan, Ibnu Sirin, dan Zuhri dalam hadits panjang yang
menceritakan tentang pengumpulan Al-Quran, di sana disebutkan, "Abu
Bakar ra. memerintah seorang
mu’adzin untuk mengumumkan kepada masyarakat, siapa saja yang memiliki sesuatu
dari al-Quran agar mereka menyerahkannya. Hafshah
salah seorang Ummul Mukminin berkata, "Jika kalian sampai pada ayat ini ,
beritahulah aku! (Hafidzu 'ala al-shalawaat wa al-shalaat al-wustha...). Setelah sampai pada ayat tersebut, mereka
menyampaikan kepada Hafshah. Hafshah berkata, "Tulislah, hafidzu...wa
al-shalaat al-wustha, wa al-shalaat al-'ashr..". 'Umar ra. bertanya,
"Apakah kamu punya saksi?"
Hafshah menjawab, "Tidak!". 'Umar berkata, "Demi Allah,
kami tidak akan memasukkan apa yang disaksikan oleh seorang perempuan sedangkan
ia tak punya bukti."
Riwayat Hafshah ini juga tidak boleh diyakini sebagai
al-Quran. Sebab, ia adalah khabar ahad.
Padahal, riwayat-riwayat ahad tidak boleh diyakini sebagai bagian al-Quran.
Sebab, jika riwayat ini diyakini sama artinya meyakini bahwa al-Quran telah
mengalami pengurangan, karena tidak mencantumkan lafadz “al-‘ashr”.
· Imam Malik meriwayatkan dalam al-Muwatha',
dan Ibnu Dawud dalam Mashahif dari Ummul Mukminin 'Aisyah
ra., ia berkata, "Telah turun ayat
tentang 10 (kali isapan) susuan yang
mengharamkan (menjadikan mahram), kemudian dihapus dengan 5 kali (isapan)
susuan. Kemudian Rasulullah Saw. meninggal, sedangkan beliau menyatakan ia
adalah al-Quran." Namun demikian, tak seorangpun shahabat yang
memperhatikan riwayat ini. Mereka tidak
menulisnya di dalam Mushhaf.
· Ibnu Abi Dawud meriwayatkan dalam Mashahif,
al-Haakim, dan selain keduanya dari Mushhaf-nya Ubay bin Ka'ab, ia menuturkan ayat tentang kifarah (denda) budak.
Di dalam mushhaf-nya Ubay tersebut disebutkan, "fa shiyaam tsalaats ayaam mutatabi'aat fi kifaarat
al-yamiin"[berpuasa tiga hari berturut-turut untuk kifarat al-yamin].”
Akan tetapi, riwayat ini juga tidak dicantumkan ke dalam mushhaf
imam, sebab riwayat tersebut adalah khabar ahad. Riwayat ini juga tidak boleh dianggap sebagai
al-Quran. Sebab, seandainya ia harus diyakini, maka al-Quran yang terlembaga di
dalam mushhaf ‘Utsmaniy tidak lagi otentik, alias telah mengalami pengurangan.
Dalam masalah ini, Imam Syafi’iy menolak riwayat ini, sebab ia dinukil dengan
jalan ahad [lihat al-Ihkam fi Ushul al-Ahkaam, al-Amidiy]
· Imam Ahmad, Haakim dari Katsir bin Shalat,
ia berkata, "Adalah Ibn al-'Ash dan Zaid bin Tsabit sedang menulis mushhaf. Lalu, sampailah
mereka kepada ayat ini, maka Zaid berkata, "Saya mendengar
Rasulullah Saw. bersabda, "al-Syaikh
wa syaikhaat idza zanaya [kakek dan nenek jika berzina].", 'Umar berkata, "Bukankah engkau tahu bahwa seorang kakek, jika ia tidak muhshon
akan dijilid, sedangkan jika seorang pemuda berzina, dan ia muhshon, maka
dirajam".
· Dalam riwayat Muwatha' 'Umar berkata dalam
khutbahnya, "Seandainya bukan karena
orang-orang mengatakan bahwa 'Umar bin Khaththab telah menambah Kitabullah,
sungguh aku akan menulisnya (ayat rajam), sungguh kami telah
membacanya".
Namun demikian, riwayat ini bukanlah al-Quran dan tidak boleh
diyakini sebagai ayat yang dihapus (mansukh). Sebab, riwayat ini adalah
khabar ahad. Kita telah memahami bahwa
khabar ahad tidak menghasilkan apapun kecuali hanya sekedar dzan saja. Al-Quran tidak ditetapkan
kecuali dengan jalan kepastian (qath'iy),
bukan dzan. Padahal, al-Quran
adalah salah satu rukun dari rukun-rukun 'aqidah yang harus diimani baik yang
global maupun yang rinci. Seandainya riwayat ini bisa digunakan hujjah dalam
masalah keyakinan (‘aqidah) tentu kita harus meyakini bahwa mushhaf ‘Utsmaniy
tidak lagi otentik. Sebab, mereka tidak melembagakan ayat rajam yang
disampaikan oleh ‘Umar ra. di dalam mushhaf ‘Utsmaniy.
· Ada pula riwayat yang dikeluarkan oleh Ahmad, al-Bazari, Thabarani, Ibnu
Mardawaih dengan jalan shahih dari Ibnu 'Abbas dan Ibnu Mas'ud, bahwa
Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas tidak memasukkan al-Mu'awidzatain
(surat al-Falaq dan al-Naas) dari mushhaf-nya. Keduanya menyatakan bahwa
al-Quran tidak tercampur dengan sesuatu yang bukan dari Kitabullah. Menurut
kedua shahabat itu, al-mu’awidzatain bukan termasuk al-Quran, namun hanya
perintah Allah kepada Nabi Saw. untuk berlindung dengan keduanya”.
· Imam Fakhr al-Raziy menuturkan, bahwa sebagian kitab-kitab terdahulu telah menyebutkan
bahwa Ibnu Mas’ud telah mengingkari surat al-Fatihah dan al-Mu’awidzatain
sebagai bagian dari al-Quran. (al-Hafidz
al-Suyuthiy, al-Itqaan
fi ‘Uluum al-Quran, hal.79)
Imam Nawawiy dalam Syarh al-Muhadzdzab menyatakan:
Seluruh kaum muslim telah bersepakat bahwa, al-Mu’awidzatain dan al-Fatihah
merupakan bagian dari al-Quran. Siapa saja yang mengingkari keduanya [sebagai
bagian dari al-Quran] telah terjatuh dalam kekafiran. Sedangkan riwayat yang
dinukil dari Ibnu Mas’ud adalah bathil, dan sama sekali tidak shahih.
Al-Bazariy menyatakan, "Tidak ada
seorangpun dari kalangan shahabat yang mengikuti Ibnu Mas'ud. Telah disahkan dari Nabi Saw., bahwa beliau Saw.
membaca keduanya dalam sholat, dan mu'awidzatain
ditetapkan dalam mushhaf. Walhasil, para shahabat ra. menolak khabar
dari shahabat Ibnu Mas'ud ra., karena ia adalah khabar ahad yang
tidak sampai kepada derajat mutawatir
dan qath'iy.
Ibnu Hazm di dalam kitabnya al-Qadh
al-Ma’aliy Tatmiim al-Majaliy, berkata, “Riwayat ini merupakan pendustaan atas nama Ibnu Mas’ud.” [al-Hafidz
al-Suyuthiy, al-Itqaan fi ‘Uluum
al-Quran, hal.79]
Ibnu Hajar dalam
Syarh al-Bukhari
menyatakan: “Telah
dishahihkan dari Ibnu Mas’ud bahwa ia telah mengingkari al-Mu’awidzatain.” Riwayat
senada juga dituturkan oleh Imam Ahmad dan Ibnu Hibban, bahwa Ibnu Mas’ud tidak
menulis al-Mu’awidzatain di dalam mushhaf-nya. [Al-Hafidz al-Suyuthiy, Al-Itqaan fi ‘Uluum al-Quran, hal.79]
Lalu, apakah berdasarkan riwayat ahad ini, anda akan menarik
kesimpulan bahwa al-Mu’awidzatain bukanlah bagian dari al-Quran? Seandainya
anda menyatakan, bahwa riwayat Ibnu Mas’ud ini harus diyakini, tentunya
al-Quran telah mengalami tahrif
(perubahan). Seandainya kita menyatakan, bahwa hadits ahad yang diriwayatkan
dari Ibnu Mas’ud ini tidak boleh diyakini, maka anda telah menyelamatkan
al-Quran dari adanya tahrif.
Seluruh riwayat di atas telah menunjukkan kepada kita bahwa,
riwayat ahad tidak boleh digunakan hujjah untuk membangun pokok keimanan. Perilaku para shahabat untuk tidak
melembagakan riwayat-riwayat ahad yang diklaim sebagai al-Quran merupakan bukti
nyata, bahwa khabar ahad tidak boleh dijadikan hujjah dalam perkara ‘aqidah.
2. Para shahabat telah
mensyaratkan jumlah tertentu pada saat melembagakan al-Quran di dalam
mushhaf Imam.
Kami juga akan memaparkan riwayat-riwayat yang menyatakan, bahwa
tatkala mengumpulkan al-Quran al-Karim pada masa Abu Bakar ra., para shahabat
telah mensyaratkan jumlah tertentu, hingga riwayat mereka dianggap sebagai
al-Quran.
· Ibnu Abi Dawud dalam Mashahif dari Abu Bakr, meriwayatkan, “Sesungguhnya Abu Bakar memerintahkan kepada 'Umar dan Zaid ra. agar
keduanya duduk di pintu masjid, dan memerintahkan keduanya agar siapapun yang
membawa sesuatu dari al-Quran dengan membawa dua orang saksi, maka keduanya
harus mencatatnya”.
· Dari jalan Ibnu Sa'ad,
ia berkata,” Keduanya duduk di pintu
masjid, dan tak seorangpun yang membawa sesuatu dari Al-Quran yang disaksikan
oleh dua orang, kecuali akan ditulis dan tidak akan diingkari oleh keduanya”.
· Menurut Ibnu Abu Dawud dalam
Mashahif dari Yahya bin 'Abd al-Rahman bin Haatib berkata, 'Umar berkata, "Siapa saja yang menyimpan sesuatu
–al-Quran-- dari Rasulullah, maka serahkanlah. Sedangkan para shahabat menulis ayat-ayat Quran dalam shuhuf, batu
tulis, tulang. ‘Umar ra. tidak menerima
apapun dari seseorang, sampai orang tersebut menghadirkan dua orang saksi”.
· Dari jalan Ibn Sa'ad
dan Ibn Abi Dawud dan Ahmad bin Hanbal dan selainnya, dari Khuzaimah bin Tsabit berkata, "Saya menyampaikan ayat (laqad jaa`akum) kepada 'Umar ra. dan Zaid
bin Tsabit. Zaid bertanya, siapakah
orang yang menyaksikan bersamamu.. Saya menjawab, "Demi Allah saya tidak
tahu!" 'Umar berkata, "Saya
menyaksikan hal itu bersamamu".
· Ibnu Jarir, Ibnu Mundzir dan selainnya meriwayatkan dari 'Ubaid bin 'Umair, bahwa ia berkata, "Umar tidak menerima satu ayat dari Kitabullah sampai ada dua
orang saksi yang menyaksikan".
· Dalam shahih Bukhari dan
Ibnu Abi Dawud dan selain keduanya
dari Zaid bin Tsabit berkata, "Ketika kami menulis Mushhaf, saya
kehilangan sebuah ayat dari kitabullah, di mana aku pernah mendengarnya dari
Rasulullah Saw., dan aku menemukannya pada Khuzaimah bin Tsabit "Minal
mukminiin rijaalun.. ", sedangkan
Khuzaimah memiliki dua orang saksi.
Rasulullah Saw. membolehkan persaksian dengan saksi dua orang".
Riwayat-riwayat di atas menunjukkan, bahwa para shahabat telah
menetapkan syarat-syarat tertentu tatkala melembagakan al-Quran dalam mushhaf
‘Utsmaniy. Seandainya, khabar ahad bisa
dijadikan hujjah dalam pelembagaan al-Quran, tentu para shahabat tidak perlu
mensyaratkan dua orang saksi. Jikalau berita satu orang bisa digunakan sandaran
untuk menetapkan pokok ‘aqidah (al-Quran) tentu para shahabat tidak perlu lagi
mensyaratkan dua orang saksi. Akan tetapi, para shahabat menolak untuk
melembagakan khabar yang diklaim sebagai al-Quran jika tidak mendatangkan dua
orang saksi dan mendatangkan bukti otentik lainnya.
Perhatikan riwayat berikut ini:
· Dalam shahih Bukhari, Zaid berkata,
"Saya kehilangan satu ayat dari
surat al-Ahzab, kemudian aku mendapatkannya pada Khuzaimah, karena ia
menyimpannya. Seandainya tidak, tentu hilanglah ayat tersebut. Kemudian ayat tersebut ditulis.
· Dalam riwayat Ibnu Abi
Dawud dari 'Umar, ia berkata, "Barangsiapa mendapatkan dari Rasulullah sesuatu dari al-Quran,
maka serahkanlah”. Perawi berkata,
"Mereka menulis dalam shuhuf, batu, dan tulang".
Riwayat di atas menunjukkan dengan pasti, bahwa para shahabat ra.
tidak mencantumkan satupun ayat dalam mushhaf kecuali bisa dipastikan bahwa
ayat tersebut adalah al-Quran yang diturunkan kepada Rasulullah Saw.
· Imam al-Anbariy meriwayatkan dalam Mashahif dan al-Hasan, Ibnu Sirin, dan Zuhri dalam hadits panjang yang
menceritakan tentang pengumpulan Al-Quran, di sana disebutkan, "Abu
Bakar ra. memerintah seorang
mu’adzin untuk mengumumkan kepada masyarakat, siapa saja yang memiliki sesuatu
dari al-Quran agar mereka menyerahkannya. Hafshah
salah seorang Ummul Mukminin berkata, "Jika kalian sampai pada ayat ini ,
beritahulah aku! (Hafidzu 'ala al-shalawaat wa al-shalaat al-wustha...). Setelah sampai pada ayat tersebut, mereka
menyampaikan kepada Hafshah. Hafshah berkata, "Tulislah, hafidzu...wa
al-shalaat al-wustha, wa al-shalaat al-'ashr..". 'Umar ra. bertanya,
"Apakah kamu punya saksi?" Hafshah menjawab, "Tidak!".
'Umar berkata, "Demi Allah, kami tidak akan memasukkan apa yang disaksikan
oleh seorang perempuan sedangkan ia tak punya bukti."
Berdasarkan riwayat ini, kita tidak mungkin lagi menyatakan
bolehnya membangun pokok keimanan dengan khabar ahad. Riwayat di atas telah menunjukkan, bahwa
‘Umar telah menolak khabar yang disampaikan oleh Hafshah. Sebab, Hafshah tidak memiliki saksi. Seandainya
khabar ahad bisa diterima untuk menetapkan al-Quran tentu ‘Umar ra. akan
menulis khabar Hafshah di dalam mushhaf.
3. Argumentasi ‘Aqliyyah
Secara ‘aqliy, ketika anda menyaksikan suatu peristiwa secara
langsung, dan terlibat di dalamnya, anda pasti akan meyakini kebenaran
peristiwa yang anda saksikan tersebut.
Sebab, peristiwa tersebut meyakinkan dari sisi anda. Namun, ketika anda
menyampaikan peristiwa itu kepada orang yang tidak menyaksikannya secara
langsung, tentu orang itu tidak langsung mempercayai ucapan anda, meskipun anda
sangat meyakini peristiwa itu. Peristiwa tersebut hanya meyakinkan dari sisi
anda, namun tidak bagi orang yang tidak menyaksikan peristiwa itu secara
langsung. Di sinilah pentingnya itsbat
(penetapan) terhadap apa yang anda sampaikan, apakah berita yang anda sampaikan
itu benar-benar meyakinkan atau tidak.
Hal ini tidak ubahnya dengan
kesaksian yang diberikan seorang saksi kepada seorang qadliy. Seorang saksi
harus membangun kesaksiannya dengan bukti-bukti yang meyakinkan. Ia tidak boleh
bersaksi, kecuali jika ia menyaksikan kejadiannya secara langsung, meyakinkan
dan pasti. Sebab Rasulullah Saw. bersabda,
"Jika kalian melihatnya seperti kalian melihat matahari, maka
bersaksilah. (Namun) jika tidak, maka tinggalkanlah". (Lihat
pada Ahmad al-Da’ur, al-Ahkaam
al-Bayyinaat, hal.6, 1965, tanpa penerbit)
Namun demikian, apa yang
disaksikan oleh seorang saksi hanya meyakinkan dari sisi saksi saja, tidak bagi
qadliy. Ketika qadli menerima kesaksian seorang saksi, tidak secara otomatis
“kesaksian itu” meyakinkan dari sisi qadliy --meskipun, kesaksian itu meyakinkan
dari sisi saksi. Bahkan, seorang qadliy tidak harus menjatuhkan vonis
berdasarkan kesaksian seorang saksi. Perhatikan riwayat berikut ini, dari Ummu Salamah, Nabi Saw. bersabda:
"Sesungguhnya aku ini
adalah manusia biasa, dan kalian telah membawa masalah-masalah yang kalian
perselisihkan kepadaku. Ada di antara kalian yang hujjahnya sangat memukau daripada
yang lain, sehingga aku putuskan sesuai dengan apa yang aku dengar. Oleh karena
itu, siapa saja yang aku putuskan, sementara ada hak bagi saudaranya yang lain,
maka janganlah kalian mengambilnya. Sesungguhnya, apa yang aku putuskan bagi
dirinya itu merupakan bagian dari api neraka" (Hadits
Riwayat Mutafaq ‘Alaih).
Nash ini menunjukkan, bahwa Rasulullah Saw. memutuskan perkara
berdasarkan prasangkanya. Kesaksian yang diberikan oleh saksi hanya meyakinkan dari sisi saksi, tidak
bagi qadliy. Buktinya, Rasulullah Saw. menyatakan kemungkinan adanya vonis yang
salah. Seandainya, berita yang
disampaikan seorang saksi juga meyakinkan dari sisi qadliy, tentu Rasulullah Saw.
tidak akan menyatakan kemungkinan adanya kesalahan dalam hal vonis.
Bahkan, Rasulullah Saw. telah menyatakan dengan jelas, bahwa
seorang hakim itu memutuskan sesuatu berdasarkan dzan, bukan sekadar dengan
keterangan yang disampaikan oleh seorang
saksi.
Dari ‘Amru bin al-‘Ash, beliau mendengar Rasulullah Saw. bersabda:
Jika seorang hakim memutuskan suatu
perkara, lantas ia berijtihad dan ijtihadnya benar, maka ia mendapat dua
pahala. Namun, jika seorang hakim hendak memutuskan suatu perkara, kemudian ia
berijtihad, dan ijtihadnya salah, maka ia mendapat satu pahala.
Kenyataan seperti ini, sama persis dengan si anu yang menyampaikan
sebuah khabar kepada si fulan. Meskipun
khabar itu meyakinkan dari sisi si anu, namun dari sisi si fulan, khabar itu
tidaklah meyakinkan. Oleh karena itu, si fulan bisa menolak, atau menerima
berita dari si anu.
Namun demikian, jika berita itu telah masyhur dan meyakinkan, maka
dengan sendirinya, siapapun yang menyampaikan berita itu, wajib kita yakini.
Secara ‘aqliy khabar yang disampaikan seseorang atau lebih yang tidak
mengantarkan kepada keyakinan, hanya akan menghasilkan dzan belaka, tidak meyakinkan.
Seluruh keterangan di atas menunjukkan bahwa akal bisa menetapkan
bahwa berita yang disampaikan secara ahad tidak menghasilkan apa-apa kecuali
sekedar dzan belaka.
Dari Buku: MELURUSKAN AQIDAH KITA HADITS AHAD TIDAK BOLEH DIJADIKAN HUJJAH DALAM PERKARA AQIDAH ; Syamsuddin Ramadlan
Argumentasi Kokoh:
Hadits Ahad Tidak Absah Digunakan Dalil Dalam Perkara ‘Aqidah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar