Persaingan Imperialis
13. Dari
paparan di atas, terlihat bahwa penjajahan
dan kekejaman merupakan ciri abadi peradaban Barat, dan masalah-masalah di
Timur Tengah telah diperburuk selama berabad-abad dengan persaingan Barat yang
mencapai puncaknya pada Perang Dunia I dan II. Apa yang kita lihat sekarang ini
adalah sama dengan ketika Napoleon mencoba melemahkan kekuatan Inggris dengan
menyerang Mesir pada tahun 1798. Doktrin sekular telah menggerakkan ‘dunia
bebas’ untuk memaksakan fundamentalisme imperial mereka kepada rakyat Timur
Tengah, sebagai bagian upaya negara-negara Barat dalam mencari pengaruh dan
dominasi dunia. Serangan politis terhadap dunia Islam yang dimulai pada abad
ke-18 terus berlangsung hingga abad ke-21 ini. Joseph Chamberlain mengatakan
ambisi negara pada abad ke-9 sebagai upaya ‘membentuk sebuah imperium’ [Ronald
Hyam., ‘Britain’s Imperial Century 1815 to 1914’., 1976, hal. 2]. Kata-kata
inilah yang mengilhami ambisi Perdana Menteri Blair ‘untuk mengembalikan
kekuatan kita agar bisa sejajar dengan kekuatan besar lain’ dan ‘untuk
meraih kepentingan Inggris dengan sungguh-sungguh, terus-menerus, dan mantap’
[Mark Curtis, ‘The Great Deception Anglo-American Power and World Order’].
14. Pada
abad ke-19, Inggris terobsesi dengan kemunduran Khilafah Utsmaniyah dan
bagaimana hal tersebut akan berdampak terhadap pengaruh Inggris dan
keseimbangan kekuatan internasional. Lord Palmerston mengatakan, ‘kepentingan
Inggris meliputi seluruh dunia’ [Ronald Hyam, ‘Britain’s Imperial Century
1825-1914; A Study of Empire and Expansion’, 1976, hal. 3] dan kepentingan
inilah yang coba dilindungi dari ambisi Perancis dan Rusia, yang berada dalam
keadaan terkepung setelah runtuhnya Khilafah Utsmaniyah. Oleh karena itu, para
negarawan imperialis memperdebatkan apakah mereka harus mereformasi Khilafah di
Eropa agar menjadi protektorat Eropa atau membagi-bagi ke-Khilafahan secara
damai di antara negara-negara Barat. Sebelum menjadi Menteri Luar Negeri pada
tahun 1878, Lord Salisbury mengatakan, ‘… memelihara kepentingan Inggris
dengan mempertahankan Khilafah Utsmaniyah adalah hal yang tidak praktis dan
saya pikir sekarang adalah saatnya untuk mempertahankan kepentingan Inggris
secara langsung dengan beberapa pengaturan wilayah. Saya khawatir, ketika kita
mencapai kesepakatan beberapa tahun kemudian, maka satu dari dua hal akan
terjadi. Entah apakah Perancis akan memulihkan kembali posisinya dan merasa iri
akan perluasan kekuatan kita di Mediterania, atau Jerman akan menjadi kekuatan
di lautan. Kemungkinan-kemungkinan ini akan menyulitkan kita dalam menyiapkan
basis, kalau-kalau kita kehilangan Konstatinopel’ [Elie Koudrie., ‘England and the Middle East; the
Destruction of the Ottoman Empire 1914-1921’., hal. 21].
15. Dalam
perjalanan sejarahnya, Amerika Serikat juga menghadapi tantangan yang sama
dalam kepemimpinan globalnya mengingat AS pun menghadapi masalah kevakuman
politis yang disebabkan oleh runtuhnya kekuatan adidaya. Abad 19 merupakan abad
keruntuhan Khilafah Utsmaniyah yang sangat berpengaruh terhadap perimbangan
kekuatan internasional dan kepentingan Inggris. Sedangkan akhir abad 20
merupakan keruntuhan negara Uni Soviet, yang menciptakan rekonfigurasi konteks
geopolitis, yang gelombangnya masih terasa hingga abad 21. Hal itu telah
menyita perhatian pemerintahan AS. Mantan Menteri Luar Negeri, Warren
Christopher, menyatakan, ‘sebagai satu-satunya negara adidaya yang tersisa,
kita memiliki kesempatan yang belum pernah kami peroleh sebelumnya, yaitu
membentuk dunia sesuai yang kita inginkan’ [Mark Curtis., ‘The Great
Deception Anglo-American Power and World Order’., 1998, hal. 35], dan setelah
peristiwa 11 September, Amerika mencoba
mengeksploitasi kesempatan yang terbuka lebar untuk menata ulang Timur Tengah.
Sebuah laporan dari Presidential Study Group memperlihatkan perdebatan di
kalangan negarawan AS di abad 21. Laporan yang diberi judul ‘Navigating
through Turbulence; America and the Middle East in a New Century’ itu
menggambarkan tantangan strategis pasca era perang dingin. ‘Pada tanggal 20
Januari 2001, presiden baru akan menempati kantor selagi di Timur Tengah
situasi makin membahayakan. Selagi beberapa negara di wilayah Teluk masih
mencari bentuk hubungan politis dan militer dengan Amerika Serikat, hubungan
Arab-Israel berada dalam kondisi kritis, keradikalan wilayah Teluk muncul
kembali, dan kondisi rakyat di dunia Arab yang mengkritisi kebijakan AS. Secara
keseluruhan, situasi strategis Amerika di Teluk lebih banyak tantangannya
ketimbang peluangnya’ [Presidential Study Group, ‘Navigating Through
Turbulence; America & the Middle East in a New Century’, Washington
Institute for Near East Affairs, 12 Desember 2000, hal. 7].
16. Puncak
pengkajian ulang kebijakan luar negeri AS tertera dalam Strategi Keamanan Nasional
(National Security Strategy-NSS) yang diterbitkan pada bulan September
2002. Max Boot, seorang jurnalis dan penulis ‘the Savage Wars of Peace;
Small Wars & the Rise of American Power’, menggambarkannya sebagai ‘pernyataan kebijakan luar negeri
AS yang signifikan sejak NSC 68, naskah tahun 1958 yang menyusun doktrin
penahanan’ [Max Boot, ‘Doctrine of the Big Enchilada’, Washington Post, 14
Oktober 2002] karena NSS menetapkanan prinsip-prinsip bagi pandangan dunia baru
di era pasca Perang Dingin. Dapat dikatakan bahwa Presiden Bush menapaki jalan
yang dulu pernah ditempuh para pendahulunya yang selalu membuat perubahan
kebijakan luar negeri Amerika Serikat. Dimulai dengan doktrin Truman, diikuti
doktrin Eisenhower, dan sekarang Presiden Bush memiliki doktrinnya sendiri bagi
kebijakan luar negeri AS. Dalam State of the Union pada bulan Januari 2002, ia
menyebutkan tiga prinsip kunci doktrin Bush. Prinsip pertama menekankan pada
upaya mempertahankan kepemimpinan AS di dunia; strategi Bush menyatakan, ‘pasukan
kami cukup kuat untuk menghadapi lawan yang berpotensi mencapai pengembangan
militer dengan harapan bisa melebihi atau minimal menyamai kekuatan Amerika
Serikat’ [Max Boot, ‘Doctrine of the Big Enchilada’, Washington Post, 14
Oktober 2002]. Kedua, AS akan melakukan pre-emptive attack terhadap
ancaman-ancaman potensial; Presiden Bush mengatakan bahwa ‘musuh Amerika
memandang seluruh dunia sebagai medan pertempuran’ dan bersumpah akan ‘memburu
mereka di manapun mereka berada’ [Schimtt and Donelly, ‘The Bush Doctrine’,
30 Januari 2002]. William Kristol, mantan Kepala Staf Gedung Putih untuk Wakil
Presiden menjelaskan, ‘Pada tahun 1947, Harry Truman membalikkan kebijakan
pasca Perang Dunia II mengenai penarikan diri dari Eropa, dan menggiring AS
untuk menghambat dan menantang Uni Soviet. Pada tahun 1981, Ronald Reagan
membalikkan kebijakan pengurangan tegangan antar negara (detenta) yang gagal
dan bertekad untuk menumbangkan komunisme. Pada Selasa malam, George W. Bush
mengakhiri dekade yang penuh sikap malu-malu serta saling menunggu dan
berkomitmen menghilangkan ancaman tirani musuh yang mengembangkan senjata
pemusnah massal. Ini sama dengan apa yang dilakukan Truman dan Reagan. Ini
tidak akan mudah sekaligus menyakitkan. Tapi inilah harga bagi sebuah negara
besar’ [William Kristol, Taking the War Beyond Terrorism, Washington Post,
31 Januari 2002]. Akhirnya, sama seperti semua ideolog terdahulu, perjuangan
terkenal untuk mempromosikan prinsip demokrasi liberal disebarluaskan. Para
pemikir pada Project for the New American Century mengatakan, ‘Doktrin Bush
sangat terkenal dan berbeda. Ini bukan multilateralismenya Clinton; sang
presiden tidak memohon kepada PBB, menyatakan kepercayaan terhadap (perjanjian)
pengendalian senjata, atau menumbuhkan harapan untuk ‘proses perdamaian’. Ini
pun bukan realisme perimbangan kekuatan yang diusung sang ayah, Bush senior.
Ini lebih merupakan penegasan kembali
bahwa keberlangsungan keamanan dan perdamaian hanya bisa dimenangkan dan
dipertahankan dengan cara memaksakan kekuatan militer AS dan prinsip politik
Amerika’.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar