Kualitas SDM yang Rendah
Berbicara
persoalan kualitas, maka sistem pendidikan Indonesia nampaknya terbilang
jelek. Berdasarkan hasil penelitian The Political and Economic Risk Consultancy
(PERC) medio September 2001 dinyatakan bahwa sistem pendidikan di Indonesia
berada di urutan 12 dari 12 negara Asia, bahkan lebih rendah dari Vietnam.
Sementara itu berdasarkan hasil penilaian Program Pembangunan PBB (UNDP) pada
tahun 2000 menunjukkan kualitas SDM Indonesia menduduki urutan ke-109 dari 174
negara atau sangat jauh dibandingkan dengan Singapura yang berada pada urutan
ke-24, Malaysia pada urutan ke-61, Thailand urutan ke-76, dan Filipina urutan ke-77
(Satunet.com).
Alih-alih
untuk memperoleh sebuah sekolah yang berkualitas tinggi, harapan untuk
mendapatkan pendidikan saja semakin menipis seiring dengan krisis moneter dan
ekonomi. Berdasarkan data APTISI Jateng dinyatakan bahwa setiap tahun lulusan
SMU Jateng berkisar 200.000 orang dengan 151 PTS yang dapat menampung 75.000
orang. Saat ini hanya sekitar 11% lulusan SMU yang melanjutkan ke PT,
selebihnya 89% masuk dunia kerja. Kondisi tersebut tidak saja menimpa para
pelajar yang hendak melanjutkan pendidikannya ke jenjang PT, tetapi juga
menimpa hampir semua pelajar di tingkat SD, SLTP. Dari Ciamis diberitakan
sekitar 14.000 siswa SD, SLTP, dan SMU terancam drop out.
Sementara itu, mereka yang mampu bersekolah
pun belum tentu mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Dirjen Dikti Depdiknas
mengungkapkan bahwa 50% PTN di luar Jawa tidak memiliki kualifikasi layak
minimal. Untuk PTS mencapai angka 90%. PTN di pulau Jawa sebanyak 40% layak
minimal, sedangkan untuk PTS 70% tidak layak minimal. Jika dalam jangka waktu
tertentu tidak ada perubahan, alternatif terakhir adalah menutup PTN atau PTS
itu (Kompas, 07/2/02).
Jika kita perhatikan saat ini, masyarakat
dunia pada saat ini sedang bergerak ke arah employee society, sementara
sistem pendidikan kita masih bergulat untuk melahirkan para workers
(pekerja). Benar bahwa Indonesia
memiliki “prestasi” dalam pasaran tenaga kerja karena murah bayarannya;
mereka tidak dapat bersaing dengan knowledge employee, walaupun mereka
dibayar jauh lebih mahal. Perkembangan industri manufaktur yang mengurangi
pekerja manual dan mengutamakan pekerja informasi akan menghempaskan para
lulusan lembaga pendidikan kita. Singkat kata, produk pendidikan dalam negeri
tidak sanggup untuk bersaing dengan produk pendidikan luar negeri. Jalaluddin
Rahmat, dengan mengutip pendapat Drucker, menyatakan bahwa di pasaran kerja
internasional juga di dalam negeri, tetangga-tetangga kita dari ASEAN akan
menjadi “kognitariat” dan anak-anak bangsa kita terhempas menjadi “proletariat”.
Apa yang terjadi di negeri kita mirip dengan apa yang terjadi sekarang di
negara-negara Timur Tengah. Kita akan menemukan orang India,
Filipina, Singapura di front office, tempat kasir, atau pusat komputer.
Kita akan dapatkan anak-anak bangsa kita terpuruk di dapur yang pengap sebagai
pembantu, di dalam mobil sebagai supir, dan di tempat panas dan berdebu sebagai
pekerja bangunan.
Terdapat
sejumlah pertanyaan yang muncul ketika kita melihat kondisi yang telah
dipaparkan di atas. Paling tidak pertanyaan tersebut adalah seberapa
produktifkah sistem pendididikan nasional yang ada saat ini? Berapa besaran
biaya pengorbanan yang telah diberikan untuk pendidikan? Dengan biaya dan
pengorbanan tersebut, layanan pendidikan apa yang disiapkan, berapa banyak dan
dengan mutu yang bagaimana, berkorelasi dengan hal sebelumnya berapa luas dan
dengan kualifikasi mutu yang bagaimana hasil pendidikan dapat dicapai, dll.
Untuk mengubah dan memperbaiki kondisi
dunia pendidikan harus dilakukan pendekatan yang integratif dengan pengubahan paradigma
dan pokok-pokok penopang sistem pendidikan. Untuk itu diperlukan Islam sebagai
solusi terhadap kenyataan tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar