Penjajahan dan Kekejaman
4.
‘Masyarakat
yang bebas tidak mengintimidasi melalui penjajahan dan kekejaman’ ujar
Presiden Bush dalam usahanya yang gagal membujuk PBB memberi legitimasi
menyerang Irak. Gaung kata-kata itu sama arogannya dengan kata-kata Lord
Rosebarry satu abad silam, ketika menggambarkan kerajaan Inggris sebagai ‘agen
sekular terhebat yang pernah ada di muka bumi’ [J.A.Hobson., Imperialism’s Study]. Dalam
sejarah, Presiden Bush akan bergabung dengan Lord Roseberry dalam daftar
orang-orang termasyhur yang angkuh, juga bersama Adolf Hitler dan Joseph
Stalin, atas kontribusi tindakan tak bermoral mereka yang luar biasa. Sejarah Irak dibentuk bukan hanya oleh
kekejaman dan penjajahan melainkan juga oleh masalah-masalah di Timur Tengah
yang muncul selama masa imperialisme Eropa yang berabad lamanya, dan diperparah
oleh hegemoni AS. Sungguh sebuah ironi terbesar dalam sejarah, bahwa AS
menjadi suatu kekuatan imperial pada saat ia berusaha membebaskan dirinya dari
kolonialisme Inggris dan Eropa. Hal-hal demikian merupakan konsekuensi yang
mengerikan bagi negara yang mendasarkan dirinya pada ideologi sekular seperti
AS, yang meniru Kerajaan Inggris di masa lampau.
5.
The East Indian Company, sebuah percontohan
korporasi Barat, menginjakkan kakinya untuk kali pertama di Mesopotamia pada
tahun 1763, saat Inggris mencari rute perdagangan ke India, koloninya sendiri.
Hal itu merupakan pertanda datangnya sesuatu, seperti saat Lord Palmerston
memulai sebuah pencarian untuk menemukan pasar-pasar baru di Timur Tengah bagi
kepentingan industri dan perdagangan Inggris di tahun 1830-an –sebuah doktrin
yang menjadi bagian integral peradaban Barat– sebagaimana yang pernah juga
dinyatakan oleh Anthony Lake, Penasihat Keamanan Nasional di masa Presiden
Clinton, ‘perusahaan-perusahaan swasta merupakan sekutu alami dalam usaha
kita memperkuat ekonomi pasar’ [Mark Curtis., The Great Deception Anglo-American Power & World Order., 1998,
hal.310]. Demikian pula mantan Menteri Luar Negeri AS, Cordell Hull, yang
mengatakan, ‘Tongkat kepemimpinan menuju sistem baru hubungan internasional
dalam perdagangan dan masalah ekonomi lain sebagian besar akan berpindah ke
Amerika Serikat… Kita harus memikul kepemimpinan ini, beserta tanggung jawab
yang menyertainya, terutama demi kepentingan nasional kita semata’ [Gabriel
Kolko., Politics of War., hal.251].
6.
Kepentingan
nasional, bahasa eufemisme untuk ketamakan, menjadi stimulus penjajahan
Eropa, ketika Inggris menduduki Aden pada tahun 1839. Di tahun 1882, Inggris
menginvasi Mesir yang tengah membangun Terusan Suez dengan Perancis sejak 1869,
yang oleh Perdana Menteri Gladstone dianggap sebagai ‘pencarian kepentingan
Inggris terbesar’ karena pada waktu itu 13% dari seluruh perdagangan luar
negeri Inggris berlangsung melalui Terusan Suez. Earl Kimberley, Duta Besar
untuk India pada tahun 1885 menyatakan, ‘Apakah orang benar-benar mengira
jika kita tidak menguasai Kerajaan India maka kita harus mempengaruhi Mesir?’
[Ronald Hyam., ‘Britain’s Imperial Century 1815 to 1914’., 1976, hal.180].
Ini merupakan sentimen yang kembali mengemuka selama Perang Teluk tahun 1991
ketika Lawrence Korb, Asisten Menteri Pertahanan di masa pemerintahan Reagan,
menyatakan, ‘Kita tidak akan ambil pusing sekalipun Kuwait menghasilkan
wortel’ [Paul D’Amato., ‘US Intervention in the Middle East; Blood for
Oil’., International Socialist Review, Issue 15, December 2000–January 2001].
Pada tahun 1856, Inggris berupaya membuka jalan ke Persia dalam rangka mencari
akses darat menuju koloninya di India dan memenuhi kewajiban-kewajiban
perjanjian untuk melindungi para syeikh penguasa Kuwait, Bahrain, Qatar, dan
Oman untuk menjamin bahwa keempat negeri itu hanya akan diberikan kepada
Inggris.
7.
Kemenangan atas Khilafah Utsmaniyah pada PD
I selanjutnya mengokohkan Inggris sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di Timur
Tengah. Ia menguasai Mesopotamia, Persia, Teluk dan Mesir sebagaimana
ditetapkan dalam perjanjian yang terkenal, Sykes-Picot, di tahun 1916. Maret
1917, Inggris menduduki Baghdad dan dari sebuah telegram yang dikirimkan kepada
pasukan Inggris terdapat indikasi adanya strategi baru kolonialisme Barat pada
abad ke-20. War Office memberitakan, ‘Baghdad akan menjadi Negara Arab dengan
penguasa atau pemerintahan lokal di bawah perlindungan Inggris dalam segala
sesuatunya. Sehingga Baghdad tidak akan memiliki hubungan dengan kekuatan
asing…. Baghdad akan diatur di belakang tirai Arab sejauh mungkin [P.W.
Ireland, ‘Iraq; A Study in Political Development’, 1937]. Tidak sekadar
memelihara rezim boneka sebagai doktrin kolonial, Inggris juga telah menemukan
seni kolonisasi. Penjajahan gaya baru itu terurai dalam pernyataan Departemen
Luar Negeri pada tahun 1947, ‘Kepentingan keamanan dan strategis kami di
seluruh dunia akan terlindungi dengan baik dengan didirikannya ‘kantor-kantor
polisi’ di titik-titik yang tepat yang akan diperlengkapi dengan kemampuan
mengatasi keadaan darurat dalam radius jarak jauh. Kuwait merupakan salah satu
titik untuk mengontrol Irak, Persia Selatan, Arab Saudi dan Teluk Persia’.
Namun demikian, era pasca Perang Teluk
menunjukkan betapa AS telah menerapkan penjajahan gaya baru itu sekaligus
menggantikan posisi Inggris sebagai kekuatan dominan di Timur Tengah.
8.
Dunia melihat AS memelopori doktrin baru kolonialisme Barat, menemukan gaya baru
dalam menjajah negara lain dengan menekankan pada aksi-aksi rahasia, perbudakan
ekonomi dan intrik-intrik politik. Model penjajahan yang menindas masyarakat
Timur Tengah melalui rezim boneka dan mendorong terjadinya penindasan,
penahanan dan pembunuhan. Jesse Leaf, Kepala Analis Iran CIA, menjelaskan
intimidasi AS di Timur Tengah ketika dia mengatakan, ‘Kami bentuk mereka
(SAVAK), kami atur mereka, kami ajari mereka apapun yang kami tahu… teknik
interogasi yang ekstrim… termasuk penyiksaan… ruang penyiksaaan dibuat dan
semuanya itu dibiayai oleh Amerika Serikat’ [Salaam Al-Sahrqi, ‘Iran:
Unholy Alliances, Holly Terror’, Covert Action Information Bulletin, No.37,
Summer 1991]. Pengendalian penduduk Timur Tengah lebih jauh lagi diuraikan
dalam memorandum pemerintah AS, ‘Kebijakan terbaru Amerika adalah membatasi
penjualan senjata ke negara-negara Timur Tengah demi memenuhi jumlah layak yang
dibutuhkan untuk menjaga keamanan internal’ [Statement by the United States
& United Kingdom Groups, FRUS, 1947, Vol. V hal. 613] dan Dewan Keamanan
Nasional AS mengatakan bahwa bantuan militer sangat penting ‘sebagai alat
untuk mempertahankan keamanan internal’ [National Security Council,
Statement of U.S. Policy toward Iran, 15 November 1958, FRUS, 1958-1960,
Vol.XII, hal. 611-613]. Senator AS, Hubert Humphrey menjelaskan kebijakan
tersebut dalam kaitannya dengan pertemuan antara pejabat AS dengan pemimpin
militer Iran, ‘Tahukah Anda apa yang dikatakan pimpinan tentara Iran kepada
salah satu orang kita? Dia mengatakan pasukan berada dalam kondisi yang baik,
berkat bantuan AS, sekarang tentara mampu menjalin hubungan dengan penduduk
sipil’ [Fred Halliday, ‘Arabia Without Sultans’].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar