Unduh BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Sabtu, 17 September 2011

Dalil Hadits Ahad Tidak Absah Digunakan Dalil Dalam Perkara Akidah

Argumentasi Kokoh: Hadits Ahad Tidak Absah Digunakan Dalil Dalam Perkara ‘Aqidah


1.  Ijma’ shahabat tatkala mengumpulkan al-Quran al-Kariim.

Bila anda perhatikan dengan seksama proses pengumpulan al-Quran dalam mushhaf Imam, maka anda akan berkesimpulan bahwa riwayat ahad tidak bisa digunakan hujjah dalam perkara-perkara yang membutuhkan keyakinan (aqidah). Bahkan, meyakini bahwa khabar ahad harus diyakini dan wajib dijadikan hujjah dalam perkara ‘aqidah akan berimplikasi serius bagi kesempurnaan pokok ‘aqidah Islam.

Kita telah memahami bahwa al-Quran merupakan salah satu pokok keimanan bagi kaum muslim. Seorang mukmin tidak boleh meragukan keotentikan dan kesempurnaan al-Quran.  Al-Quran yang dimaksud di sini adalah al-Quran yang terlembaga dalam mushhaf ‘Utsmaniy. Apabila ada riwayat yang dianggap al-Quran, namun tidak diriwayatkan dengan jalan mutawatir, maka riwayat itu tidak boleh diyakini sebagai al-Quran –sebagai pokok ‘aqidah umat Islam.

Al-Quran yang sampai ke tangan kita, seluruhnya diriwayatkan secara mutawatir. Riwayat-riwayat ahad yang dianggap sebagai al-Quran, tidak boleh diyakini sebagai Al-Quran. Para shahabat sendiri tidak pernah melembagakan riwayat-riwayat ahad yang dianggap al-Quran ke dalam mushaf Imam.

Kenyataan ini saja sudah cukup untuk menggugurkan wajibnya menjadikan riwayat ahad sebagai hujjah dalam masalah ‘aqidah. Sebab, al-Quran adalah pokok dan sumber ‘aqidah kaum muslim.  Sementara itu, semua yang tertulis di dalam mushhaf Imam tidak diriwayatkan kecuali secara mutawatir.  Riwayat-riwayat ahad yang dianggap sebagai al-Quran sama sekali tidak ditulis, bahkan harus ditolak sebagai bagian dari al-Quran.

Pakar ‘ulumul Quran, al-Hafidz al-Suyuthiy dalam kitab al-Itqan fi ‘Uluum al-Quran menyatakan, “Tidak ada perbedaan pendapat, bahwa semua bagian dari al-Quran harus (wajib) mutawatir, baik dari sisi pokoknya, bagian-bagiannya, tempatnya,  topiknya dan  urut-urutannya. Kalangan pen-tahqiq ahlu sunnah juga berpendapat bahwa al-Quran harus diriwayatkan secara qath’iy (mutawatir).  Sebab, biasanya sesuatu yang menghasilkan kepastian harus mutawatir. Sebab, al-Quran adalah mukjizat agung yang menjadi pokok agama yang lurus (ashl al-diin al-qawiim). Ia juga sebagai shirath al-mustaqim (jalan yang lurus), baik pada aspek global, maupun terperincinya. Adapun, riwayat yang diriwayatkan secara ahad dan tidak mutawatir , maka secara qath’iy ia bukan merupakan bagian dari al-Quran. Sebagian besar kalangan ushuliyyin berpendapat bahwa mutawatir merupakan syarat penetapan  apakah riwayat tersebut termasuk al-Quran.(Al-Hafidz al-Suyuthiy, al-Itqaan fi ‘Uluum al-Quran, juz I, ed. III, 1951, Daar al-Fikr, hal.79.)

Sebagian besar ‘ulama ushul, sebagaimana pendapat al-Hafidz al-Suyuthiy berpendapat bahwa mutawatir merupakan syarat bagi itsbat (penetapan), apakah suatu riwayat dianggap sebagai bagian dari al-Quran atau tidak. Mereka berpendapat, bahwa riwayat-riwayat ahad yang dinyatakan sebagai al-Quran tidak boleh diyakini sebagai al-Quran secara pasti. Ini menunjukkan bahwa khabar ahad tidak boleh digunakan hujjah untuk menetapkan al-Quran. Al-Quran adalah pokok dari keyakinan kaum muslim. Mengingkari al-Quran, atau meyakini bahwa al-Quran telah mengalami penambahan ataupun pengurangan adalah keyakinan bathil yang harus dijauhi oleh orang-orang beriman. Walhasil, keterangan-keterangan ini telah membuktikan bahwa, hadits ahad tidak bisa digunakan sebagai hujjah dalam perkara ‘aqidah (keyakinan). Al-quran adalah pokok keimanan kaum muslim, dan ia harus ditetapkan dengan riwayat-riwayat yang mutawatir. Riwayat-riwayat ahad yang diklaim sebagai al-Quran harus ditolak sebagai bagian dari al-Quran.

Berikut ini kami ketengahkan riwayat-riwayat ahad yang dianggap al-Quran, akan tetapi tidak boleh diyakini sebagai al-Quran:
·      Bukhari dalam kitab Tarikhnya menyatakan sebuah riwayat dari Hudzaifah, ia berkata, artinya” Saya pernah membaca surat al-Ahzab pada masa Nabi Saw. dan tujuh puluh ayat daripadanya saya sudah lupa, dan saya tidak mendapatkannya di dalam al-Quran sekarang.’[Durr al-Mantsur, jilid 5, hal. 180.]
Riwayat ini adalah riwayat ahad. Seandainya riwayat ini bisa digunakan hujjah dalam masalah ‘aqidah, tentu kita harus meyakini juga bahwa surat al-Ahzab yang tertuang dalam mushhaf Imam, tidak lengkap. Sebab, ada 70 ayat dalam surat al-Ahzab yang telah hilang. Padahal, keyakinan semacam ini tentu akan berakibat fatal bagi kebersihan dan keotentikan al-Quran al-Karim sebagai kalamullah dan mukjizat terbesar dari Rasulullah Saw.. Meyakini riwayat ini sama artinya menuduh al-Quran telah mengalami tahrif (perubahan).
·      Riwayat semacam ini juga diketengahkan oleh Abu Ubaid di dalam al-Fadlaail dan Ibnu Mardawaih dari ‘Aisyah, ia menyatakan, “Pada masa Nabi Saw., surat al-Ahzab dibaca sebanyak dua ratus ayat. Akan tetapi, ketika ‘Utsman menulis mushhaf dia tidak bisa mendapatkannya kecuali sebagaimana yang ada sekarang ini.” [al-Itqan, jilid II, hal.25, lihat juga Duur al-Mantsur, jilid 5; hal.180]
Seandainya riwayat ahad ini harus diyakini, maka lebih dari separuh surat al-Ahzab telah hilang, tepatnya seratus dua puluh tujuh ayat telah hilang dari surat al-ahzab. Sebab, surat al-Ahzab yang ada di dalam Al-Quran hanya sampai tujuh puluh tiga ayat.    Walhasil, riwayat ini tidak boleh diyakini bahkan harus ditolak untuk dijadikan hujjah dalam masalah ‘aqidah. Seorang muslim dilarang sama sekali meyakini bahwa ada ayat Quran yang tidak terlembaga dalam mushhaf ‘Utsmaniy.
·      Imam al-Anbariy meriwayatkan dalam Mashahif dan al-Hasan, Ibnu Sirin, dan Zuhri dalam hadits panjang yang menceritakan tentang pengumpulan Al-Quran, di sana disebutkan, "Abu Bakar ra. memerintah seorang mu’adzin untuk mengumumkan kepada masyarakat, siapa saja yang memiliki sesuatu dari al-Quran agar mereka menyerahkannya. Hafshah salah seorang Ummul Mukminin berkata, "Jika kalian sampai pada ayat ini , beritahulah aku! (Hafidzu 'ala al-shalawaat wa al-shalaat al-wustha...).  Setelah sampai pada ayat tersebut, mereka menyampaikan kepada Hafshah. Hafshah berkata, "Tulislah, hafidzu...wa al-shalaat al-wustha, wa al-shalaat al-'ashr..". 'Umar ra. bertanya, "Apakah kamu punya saksi?"  Hafshah menjawab, "Tidak!". 'Umar berkata, "Demi Allah, kami tidak akan memasukkan apa yang disaksikan oleh seorang perempuan sedangkan ia tak punya bukti."
Riwayat Hafshah ini juga tidak boleh diyakini sebagai al-Quran.  Sebab, ia adalah khabar ahad. Padahal, riwayat-riwayat ahad tidak boleh diyakini sebagai bagian al-Quran. Sebab, jika riwayat ini diyakini sama artinya meyakini bahwa al-Quran telah mengalami pengurangan, karena tidak mencantumkan lafadz “al-‘ashr”.
·      Imam Malik meriwayatkan dalam al-Muwatha', dan Ibnu Dawud dalam Mashahif dari Ummul Mukminin 'Aisyah ra., ia berkata, "Telah turun ayat tentang 10 (kali isapan) susuan yang mengharamkan (menjadikan mahram), kemudian dihapus dengan 5 kali (isapan) susuan. Kemudian Rasulullah Saw. meninggal, sedangkan beliau menyatakan ia adalah al-Quran." Namun demikian, tak seorangpun shahabat yang memperhatikan riwayat  ini. Mereka tidak menulisnya di dalam Mushhaf.
·      Ibnu Abi Dawud meriwayatkan dalam Mashahif,  al-Haakim, dan selain keduanya dari Mushhaf-nya Ubay bin Ka'ab, ia menuturkan ayat tentang kifarah (denda) budak. Di dalam mushhaf-nya Ubay tersebut disebutkan, "fa shiyaam tsalaats ayaam mutatabi'aat fi kifaarat al-yamiin"[berpuasa tiga hari berturut-turut untuk kifarat al-yamin].”
Akan tetapi, riwayat ini juga tidak dicantumkan ke dalam mushhaf imam, sebab riwayat tersebut adalah khabar ahad.  Riwayat ini juga tidak boleh dianggap sebagai al-Quran. Sebab, seandainya ia harus diyakini, maka al-Quran yang terlembaga di dalam mushhaf ‘Utsmaniy tidak lagi otentik, alias telah mengalami pengurangan. Dalam masalah ini, Imam Syafi’iy menolak riwayat ini, sebab ia dinukil dengan jalan ahad [lihat al-Ihkam fi Ushul al-Ahkaam, al-Amidiy]
·      Imam Ahmad, Haakim dari Katsir bin Shalat, ia berkata, "Adalah Ibn al-'Ash dan Zaid bin Tsabit sedang menulis mushhaf. Lalu,  sampailah mereka kepada ayat ini, maka Zaid berkata, "Saya mendengar Rasulullah Saw. bersabda, "al-Syaikh wa syaikhaat idza zanaya [kakek dan nenek jika berzina].", 'Umar berkata, "Bukankah engkau tahu bahwa seorang kakek, jika ia tidak muhshon akan dijilid, sedangkan jika seorang pemuda berzina, dan ia muhshon, maka dirajam".
·      Dalam riwayat Muwatha' 'Umar berkata dalam khutbahnya, "Seandainya bukan karena orang-orang mengatakan bahwa 'Umar bin Khaththab telah menambah Kitabullah, sungguh aku akan menulisnya (ayat rajam), sungguh kami telah membacanya". 
Namun demikian, riwayat ini bukanlah al-Quran dan tidak boleh diyakini sebagai ayat yang dihapus (mansukh). Sebab, riwayat ini adalah khabar  ahad. Kita telah memahami bahwa khabar ahad tidak menghasilkan apapun kecuali hanya sekedar dzan saja. Al-Quran tidak ditetapkan kecuali dengan jalan kepastian (qath'iy), bukan dzan. Padahal, al-Quran adalah salah satu rukun dari rukun-rukun 'aqidah yang harus diimani baik yang global maupun yang rinci. Seandainya riwayat ini bisa digunakan hujjah dalam masalah keyakinan (‘aqidah) tentu kita harus meyakini bahwa mushhaf ‘Utsmaniy tidak lagi otentik. Sebab, mereka tidak melembagakan ayat rajam yang disampaikan oleh ‘Umar ra. di dalam mushhaf ‘Utsmaniy.
·      Ada pula riwayat yang dikeluarkan oleh Ahmad, al-Bazari, Thabarani, Ibnu Mardawaih dengan jalan shahih dari Ibnu 'Abbas dan Ibnu Mas'ud, bahwa Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas tidak memasukkan al-Mu'awidzatain (surat al-Falaq dan al-Naas) dari mushhaf-nya. Keduanya menyatakan bahwa al-Quran tidak tercampur dengan sesuatu yang bukan dari Kitabullah. Menurut kedua shahabat itu, al-mu’awidzatain bukan termasuk al-Quran, namun hanya perintah Allah kepada Nabi Saw. untuk berlindung dengan keduanya”.
·      Imam Fakhr al-Raziy menuturkan, bahwa sebagian kitab-kitab terdahulu telah menyebutkan bahwa Ibnu Mas’ud telah mengingkari surat al-Fatihah dan al-Mu’awidzatain sebagai bagian dari al-Quran. (al-Hafidz al-Suyuthiy, al-Itqaan fi ‘Uluum al-Quran, hal.79)
Imam Nawawiy dalam Syarh al-Muhadzdzab menyatakan: Seluruh kaum muslim telah bersepakat bahwa, al-Mu’awidzatain dan al-Fatihah merupakan bagian dari al-Quran. Siapa saja yang mengingkari keduanya [sebagai bagian dari al-Quran] telah terjatuh dalam kekafiran. Sedangkan riwayat yang dinukil dari Ibnu Mas’ud adalah bathil, dan sama sekali tidak shahih.
Al-Bazariy menyatakan, "Tidak ada seorangpun dari kalangan shahabat yang mengikuti Ibnu Mas'ud. Telah disahkan dari Nabi Saw., bahwa beliau Saw. membaca keduanya dalam sholat, dan mu'awidzatain ditetapkan dalam mushhaf. Walhasil, para shahabat ra. menolak khabar dari shahabat Ibnu Mas'ud ra., karena ia adalah khabar ahad yang tidak  sampai kepada derajat mutawatir dan qath'iy.
Ibnu Hazm di dalam kitabnya al-Qadh al-Ma’aliy Tatmiim al-Majaliy, berkata, “Riwayat ini merupakan pendustaan atas nama Ibnu Mas’ud.” [al-Hafidz al-Suyuthiy, al-Itqaan fi ‘Uluum al-Quran, hal.79]
Ibnu Hajar dalam Syarh al-Bukhari menyatakan: “Telah dishahihkan dari Ibnu Mas’ud bahwa ia telah mengingkari al-Mu’awidzatain.” Riwayat senada juga dituturkan oleh Imam Ahmad dan Ibnu Hibban, bahwa Ibnu Mas’ud tidak menulis al-Mu’awidzatain di dalam mushhaf-nya. [Al-Hafidz al-Suyuthiy, Al-Itqaan fi ‘Uluum al-Quran, hal.79]
Lalu, apakah berdasarkan riwayat ahad ini, anda akan menarik kesimpulan bahwa al-Mu’awidzatain bukanlah bagian dari al-Quran? Seandainya anda menyatakan, bahwa riwayat Ibnu Mas’ud ini harus diyakini, tentunya al-Quran telah mengalami tahrif (perubahan). Seandainya kita menyatakan, bahwa hadits ahad yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud ini tidak boleh diyakini, maka anda telah menyelamatkan al-Quran dari adanya tahrif.

Seluruh riwayat di atas telah menunjukkan kepada kita bahwa, riwayat ahad tidak boleh digunakan hujjah untuk membangun pokok keimanan.  Perilaku para shahabat untuk tidak melembagakan riwayat-riwayat ahad yang diklaim sebagai al-Quran merupakan bukti nyata, bahwa khabar ahad tidak boleh dijadikan hujjah dalam perkara ‘aqidah.

2.  Para shahabat telah mensyaratkan jumlah tertentu pada saat melembagakan al-Quran di dalam mushhaf  Imam.

Kami juga akan memaparkan riwayat-riwayat yang menyatakan, bahwa tatkala mengumpulkan al-Quran al-Karim pada masa Abu Bakar ra., para shahabat telah mensyaratkan jumlah tertentu, hingga riwayat mereka dianggap sebagai al-Quran.

·      Ibnu Abi Dawud dalam Mashahif dari Abu Bakr, meriwayatkan, “Sesungguhnya Abu Bakar memerintahkan kepada 'Umar dan Zaid ra. agar keduanya duduk di pintu masjid, dan memerintahkan keduanya agar siapapun yang membawa sesuatu dari al-Quran dengan membawa dua orang saksi, maka keduanya harus mencatatnya”.

·      Dari jalan Ibnu Sa'ad, ia berkata,” Keduanya duduk di pintu masjid, dan tak seorangpun yang membawa sesuatu dari Al-Quran yang disaksikan oleh dua orang, kecuali akan ditulis dan tidak akan diingkari oleh keduanya”.

·      Menurut Ibnu Abu Dawud dalam Mashahif dari Yahya bin 'Abd al-Rahman bin Haatib berkata, 'Umar berkata, "Siapa saja yang menyimpan sesuatu –al-Quran-- dari Rasulullah, maka serahkanlah. Sedangkan para shahabat menulis ayat-ayat Quran dalam shuhuf, batu tulis, tulang.  ‘Umar ra. tidak menerima apapun dari seseorang, sampai orang tersebut menghadirkan dua orang saksi”.

·      Dari jalan Ibn Sa'ad dan Ibn Abi Dawud dan Ahmad bin Hanbal dan selainnya, dari Khuzaimah bin Tsabit berkata, "Saya menyampaikan ayat (laqad jaa`akum) kepada 'Umar ra. dan Zaid bin Tsabit.  Zaid bertanya, siapakah orang yang menyaksikan bersamamu.. Saya menjawab, "Demi Allah saya tidak tahu!"  'Umar berkata, "Saya menyaksikan hal itu bersamamu".

·      Ibnu Jarir, Ibnu Mundzir dan selainnya meriwayatkan dari 'Ubaid bin 'Umair, bahwa ia  berkata, "Umar tidak menerima satu ayat dari Kitabullah sampai ada dua orang saksi yang menyaksikan".

·      Dalam shahih Bukhari dan Ibnu Abi Dawud dan selain keduanya dari Zaid bin Tsabit berkata, "Ketika kami menulis Mushhaf, saya kehilangan sebuah ayat dari kitabullah, di mana aku pernah mendengarnya dari Rasulullah Saw., dan aku menemukannya pada Khuzaimah bin Tsabit "Minal mukminiin rijaalun.. ", sedangkan Khuzaimah memiliki dua orang saksi. Rasulullah Saw. membolehkan persaksian dengan saksi dua orang".

Riwayat-riwayat di atas menunjukkan, bahwa para shahabat telah menetapkan syarat-syarat tertentu tatkala melembagakan al-Quran dalam mushhaf ‘Utsmaniy.  Seandainya, khabar ahad bisa dijadikan hujjah dalam pelembagaan al-Quran, tentu para shahabat tidak perlu mensyaratkan dua orang saksi. Jikalau berita satu orang bisa digunakan sandaran untuk menetapkan pokok ‘aqidah (al-Quran) tentu para shahabat tidak perlu lagi mensyaratkan dua orang saksi. Akan tetapi, para shahabat menolak untuk melembagakan khabar yang diklaim sebagai al-Quran jika tidak mendatangkan dua orang saksi dan mendatangkan bukti otentik lainnya.

Perhatikan riwayat berikut ini:

·      Dalam shahih Bukhari, Zaid berkata, "Saya kehilangan satu ayat dari surat al-Ahzab, kemudian aku mendapatkannya pada Khuzaimah, karena ia menyimpannya. Seandainya tidak, tentu hilanglah ayat tersebut.  Kemudian ayat tersebut ditulis.

·      Dalam riwayat Ibnu Abi Dawud dari 'Umar, ia berkata, "Barangsiapa mendapatkan dari Rasulullah sesuatu dari al-Quran, maka serahkanlah”. Perawi berkata, "Mereka menulis dalam shuhuf, batu, dan tulang".

Riwayat di atas menunjukkan dengan pasti, bahwa para shahabat ra. tidak mencantumkan satupun ayat dalam mushhaf kecuali bisa dipastikan bahwa ayat tersebut adalah al-Quran yang diturunkan kepada Rasulullah Saw.

·      Imam al-Anbariy meriwayatkan dalam Mashahif dan al-Hasan, Ibnu Sirin, dan Zuhri dalam hadits panjang yang menceritakan tentang pengumpulan Al-Quran, di sana disebutkan, "Abu Bakar ra. memerintah seorang mu’adzin untuk mengumumkan kepada masyarakat, siapa saja yang memiliki sesuatu dari al-Quran agar mereka menyerahkannya. Hafshah salah seorang Ummul Mukminin berkata, "Jika kalian sampai pada ayat ini , beritahulah aku! (Hafidzu 'ala al-shalawaat wa al-shalaat al-wustha...).  Setelah sampai pada ayat tersebut, mereka menyampaikan kepada Hafshah. Hafshah berkata, "Tulislah, hafidzu...wa al-shalaat al-wustha, wa al-shalaat al-'ashr..". 'Umar ra. bertanya, "Apakah kamu punya saksi?" Hafshah menjawab, "Tidak!". 'Umar berkata, "Demi Allah, kami tidak akan memasukkan apa yang disaksikan oleh seorang perempuan sedangkan ia tak punya bukti."

Berdasarkan riwayat ini, kita tidak mungkin lagi menyatakan bolehnya membangun pokok keimanan dengan khabar ahad.  Riwayat di atas telah menunjukkan, bahwa ‘Umar telah menolak khabar yang disampaikan oleh Hafshah.  Sebab, Hafshah tidak memiliki saksi. Seandainya khabar ahad bisa diterima untuk menetapkan al-Quran tentu ‘Umar ra. akan menulis khabar Hafshah di dalam mushhaf.

3.  Argumentasi ‘Aqliyyah 

Secara ‘aqliy, ketika anda menyaksikan suatu peristiwa secara langsung, dan terlibat di dalamnya, anda pasti akan meyakini kebenaran peristiwa yang anda saksikan tersebut.  Sebab, peristiwa tersebut meyakinkan dari sisi anda. Namun, ketika anda menyampaikan peristiwa itu kepada orang yang tidak menyaksikannya secara langsung, tentu orang itu tidak langsung mempercayai ucapan anda, meskipun anda sangat meyakini peristiwa itu. Peristiwa tersebut hanya meyakinkan dari sisi anda, namun tidak bagi orang yang tidak menyaksikan peristiwa itu secara langsung. Di sinilah pentingnya itsbat (penetapan) terhadap apa yang anda sampaikan, apakah berita yang anda sampaikan itu  benar-benar meyakinkan atau tidak.

Hal ini tidak ubahnya dengan kesaksian yang diberikan seorang saksi kepada seorang qadliy. Seorang saksi harus membangun kesaksiannya dengan bukti-bukti yang meyakinkan. Ia tidak boleh bersaksi, kecuali jika ia menyaksikan kejadiannya secara langsung, meyakinkan dan pasti. Sebab Rasulullah Saw. bersabda,
"Jika kalian melihatnya seperti kalian melihat matahari, maka bersaksilah. (Namun) jika tidak, maka tinggalkanlah". (Lihat pada Ahmad al-Da’ur, al-Ahkaam al-Bayyinaat, hal.6, 1965, tanpa penerbit)

Namun demikian, apa yang disaksikan oleh seorang saksi hanya meyakinkan dari sisi saksi saja, tidak bagi qadliy. Ketika qadli menerima kesaksian seorang saksi, tidak secara otomatis “kesaksian itu” meyakinkan dari sisi qadliy --meskipun, kesaksian itu meyakinkan dari sisi saksi. Bahkan, seorang qadliy tidak harus menjatuhkan vonis berdasarkan kesaksian seorang saksi. Perhatikan riwayat berikut ini, dari Ummu Salamah, Nabi Saw. bersabda:

"Sesungguhnya aku ini adalah manusia biasa, dan kalian telah membawa masalah-masalah yang kalian perselisihkan kepadaku. Ada di antara kalian yang hujjahnya sangat memukau daripada yang lain, sehingga aku putuskan sesuai dengan apa yang aku dengar. Oleh karena itu, siapa saja yang aku putuskan, sementara ada hak bagi saudaranya yang lain, maka janganlah kalian mengambilnya. Sesungguhnya, apa yang aku putuskan bagi dirinya itu merupakan bagian dari api neraka" (Hadits Riwayat Mutafaq ‘Alaih).

Nash ini menunjukkan, bahwa Rasulullah Saw. memutuskan perkara berdasarkan prasangkanya. Kesaksian yang diberikan oleh  saksi hanya meyakinkan dari sisi saksi, tidak bagi qadliy. Buktinya, Rasulullah Saw. menyatakan kemungkinan adanya vonis yang salah.   Seandainya, berita yang disampaikan seorang saksi juga meyakinkan dari sisi qadliy, tentu Rasulullah Saw. tidak akan menyatakan kemungkinan adanya kesalahan dalam hal vonis.

Bahkan, Rasulullah Saw. telah menyatakan dengan jelas, bahwa seorang hakim itu memutuskan sesuatu berdasarkan dzan, bukan sekadar dengan keterangan yang disampaikan  oleh seorang saksi.

Dari ‘Amru bin al-‘Ash, beliau mendengar Rasulullah Saw. bersabda: Jika seorang hakim memutuskan suatu perkara, lantas ia berijtihad dan ijtihadnya benar, maka ia mendapat dua pahala. Namun, jika seorang hakim hendak memutuskan suatu perkara, kemudian ia berijtihad, dan ijtihadnya salah, maka ia mendapat satu pahala.

Kenyataan seperti ini, sama persis dengan si anu yang menyampaikan sebuah khabar kepada si fulan.  Meskipun khabar itu meyakinkan dari sisi si anu, namun dari sisi si fulan, khabar itu tidaklah meyakinkan. Oleh karena itu, si fulan bisa menolak, atau menerima berita dari si anu.

Namun demikian, jika berita itu telah masyhur dan meyakinkan, maka dengan sendirinya, siapapun yang menyampaikan berita itu, wajib kita yakini. Secara ‘aqliy khabar yang disampaikan seseorang atau lebih yang tidak mengantarkan kepada keyakinan, hanya akan menghasilkan dzan belaka, tidak meyakinkan.

Seluruh keterangan di atas menunjukkan bahwa akal bisa menetapkan bahwa berita yang disampaikan secara ahad tidak menghasilkan apa-apa kecuali sekedar dzan belaka. 

Dari Buku: MELURUSKAN AQIDAH KITA HADITS AHAD TIDAK BOLEH DIJADIKAN HUJJAH DALAM PERKARA AQIDAH ; Syamsuddin Ramadlan

Argumentasi Kokoh: Hadits Ahad Tidak Absah Digunakan Dalil Dalam Perkara ‘Aqidah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Download BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam