Konsep Kecantikan Menurut Masyarakat
Kapitalisme
BAB I
MEMPERCANTIK DIRI; ANTARA PILIHAN ATAU KEWAJIBAN?
Perempuan-perempuan
Barat selalu membanggakan konsep yang mereka yakini, yaitu bahwa upaya
mempercantik diri merupakan suatu pilihan. Artinya, seorang wanita bebas
menentukan citra dan penampilan mereka sesuai keinginannya sendiri. Namun
demikian, ternyata kenyataan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat jauh dari
pandangan yang naïf ini.
Konsep tentang Kecantikan
Masyarakat
kapitalis Barat yang menjadi lingkungan tempat hidup perempuan itu telah
menentukan standar ukuran “wanita cantik”. Menurut mereka, wanita cantik itu
adalah perempuan yang tinggi, ramping, berkulit putih, berambut pirang, dan
sensual. Inilah citra yang mau tak mau harus dihadapi kaum perempuan Barat
setiap hari sepanjang hidupnya. Ini adalah konsep tentang kecantikan yang diagung-agungkan
oleh ribuan majalah kecantikan, fesyen, dan gaya hidup, yang dijual di
sepanjang jalan-jalan di kota London, Paris, Roma, New York, dan Los Angeles,
seperti majalah Vogue, Cosmopolitan, dan Marie Clare. Ini adalah juga konsep
kecantikan yang dibesar-besarkan oleh perusahaan-perusahaan alat kecantikan dan
kosmetik berkapitalisasi miliaran dollar. Ini juga yang menjadi ukuran
kecantikan, yang disajikan ke tengah-tengah masyarakat melalui model-model yang
dimanfaatkan oleh berbagai industri periklanan serta menjadi figur-figur yang
dipuja-puja dalam industri hiburan.
Konsep
tentang bentuk tubuh dan penampilan yang “sempurna” ini membombardir
rumah-rumah ribuan kali sehari dalam wujud para model, seperti Claudia
Schiffer, Cindy Crawford, Naomi Campbell, atau selebritis lain seperti Britney
Spears, Jennifer Aniston, Holly Valance, atau Victoria Beckham. Mereka menjadi
standar yang diinginkan oleh kaum perempuan. Penayangan konsep kecantikan
seperti ini bahkan telah dimulai sejak usia muda, melalui majalah-majalah
“remaja” seperti Just 17, Cosmo Girl, atau Sugar, yang membicarakan segala
sesuatu mulai dari tips-tips kecantikan sampai bentuk gaya hidup “kaya dan
terkenal”. Karakter fiktif seperti Buffy the Vampire Slayer, atau Miss Dynamite
pun dijadikan idola.
Dengan arus
yang sedemikian kuatnya pengaruh konsep kecantikan seperti itu di tengah-tengah
masyarakat, maka perempuan-perempuan yang hidup di Barat merasakan tekanan yang
terus menerus, yang memaksa mereka untuk memenuhi harapan-harapan itu. Kalaupun
bukan untuk kepentingan perempuan itu sendiri, maka penampilan atraktif itu
ditujukan untuk memenuhi harapan-harapan kaum lelaki yang juga tidak bisa lepas
dari citra seperti itu. Kaum lelaki juga terpengaruh dengan konsep tentang
kecantikan yang “dipaksakan” kepada mereka.
Kondisi
semacam ini semakin tampak jelas dengan adanya fakta bahwa perempuan-perempuan
Barat semakin terobsesi dan termakan isu mengenai penampilan fisik mereka.
Perhatian mereka pada masalah kecantikan sedemikian besar, bahkan tidak jarang
melebihi perhatian mereka terhadap masalah-masalah kehidupan lainnya. Industri
kosmetik di Inggris saja mampu meraup penghasilan hingga 8,9 miliar
poundsterling pertahun. Sedangkan industri kosmetik Amerika Serikat mengalami
pertumbuhan rata-rata 10% setiap tahun. Sebuah artikel di majalah Time pada
tahun 1988 menunjukkan bahwa industri makanan diet di AS berhasil mencetak
angka penjualan sampai sebesar 74 miliar dollar per tahun. Jumlah ini setara
dengan sepertiga dari seluruh anggaran kebutuhan makanan penduduk AS selama
satu tahun. Masih di AS, sebuah survei menunjukkan bahwa kalangan profesional
perempuan telah menyediakan anggaran khusus untuk ‘memelihara kecantikan’
hingga sebesar sepertiga dari seluruh pendapatan mereka, dan menganggap pengeluaran
ini sebagai suatu bentuk ‘investasi’. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan
oleh Fakultas Kedokteran Universitas Cincinnati, 33.000 perempuan AS menyatakan
kepada para peneliti bahwa mereka lebih menyukai berat badannya berkurang 10
sampai 15 pon, daripada berhasil meraih tujuan-tujuan lainnya. Pada tahun 1998,
dalam sebuah kampanye bertajuk “The Bread for Life”, telah disurvei
lebih dari 900 perempuan muda berusia 18 sampai 24 tahun yang tinggal di Barat.
Dari survei tersebut, para peneliti mengeluarkan sebuah laporan yang berjudul “Tekanan
untuk Menjadi Sempurna.” Ketika para responden ditanya tentang aspek apa
yang paling menarik dari seorang perempuan, ternyata 55% responden perempuan
itu menjawab aspek penampilan, sementara hanya 1% yang menganggap kecerdasan
sebagai aspek tambahan.
Adanya
tekanan-tekanan untuk memenuhi harapan-harapan tertentu ini telah mengakibatkan
munculnya kegelisahan dan ketakutan dalam diri perempuan Barat berkaitan dengan
penampilan fisik mereka. Apakah ia terlalu gemuk, terlalu kurus, terlalu
tinggi, terlalu pendek, terlalu pucat, terlalu gelap, atau terlalu tua? Sebuah
laporan penelitian yang pernah dikutip oleh New York Times pada tahun 1985
menyatakan, “Orang-orang yang mengalami cacat fisik pada umumnya menyatakan puas
dengan kondisi tubuhnya, sedangkan perempuan-perempuan yang kondisi tubuhnya
normal pada umumnya tidak puas.” Ada kekhawatiran yang amat besar di
kalangan perempuan (Barat) jika mereka menjadi gemuk atau berat badannya
bertambah, dan proses penuaan seperti itu hampir-hampir mereka anggap sebagai
suatu penyakit. Dr. Arthur K. Balin, ketua American Aging Association,
pada tahun 1988 mengatakan kepada The New York Times bahwa, “akan lebih baik
jika para dokter menganggap wajah yang buruk itu sebagai suatu penyakit, bukan
suatu masalah kecantikan.” Penelitian “The Bread for Life” yang
disebutkan di atas juga menemukan fakta bahwa hanya 25% responden perempuan
yang merasa bahagia dengan berat badannya, dan ada 22% responden yang memilih
tinggal di rumah karena merasa tidak nyaman dengan penampilannya.
Luasnya
jangkauan masalah kecantikan ini, terutama yang berkaitan dengan pengaruhnya
terhadap perempuan, telah membuat para ilmuwan dan dokter merumuskan suatu
istilah “Body Dysmorphic Disorder.” Istilah ini menggambarkan suatu
kondisi di mana seseorang memberikan perhatian yang berlebihan atau tidak wajar
terhadap suatu kekurangan dalam penampilan fisik seseorang. Jangankan dapat
membangun kepercayaan diri, upaya mempercantik diri tersebut justru membuat
perempuan merasa lumpuh karena kurangnya kepercayaan diri dan munculnya
tekanan-tekanan dari dalam benak mereka sendiri. Bahkan para perempuan yang
mestinya melambangkan arti kecantikan –yaitu para model di catwalk– merasa
tidak aman dengan penampilan mereka. The Independent Newspaper baru-baru ini
melaporkan penderitaan yang dialami sejumlah super-model terkemuka seperti
Karen Mulder yang menderita akibat anorexia (penyakit akibat diet yang
kebablasan–pen) dan depresi mental. Untuk mengakhiri penderitaan ini, ia
meminum obat tidur dalam dosis yang berlebihan, hingga mengakibatkan ia
mengalami koma. Peristiwa ini menunjukkan dengan jelas kekeliruan pendapat
bahwa kecantikan akan menghasilkan kebahagiaan. Pendapat ini jelas merupakan
mitos belaka. Kenyataan seperti ini dapat diringkas melalui kata-kata seorang
penulis Barat, Mary Wollstonecraft, yang menulis dalam bukunya – A
Vindication of the Rights of Women sebagai berikut, “Ajarkan sejak bayi
bahwa kecantikan adalah lambang kekuasaan seorang wanita, maka akal akan
menyesuaikan diri dengan kemauan tubuh; akal hanya akan dapat berputar-putar
dalam sangkar emasnya itu, dan tidak akan dapat berbuat lain kecuali hanya
untuk berusaha memperindah penjaranya.”
Konsep Berbusana
Apabila kita
menguji lebih jauh pendapat perempuan-perempuan Barat, bahwa mereka bebas
menentukan etika berbusana bagi diri mereka, bebas menentukan mana yang
dianggap menarik dan mana yang tidak, maka kita akan melihat bahwa kenyataan
yang ada sama sekali bertolak belakang dengan pendapat itu. Industri busana
dunia ditaksir mempunyai aset 1.500 miliar dollar AS (lebih besar dari industri
persenjataan dunia), serta telah menetapkan standar berpakaian yang pantas
untuk dipakai bagi wanita dan yang tidak pantas dipakai. Harapan-harapan yang
dibangun oleh industri busana itu telah menentukan bagaimana bentuk penampilan
yang menarik dan bagaimana pula penampilan yang ketinggalan zaman dan buruk
bagi wanita. Pada akhirnya hal ini membuat kaum perempuan merasa tertekan untuk
menyesuaikan diri dengan harapan-harapan tersebut, agar mereka dapat diterima
di masyarakat dan tidak dianggap aneh oleh teman-temannya, kolega-koleganya,
serta oleh masyarakatnya.
Lebih dari
itu, kita perlu mencermati siapa sesungguhnya yang menentukan standar-standar
mengenai bagaimana seharusnya seorang perempuan menampilkan diri kepada
masyarakat. Kita akan melihat, bahwa mayoritas perancang busana terkemuka di
dunia –baik pada masa lalu maupun masa kini– adalah kaum lelaki. Melalui
rancangan busananya, orang-orang tersebut telah menyebarkan pandangan mereka
tentang kecantikan dan bagaimana seharusnya perempuan berpakaian. Gianni
Versace, Alexander McQueen yang merancang busana untuk rumah mode Gucci, Dolce
& Gabbana, John Galliano yang merancang untuk Christian Dior, dan Karl Lagerfeld
yang bekerjasama dengan rumah mode Chanel adalah segelintir di antara perancang
busana laki-laki terkemuka di dunia. Mereka –yang merupakan pengemban konsep
kebebasan yang berakar dari akidah sekulerisme– menganggap dirinya bebas
memandang seorang perempuan sesuai keinginannya, dan kemudian menentukan busana
yang indah, yang dapat menyingkap keindahan bentuk tubuh perempuan. Semakin
banyak keindahan tubuh perempuan yang tersingkap, semakin indah busana itu.
Demikianlah, telah kelihatan jelas bahwa dalam perkara berbusana, ternyata ada
harapan-harapan di tengah masyarakat yang mesti dipenuhi oleh
perempuan-perempuan Barat. Lebih jauh lagi, ternyata harapan-harapan itu
sebagian besar dibangun oleh kaum laki-laki, yang menganggap bahwa merekalah
pihak yang paling berhak melihat keindahan tubuh dan kecantikan perempuan di
tengah-tengah masyarakat.
Dengan
demikian, upaya mempercantik tubuh dan wajah bagi perempuan Barat sebenarnya
bukan merupakan suatu pilihan; dan konsep bahwa perempuan bebas memilih citra
dirinya sesungguhnya hanya merupakan mitos belaka. Upaya mempercantik diri
tidak akan dapat membangun kepercayaan dan penghargaan terhadap diri sendiri,
tetapi justru mengakibatkan munculnya perasaan tidak aman dan terobsesi dengan
penampilannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar