17. Oleh
karena itu, AS sang imperialis itu
mengulangi kepentingan strategis saudara mereka, yakni Inggris, di abad
ke-19, karena seperti halnya Inggris, AS pun berusaha keras mempertahankan
kepemimpinan mereka di dunia dan kontrol atas wilayah Timur Tengah merupakan
titik sentral yang amat vital untuk mencapai tujuan tersebut. Sejak pemerintah
Inggris menyadari bahwasanya kontrol atas minyak merupakan ‘nilai yang vital
bagi setiap kekuatan yang ingin memiliki pengaruh atau dominasi atas dunia’
[‘Introductory Paper on the Middle East’, FRUS, 1947, Vol. V, hal. 569],
Menteri Luar Negeri Inggris, Selwyn Lloyd pada tahun 1956 menulis, ‘Kita
harus mempertahankan kontrol atas minyak ini apapun risikonya’ [Pesan dari
Menteri Luar Negeri Inggris Lloyd untuk Menteri Luar Negeri AS Dulles, 23
Januari 1956, FRUS, 1955-1957, Vol. XIII, hal. 323]. AS tidak terlalu jauh
tertinggal dalam menyadari pentingnya hal ini –pada tahun 1953 Dewan Keamanan
Nasional mengatakan, ‘Kebijakan Amerika Serikat adalah mempertahankan sumber
minyak di Timur Tengah agar tetap berada di tangan Amerika’ [Mohammad
Haekal., ‘Cutting the Lions Tail; Suez Through Egyptian Eyes’., 1986, hal. 38]
dan pada tahun 1945 Departemen Luar Negeri AS menyatakan, ‘Sumber-sumber
(minyak) itu menjadi sumber kekuatan strategis yang sangat menakjubkan, dan
merupakan salah satu materi paling bernilai dalam sejarah dunia… barangkali
nilai ekonomis tertinggi di dunia dalam bidang investasi luar negeri’
[Sejarah Departemen Luar Negeri AS, 1945, Vol. 8, hal. 45]. Karena itulah, AS
mencoba mempertahankan kepemimpinannya di dunia dengan cara mengamankan kontrol
atas kekayaan minyak wilayah Teluk, dengan maksud ‘mencegah munculnya musuh
dalam wujud hegemoni atau koalisi regional’ [Conetta dan Knight,
‘Military Strategy Under Review, Foreign Policy in Focus’, Vol. IV No. 3,
Januari 1999], sebagaimana digambarkan dalam Quadrennial Defence Review yang
diserahkan oleh mantan Menteri Pertahanan, William Cohen, kepada Kongres AS
pada bulan Mei 1997. Paul Wolfowitz juga merefleksikan ambisi AS mendominasi
dunia dalam dokumen rencana yang mengatakan bahwa AS harus ‘mempertahankan
mekanisme untuk bahkan menghambat ambisi pesaing potensial untuk mendapat peran
regional atau global yang lebih besar’ [Max Boot, ‘Doctrine of the Big
Enchilada’, Washington Post, 14 Oktober 2002].
18. Dengan
sendirinya, hal ini membuat AS terlibat
konflik dengan negara-negara kolonialis lain dan telah mencapai puncaknya
di PBB. AS, dengan unilateralismenya, telah mendesak Presiden Perancis, Chirac,
untuk memberikan peringatan dini akan bahaya yang akan timbul, ketika Chirac
mengatakan, ‘Hal ini juga mempertaruhkan masa depan hubungan internasional’
[‘UN only legitimate framework for action on Iraq’, Egyptian Gazette, 18
Oktober 2002]. Namun sejak PD II, secara diam-diam AS berupaya melikuidasi
pengaruh Eropa dan Inggris di Timur Tengah, dan inilah hal yang paling ditakuti
Chirac. Pada tahun 1947, AS mengumumkan berakhirnya kekuasaan Inggris di Timur
Tengah kepada Kedutaan Besar Inggris di Washington. Miles Copeland menulis, ‘Dua
pesan itu merupakan pemberitahuan resmi bahwa masanya Pax Britannica, yang
telah memegang kekuasaan di berbagai belahan dunia selama lebih dari satu abad,
sudah berakhir’ [Miles Copeland., ‘The Game of Nations’., 1989, hal. 145]. Inilah
awal pertentangan sengit Anglo-Amerika di Timur Tengah yang memuncak dengan
adanya permainan kudeta
dan kudeta balasan. Di Mesir, AS menggusur rezim boneka Inggris Raja
Farouk, dan dengan santainya Miles Copeland menceritakan masalah tersebut, ‘CIA
melihat adanya sebuah kesempatan. Kami memutuskan kontak resmi dengan SIS
Inggris’, selanjutnya ia kisahkan, ‘Sehingga pada tanggal 23 Juli 1952,
kudeta terjadi secara mendadak tanpa menemui rintangan, dengan dipimpin oleh
Jenderal Mohammed Naguib. Selama enam bulan berikutnya, kontak dengan Nasser,
Revolutionary Command Council (RCC=Dewan Komando Revolusioner)-nya Nasser, dan
para pejabat sipil dilakukan hanya ‘secara langsung’ di kedutaan kami, termasuk
sang duta besar Caffery sendiri’ [Miles Copeland., ‘The Game of Nations’.,
1989, hal. 145].
19. Dengan
demikian krisis Irak yang terjadi
sekarang ini merupakan kelanjutan pertentangan di antara kekuatan-kekuatan
Barat. Di awal abad
ke-20, negara-negara Eropa meributkan masalah pembagian tanah Khilafah di
antara mereka, dan seabad kemudian mereka mempersoalkan pembagian sumber-sumber
kekayaan kawasan Teluk di antara mereka, sementara AS senantiasa mencoba
mendapat porsi terbesar. Pakar Rusia dari Carnegie Endowment Institute,
Michael McFaul, mengatakan, ‘Presiden Rusia, Putin, dan pemerintahannya
percaya bahwa AS akan terus maju dengan atau tanpa Rusia, sehingga Rusia
mencoba…mengambil apa yang mereka bisa ambil dari Amerika’. Sementara Paul
Sanders, Direktur Institut Nixon, mengatakan, ‘Minyak merupakan hal yang
paling utama… ada ketakutan di Rusia bahwa bilamana AS mengganti rezim di Irak,
maka semua kontrak minyak akan beralih ke AS sehingga Rusia akan ditinggalkan’
[Eric Boehlert, ‘At the UN its all about the Money’, 14 Oktober 2002]. Dalam
konteks ini kita bisa melihat negara-negara Barat saling bersaing memperoleh kekuasaan, saling
berebut untuk mengamankan kepentingan minyak mereka di Irak, sebuah perebutan
yang mengingatkan kita terhadap kolonialisasi Eropa atas Afrika pada abad 19.
Kebijakan AS adalah mencoba melemahkan berbagai pengaruh dan kontrol Eropa di
Irak, sebagaimana dikatakan Michael O’Hanlon dari Brookings Institute kepada
The House Armed Services Committee, ‘Wilayah yang ditempati Irak merupakan
daerah yang sangat kritis bagi kepentingan AS sehingga kita tidak bisa masuk
begitu saja, menggulingkan Saddam, dan membiarkan orang lain membersihkannya…
Irak, tidak seperti Afghanistan, terletak di jantung Arab, sebuah wilayah yang
stabilitasnya sangat penting bagi kepentingan AS’ [Michael O’Hanlon,
Anggota Senior, Brooking, Kesaksian di hadapan Komite Angkatan Bersenjata DPR
AS, 2 Oktober 2002]. Karenanya, perubahan rezim di Irak merupakan upaya merealisasikan cita-cita AS
dalam ‘membentuk lingkungan’ Timur Tengah menurut sudut pandangnya
sendiri [Carl Conetta dan Charles Knight, ‘Military Strategy Under
Review’, Foreign Policy in Focus Vol. IV No. 3, Januari 1999]. Perubahan rezim
bahkan akan memecah wilayah Irak menjadi beberapa bagian, sesuatu yang telah AS
upayakan sejak akhir Perang Teluk tahun 1991, namun selalu gagal. Pada bulan
September 1998, di hadapan The House National Security Committee, Deputi
Menteri Pertahanan, Paul Wolfowitz, menguraikan tipu muslihat Amerika dalam
melakukan kontrol atas Irak, ‘Membangun zona aman yang terlindungi di bagian
Selatan, di mana pihak oposisi Saddam bisa berkumpul dan mengorganisir, akan
memungkinkan… pemerintahan sementara mengontrol ladang minyak terbesar di Irak
dan membuka ketersediaan minyak, di bawah pengawasan internasional,
sumber-sumber keuangan yang luar biasa besarnya untuk tujuan politis,
kemanusiaan dan akhirnya, tujuan militer’ [Pernyataan Paul Wolfowitz
perihal Kebijakan AS terhadap Irak, 18 September 1998]. Dukungan Donald
Rumsfeld dan Paul Wolfowitz terhadap sepucuk surat yang disponsori oleh The
Project for a New American Century lebih jauh lagi membuktikan kebijakan AS, ‘menyerukan
pendirian pemerintahan sementara dan berdaulat di wilayah Utara dan Selatan
Irak yang tidak berada di bawah kontrol Saddam… pasukan militer AS dan sekutu
harus dipersiapkan untuk mendukung pihak oposisi Irak dan bersiap-siap… untuk
membantu menggusur Saddam dari tampuk kekuasaan’ [‘Memorandum to Opinion
Leaders’ from Tom Donnelly, Deputy Executive Director of the Project for the
New American Century, 6 Juli 2001].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar