Hukum Menegakkan Khilafah Islamiyah – Hukum Mendirikan Negara Islam
Banyak
orang bertanya mengenai hukum melanjutkan kehidupan
Islam dan menegakkan Daulah Islamiyah yang menerapkan hukum-hukum Islam secara
sempurna dan mengemban risalah universal kepada seluruh manusia.
Pertanyaan itu muncul sebagai akibat lenyapnya Daulah Islamiyah dari pentas
dunia, akibat jauhnya kaum Muslim dari kehidupan Islam yang sempurna dan akibat
mereka hidup dalam kungkungan sistem sesat saat ini. Hal itu terjadi setelah
umat ini diselubungi oleh faktor-faktor kemunduran pemikiran, kejumudan fikih,
ditutupnya pintu ijtihad dan terhentinya aktivitas jihad.
Banyak
faktor yang membantu memunculkan pertanyaan di atas. Tanpa bermaksud membatasi
faktor-faktor dimaksud, salah satu yang mendasari munculnya pertanyaan tersebut
secara menonjol tidak lain adalah munculnya banyak harakah Islam di negeri-negeri
Islam. harakah-harakah itu menyerukan Islam serta berupaya untuk mewujudkan
reformasi dan perubahan. Masing-masing menggunakan metode yang diadopsinya.
Metode mereka itu antara lain dengan jalan reformasi individual, dakwah pada
akhlak atau pada perbaikan individu-individu, atau dengan cara memberi
peringatan dan petunjuk/ motivasi, memerintahkan kemakrufan dan mencegah
kemunkaran; atau dengan ikut serta dalam lembaga-lembaga pemerintahan dan
legislatif yang semuanya jelas kufur atau bergabung dengan pemerintahan kufur
secara langsung; atau dengan menggunakan metode menghilangkan kemungkaran
dengan menggunakan kekuatan, seperti yang telah kami jelaskan dalam paparan
mengenai tujuan-tujuan berbagai harakah dan metode perjuangan masing-masing.
Akan
tetapi, pertanyaan di atas tetap ada. Mengapa harakah-harakah tersebut
melaksanakan semua aktivitas itu, dan apakah masing-masing berjuang untuk
melanjutkan kehidupan Islam? Jika memang demikian adanya, lalu apa hukum
aktivitas melanjutkan kehidupan Islam itu? Apakah wajib mendirikan satu Daulah
Islamiyah yang menggabungkan seluruh penjuru kaum Muslim, berjuang mengemban
Islam sebagai risalah universal kepada manusia seluruhnya untuk menunjuki
mereka dengan petunjuk Islam dan menggabungkan mereka semua di bawah bendera
Daulah Islam?
Untuk
menjawab pertanyaan tersebut, kami menyatakan bahwa melanjutkan kehidupan Islam
tidak akan sempurna kecuali dengan tegaknya Daulah Islamiyah. Daulah
Islamiyah itu mengambil akidah dan sistem kehidupan dari Islam serta menerapkan
Islam atas seluruh rakyatnya di dalam negeri, sebagaimana juga beraktivitas
mengemban risalah Islam dan menyebarkannya ke seluruh dunia.
Islam
tidak turun hanya untuk mengatur ibadah atau hanya untuk dihapal di dalam hati
saja. Al-Quran bukan sekedar kitab yang dibaca meskipun memang membacanya
merupakan ibadah. Al-Quran juga bukan sekedar kitab untuk digantung di berbagai
sudut rumah dan tempat-tempat umum. Akan tetapi, al-Qur’an itu merupakan konstitusi kehidupan. Dari sini maka pelaksanaan aktivitas
menerapkan al-Qur’an itu bukan saja wajib, malah merupakan kewajiban yang
paling penting. Wajibnya aktivitas itu menjadikannya sebagai perkara yang lazim (suatu keharusan).
Tidak ada pilihan bagi seseorang untuk mundur dari pelaksanaan aktivitas tersebut.
Mereka juga tidak boleh berleha-leha dalam urusan ini. Pengabaian urusan ini
dan duduk berdiam diri darinya merupakan kemaksiatan dan termasuk kemaksiatan
yang terbesar. Allah akan mengazab siapapun yang demikian dengan azab yang
pedih.
Aktivitas melanjutkan kehidupan Islam dengan jalan mendirikan Daulah
Islamiyah yang kepala negaranya adalah seorang Khalifah kaum Muslim adalah
fardhu. Khalifah itu dipilih oleh umat dari individu-individu
umat sesuai dengan syarat-syarat dan metode tertentu yang sudah diulas dalam
kitab fikih. Kami menyatakan bahwa dalil mengenai kefardhuan aktivitas
melanjutkan kehidupan Islam sesungguhnya telah diisyaratkan secara jelas dalam
al-Kitab, as-Sunnah dan Ijmak Sahabat – semoga Allah meridhoi mereka.
Dalam
al-Quran, Allah Swt. memerintahkan Muhammad Saw., Rasul-Nya, untuk menghukumi
di tengah kaum Muslim dengan apa yang diturunkan oleh Allah. Allah Swt.
berfirman:
Putuskanlah perkara mereka menurut wahyu yang telah Allah turunkan dan
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang
telah datang kepadamu (Terjemah Makna Qur’an Surat [5] al-Maidah 48)
Hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut wahyu yang
telah Allah turunkan, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Berhati-hatilah
kamu terhadap mereka supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa
yang telah Allah turunkan kepadamu (Terjemah Makna Qur’an Surat [5] al-Maidah
49)
Siapa saja yang tidak memutuskan hukum menurut wahyu yang telah Allah
turunkan, mereka itu adalah orang-orang kafir (Terjemah Makna Qur’an Surat [5]
al-Maidah 44)
Masih
banyak ayat-ayat lain yang serupa.
Ketika
kita mendengar seruan Allah kepada Rasul-Nya dengan kondisi itu, kita
mengetahui bahwa seruan Rasul juga merupakan seruan bagi umatnya selama tidak
terdapat dalil yang mengkhususkannya hanya untuk beliau. Ketika tidak terdapat
dalil pengkhususannya, maka perintah itu merupakan seruan bagi kaum Muslim
untuk menegakkan hukum Allah di muka bumi. Hal itu masih ditambah dengan apa
yang termaktub dalam al-Qur’an berupa seruan kepada kaum Muslim untuk menaati ulil amri. Allah Swt. tidak menuntut mentaati sesuatu
yang tidak ada wujudnya. Allah tidak mewajibkan hambanya untuk menaati ulil amri yang keberadaannya bersifat sunnah dan tidak
wajib. Hal ini juga menunjukkan bahwa mewujudkan ulil
amri
bagi kaum Muslim adalah wajib. Dengan adanya ulil amri itu akan sempurnalah
pelaksanaan penegakkan hukum syariah dan sempurna pula pemerintahan berdasarkan
hukum-hukum Allah.
Adapun
dalil dari as-Sunnah yang mulia, yang menyatakan hal itu banyak sekali. Di
antaranya sabda Rasul Saw.:
Siapa saja yang melepaskan tangan dari ketaatan maka ia pasti menjumpai
Allah tanpa memiliki hujjah. Siapa saja yang mati, sementara di pundaknya tidak
ada baiat maka matinya seperti mati jahiliah (Hadits Riwayat Muslim)
Baiat
seorang Muslim tidak akan sempurna kecuali diberikan kepada Khalifah dan tidak
boleh diberikan kepada selainnya. Dengan begitu, yang wajib adalah adanya baiat
di atas pundak setiap Muslim. Ini berarti wajib adanya Khalifah hingga
tercapailah baiat di pundak setiap Muslim. Jadi, adanya Khalifahlah yang
menjadikan adanya baiat di pundak setiap Muslim baik mereka yang membaiat
Khalifah secara praktis (melakukannya secara langsung) maupun tidak. Oleh
karena itu, hadits tersebut merupakan dalil atas kewajiban mengangkat Khalifah
dan bukan merupakan dalil mengenai kewajiban baiat (baiat pengangkatan secara
langsung). (kutayib al-Khilafah, min mansyurah Hizb at-Tahrir)
Rasulullah
Saw. mencela kosongnya pundak seorang Muslim dari baiat kepada Khalifah hingga
ia meninggal. Beliau tidak mencela seorang Muslim karena ia tidak membaiat
Khalifah (baiat pengangkatan secara langsung).
Selain
itu, banyak hadis lain yang menyeru kaum Muslim untuk menaati ulil amri, menaati Khalifah dan memenuhi baiat
kepadanya serta tidak keluar darinya kecuali kaum Muslim melihat kekufuran yang
nyata. Semua itu berarti perintah
mengangkat Khalifah, menjaga Khilafah serta memerangi orang yang memecah belah
Khilafah.
Setiap
dari kita pun mengetahui bahwa para Sahabat menunda memakamkan jenazah Rasul
Saw. Padahal memakamkan jenazah adalah fardhu. Para Sahabat menundanya demi
menyibukkan diri mewujudkan Khalifah pengganti Rasul Saw. Hal itu menunjukkan
bahwa menyibukkan diri untuk mewujudkan Khalifah lebih wajib daripada
memakamkan jenazah.
Lebih
dari itu, umat Islam diseru untuk menerapkan hukum-hukum Allah dan
mengimplementasikan sistem-Nya. Allah Swt. berfirman:
Pencuri laki-laki dan perempuan, potonglah tangan keduanya (sebagai)
pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Allah
MahaPerkasa dan MahaBijaksana. (Terjemah Makna Qur’an Surat [5] al-Maidah 38)
Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, cambuklah setiap
orang dari keduanya seratus kali cambukan, dan janganlah merasa belas kasihan
kepada keduanya mencegah kalian untuk (menjalankan) agama Allah jika kalian
memang mengimani Allah dan Hari Akhirat. Hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka
disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman (Terjemah Makna Qur’an
Surat [24] an-Nur 2)
Kaum Muslim tidak
mungkin bisa melakukan dan menerapkan banyak dari ketentuan syariat Islam tanpa
ada di tengah-tengah mereka seorang Imam, Khalifah atau Amir yang berposisi
sebagai wakil mereka dalam menerapkan dan mengimplementasikan hukum-hukum
tersebut. Ketika hukum-hukum syariah dalam segala
urusan baik urusan dunia maupun akhirat itu yang sesuai dengan nash-nash qath’i, baik dilalah (penunjukkan) maupun
tsubut (sumber)-nya, adalah wajib bagi kaum Muslim, maka hal
itu tidak mungkin sempurna kecuali ada seorang Amir, Seorang penguasa atau
Khalifah yang memiliki kekuasaan mewakili umat untuk menerapkan hukum-hukum
syariah itu. Kaidah syariah menyatakan:
Suatu kewajiban yang tidak sempurna kecuali dengan sesuatu maka sesuatu
itu menjadi wajib.
Oleh
karena itu, sesuai dengan kaidah tersebut, mewujudkan Khalifah adalah fardhu.
Dari
semua itu, menjadi jelaslah bagi kita dengan sejelas-jelasnya, bahwa
melanjutkan kehidupan Islam dan mendirikan Daulah Islamiyah yang dikepalai oleh
seorang Khalifah yang satu bagi seluruh kaum Muslim adalah wajib.
Perlu
diperhatikan, terkait dengan kata waliy al-‘amr,
amir atau kata-kata lain yang memiliki makna serupa, maka yang penting adalah
adanya wakil umat yang memiliki kekuasaan menerapkan hukum-hukum Allah dan
mengurusi (memimpin) kaum Muslim seluruhnya. Hanya saja, tidak boleh menggunakan
kata yang memiliki pengertian spesifik yang ditunjukkan oleh sistem yang
spesifik pula, atau bentuk pemerintahan yang spesifik seperti kata kekaisaran,
raja, presiden atau yang sejenis.
Hukum melanjutkan kehidupan Islam, sesuai dengan dalil-dalil yang
dipaparkan, adalah wajib. Ketentuan ini sudah sangat jelas dan
tidak bisa menerima adanya takwil atau tawar-menawar. Karena hal itu diambil
dari dalil-dalil berupa nash al-Qur’an, as-Sunnah dan Ijma’ Sahabat.
Dalil-dalil ini merupakan dalil-dalil terpenting dari dalil-dalil syariah yang
diakui dan disepakati. Atas dasar ini, tidak ada alasan bagi individu, harakah,
partai, jamaah atau organisasi untuk duduk berdiam diri dari upaya melaksanakan
kewajiban ini. Menyibukkan diri dengan selain kewajiban ini dinilai menyalahi
syariah dan jauh dari kebenaran (al-haq wa
as-shawab).
Kami
telah menjelaskan pada bagian terdahulu ketika memaparkan metode untuk mencapai
hal itu, untuk mewujudkannya, wajib terikat dengan metode (thoriqoh) Rasul Saw. dalam upaya beliau menegakkan
Daulah Islamiyah yang pertama di Madinah al-Munawarah.
Dari : Seputar Gerakan Islam; Abu Za’rur
Hukum Menegakkan Khilafah Islamiyah – Hukum Mendirikan Negara Islam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar