Impian Amerika
16. Selain demokrasi, ada aspek lain dari cara hidup orang Amerika yang
mereka klaim telah membuat negara-negara lain iri kepada AS. Woodrow Wilson
(1919) mengatakan, ‘terkadang orang-orang menyebut saya seorang idealis,
memang begitulah adanya selaku orang Amerika. Karena Amerika adalah
satu-satunya negara yang idealis.’ Pasca 11 September, AS tidak juga sadar
bahwa selama ini mereka tidur sambil berjalan. Akan tetapi, kini AS telah
terbangun dari tidur pulas dan mimpinya. Enron, WorldCom dan realitas
pertumpahan darah di ibu pertiwinya telah membuat AS menjadi negara yang
mencemaskan aspirasinya menjadi rapuh. Mungkin untuk kali pertama sejak Great
Depression, para orangtua berbicara secara terbuka tentang anak-anak
mereka yang tumbuh di sebuah negeri (AS) yang keadaannya lebih buruk daripada negara tempat
orangtua mereka dilahirkan.
17. Impian Amerika telah berada jauh di luar jangkauan tujuh juta muslim
yang tinggal di antara Los Angeles dan New York. Hampir dua pertiganya
mengatakan mereka warga Muslim di AS telah menjadi korban prasangka dan diskriminasi
sejak peristiwa 11 September. Ketika naik pesawat,
mereka dipaksa keluar oleh para penumpang yang menaruh curiga, sebagian yang
lain bahkan tidak diperbolehkan sama sekali untuk menaiki pesawat. Hak-hak
sipil yang termasyhur dibuat oleh pendiri AS sebagaimana diabadikan dalam Bill
of Rights ternyata tidak lebih dari slogan kosong. ‘Para pecinta kebebasan’ yang
menguasai tanah kebebasan telah mengorbankan ‘kebebasan’ dengan
mengatasnamakan keamanan nasional. Para tersangka ditahan tanpa diadili, para
pengacara dilarang menemui kliennya. Edward Said, seorang Profesor di Columbia
University– New York, menulis dalam Al Ahram (edisi mingguan) ‘Saya
tidak melihat adanya seorang Arab atau Muslim Amerika yang sekarang tidak
merasa bahwa ia termasuk kubu musuh dan berada di Amerika saat ini memberi kita
pengalaman keterasingan yang tidak mengenakkan dan khususnya menjadi sasaran
permusuhan yang begitu meluas [‘Thought about America’, 28 Februari – 6
Maret 2002].
18. Kita kembali lagi ke suara sentimen imperialis Amerika yang
sesungguhnya, The National Review. Kontributor Editor Ann
Coulter menulis: ‘Sekarang bukan saatnya lagi mencari individu yang secara
langsung terlibat dalam serangan teroris ini.. Tanggung jawab ini termasuk
siapapun dan di manapun yang tersenyum dengan peristiwa pembinasaan para
patriot seperti Barbara Olsen. Orang-orang yang menginginkan negara kita hancur
tinggal di sini, bekerja untuk perusahaan penerbangan kita, dan bekerja untuk
bandara yang persis sama sebagai seorang tukang kayu dari Idaho. Ini seperti
meminta Wehrmacht berimigrasi ke Amerika dan bekerja untuk perusahaan
penerbangan kita selama Perang Dunia II. Tetapi Wehrmacht tidak begitu haus
darah. Kita harus menyerbu negara mereka, membunuh pemimpin mereka, dan
memurtadkan mereka menjadi Kristen. Kita kurang cermat ketika hanya menemukan
dan menghukum Hitler dan para pejabat terasnya. Kita membombardir kota-kota di
Jerman, kita membunuhi warga sipil. Itulah perang. Dan ini pun adalah perang’
[National Review, ‘This is War’ 13 September 2001].
19. Demikianlah yang tertulis. Bagaimana faktanya? Pada bulan Maret 2002
dilaporkan bahwa Adeel Akhtar, orang Inggris, terbang ke Amerika untuk audisi
peran. Ketika pesawat yang ia tumpangi mendarat di bandara JFK New York, ia dan
teman wanitanya diborgol. Dari gambarannya ia terlihat tidak seperti seorang
fundamentalis. Ia dibawa ke suatu ruangan dan diinterogasi selama beberapa jam.
Para petugas bertanya apakah ia memiliki teman di Timur Tengah, atau mengetahui
seseorang yang berada di balik serangan 11 September.
Pengalaman diskriminasi di AS itu bukan hal
yang asing bagi ratusan orang yang berasal dari Asia atau Timur Tengah. Seperti contoh seorang wanita Inggris (berusia 50 tahun) yang terbang
ke JFK untuk mengunjungi saudara perempuannya yang menderita kanker. Di
bandara, petugas imigrasi mendapati bahwa pada kunjungan sebelumnya, ia
melebihi masa kunjungan yang tertera dalam visanya. Ia menjelaskan bahwa saat
itu ia sedang menolong saudaranya yang sedang sakit parah, dan ia telah
mengajukan perpanjangan. Ketika petugas memintanya untuk kembali ke Inggris, ia
menerima keputusan itu tetapi sebelumnya meminta untuk berbicara kepada konsul
Inggris. Mereka menolak permintaannya, malah mengatakan bahwa ia bisa menelepon
konsulat Pakistan. Sang wanita menjelaskan bahwa ia orang Inggris, bukan
Pakistan. Paspornya pun mengatakan ia adalah warga Inggris. Para petugas
keamanan bandara mulai menginterogasinya. Ia bisa bicara dalam berapa bahasa? Sudah
berapa lama ia tinggal di Inggris? Mereka membongkar-paksa tas kopornya dan
mengambil sidik jarinya. Kemudian ia diborgol dan dirantai serta digiring
melewati tempat duduk pemberangkatan. ‘Saya merasa seolah-olah petugas
keamanan bandara memamerkan saya di depan para penumpang lain layaknya
tangkapan berharga. Mengapa saya diborgol? Saya hanya seorang ibu rumah tangga
berusia 50 tahun dari daerah pinggiran London. Ancaman apa yang saya lakukan
yang membahayakan keselamatan penumpang lain?’
20. Juga pada
bulan Maret 2001, seorang koresponden majalah Time menemukan 30 orang laki-laki
dan seorang wanita bermalam di sebuah hotel kumuh di Mogadishu, Somalia. Mereka
semua orang Afrika-Amerika asal Somalia yang sudah tiba di Amerika sejak bayi
dan anak-anak. Kebanyakan dari mereka adalah para profesional dengan pekerjaan
yang terjamin dan kehidupan yang mapan. Pada bulan Januari, tidak lama setelah
dirilisnya film Black Hawk Down (film tentang kegagalan misi militer Amerika di
Somalia), mereka
ditangkapi. Mereka dipukuli, diancam dengan suntikan dan tidak boleh menerima
telepon dan pengacara. Kemudian dua minggu yang lalu, tanpa adanya tuntutan
atau alasan, tiba-tiba mereka dideportasi ke Somalia. Sekarang mereka
tanpa paspor, surat-surat, atau uang di negara yang asing (bagi mereka).
21. Semua orang yang
kami sebut di atas merupakan korban rasisme AS.
Dalam waktu 6 bulan setelah peristiwa 11 September, Jaksa Agung AS memanggil
5000 orang laki-laki asal Arab untuk ditanyai oleh penyelidik federal. Selama
periode itu lebih dari 1000 orang yang dilahirkan di Timur Tengah telah ditawan
untuk jangka waktu yang tak terbatas dengan alasan ‘pelanggaran imigrasi’.
Tidak terhitung lagi banyaknya contoh diskriminasi petugas terhadap wanita
muslimah AS yang digeledah di bandara, sementara yang laki-laki diseret dari
tempat tidur dengan todongan pistol di tengah malam. Ini menunjukkan bahwa
bukti, yang tidak diketahui para tersangka, yang diizinkan oleh US Patriot Act,
‘telah digunakan hampir secara eksklusif terhadap Muslim dan orang
Arab-Amerika’. Di AS, saat ini, kaum Muslim dan orang-orang keturunan atau
berasal dari Timur Tengah semuanya menjadi tersangka teroris. Mereka dianggap
bersalah sampai mereka terbukti tidak bersalah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar