«مَثَلُ
الْقَائِمِ
عَلَى
حُدُودِ
اللَّهِ وَالْوَاقِعِ
فِيهَا
كَمَثَلِ
قَوْمٍ اسْتَهَمُوا
عَلَى
سَفِينَةٍ
فَأَصَابَ
بَعْضُهُمْ
أَعْلاَهَا
وَبَعْضُهُمْ
أَسْفَلَهَا فَكَانَ
الَّذِينَ
فِى
أَسْفَلِهَا
إِذَا اسْتَقَوْا
مِنَ
الْمَاءِ
مَرُّوا
عَلَى مَنْ
فَوْقَهُمْ
فَقَالُوا
لَوْ أَنَّا
خَرَقْنَا
فِى
نَصِيبِنَا
خَرْقًا
وَلَمْ نُؤْذِ
مَنْ
فَوْقَنَا
فَإِنْ
يَتْرُكُوهُمْ
وَمَا
أَرَادُوا
هَلَكُوا
جَمِيعًا
وَإِنْ
أَخَذُوا
عَلَى أَيْدِيهِمْ
نَجَوْا
وَنَجَوْا
جَمِيعًا»
“Perumpamaan orang yang
menegakkan hudud Allah dan para pelanggarnya adalah ibarat satu kaum
yang sama-sama naik perahu. Sebagian di bagian atas dan sebagian di bagian
bawah. Mereka yang di bawah, jika ingin mengambil air, melewati orang yang di
atas. Lalu mereka berkata, “Andai saja kita melubangi tempat kita dan kita
tidak menyusahkan orang di atas kita.” Jika para penumpang perahu itu
membiarkan mereka dan apa yang mereka inginkan itu, niscaya mereka binasa seluruhnya.
Namun, jika para penumpang perahu itu menindak mereka, niscaya mereka selamat
dan selamat pula seluruhnya.” (HR. al-Bukhari)
وَمَنْ
يُطِعِ اللهَ
وَالرَّسُولَ
فَأُولَئِكَ
مَعَ
الَّذِينَ
أَنْعَمَ
اللهُ عَلَيْهِمْ
مِنَ
النَّبِيِّينَ
وَالصِّدِّيقِينَ
وَالشُّهَدَاءِ
وَالصَّالِحِينَ
وَحَسُنَ أُولَئِكَ
رَفِيقًا
“Dan barangsiapa yang menta`ati Allah dan Rasul (Nya),
mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni`mat oleh
Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid dan
orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (QS. An-Nisa
[4]: 69)
Kaum Mukmin mengerjakan amal shalih,
yang berarti seluruh tindakannya berpatokan dengan Syara’, orang-orang kafir
justru sebaliknya. Mereka sama sekali tidak mengindahkan itu, tidak
mempedulikan batasan halal atau haram yang semestinya mengikat perbuatan
mereka.
"Terangkanlah kepada-Ku tentang orang-orang yang
menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi
pemelihara atasnya? Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu
mendengar atau memahami? Mereka itu tidak lain hanyalah seperti binatang
ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu)."
(QS. [25] Al-Furqaan: 43-44)
Bagi kaum kafir asalkan memenuhi
kepentingan mereka, semuanya boleh. Perilaku mengabaikan peringatan dari Allah
ini lebih sesat daripada binatang ternak.
فَلْيَحْذَرِ
الَّذِينَ
يُخَالِفُونَ
عَنْ
أَمْرِهِ
أَنْ
تُصِيبَهُمْ
فِتْنَةٌ أَوْ
يُصِيبَهُمْ
عَذَابٌ
أَلِيمٌ
"Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi
perintahnya (Rasul) takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang
pedih." (QS. An-Nuur: 63)
Imam Ibnu Katsir menyatakan bahwa maksud
frasa ‘an amrihi adalah jalan, manhaj, thariqah, sunnah dan syariah Nabi Saw. Seluruh perkataan dan perbuatan
ditimbang dengan perkataan dan perbuatan Rasulullah Saw. Yang sejalan diterima,
sedangkan yang menyelisihi ditolak. (Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu
Katsir)
Imam Ibnu Katsir rahimahuLlah mengetengahkan
sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad dari shahabat Ibnu ’Umar ra., bahwa
Rasulullah Saw. pernah bersabda:
وَمَنْ
تَشَبَّهَ
بِقَوْمٍ
فَهُوَ
مِنْهُمْ
“Siapa
menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk bagian dari kaum tersebut.” (HR. Ahmad)
Hadits ini mengandung larangan yang
sangat keras serta ancaman bagi siapa saja yang meniru-niru atau menyerupai
orang-orang kafir, baik dalam hal perkataan, perbuatan, pakaian, hari raya,
peribadahan, serta semua perkara yang tidak disyariatkan bagi kaum Muslim.
(Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, 1/149-150)
Menyerupai kaum kafir (tasyabbuh bil kuffar) mencakup perkara
aqidah, ibadah, hari raya, pakaian khas kekafiran mereka, adat istiadat, atau
gaya hidup yang memang merupakan bagian dari ciri-ciri khas kekafiran mereka (fi
khasha`ishihim). (Imam Shan’ani, Subulus
Salam, 4/175; Ali Ibrahim Mas’ud ‘Ajiin, Mukhalafah
Al Kuffar fi As Sunnah An Nabawiyyah, hlm.
14)
Dalam semua hal yang menyalahi Akidah
dan Syariah, seorang Muslim dilarang berbuat atas idenya sendiri maupun menirunya dari kaum kafir.
Seorang muslim diharamkan berpartisipasi dalam kekufuran
maupun kemaksiatan. Allah SWT berfirman:
وَالَّذِينَ
لا
يَشْهَدُونَ
الزُّورَ
”Dan [ciri-ciri
hamba Allah adalah] tidak menghadiri /mempersaksikan kedustaan/kepalsuan.”
(QS. Al Furqaan [25]: 72)
Imam Ibnul Qayyim meriwayatkan penafsiran Ibnu Abbas, Adh
Dhahhak, dan lain-lain, bahwa kata az zuur (kebohongan/kepalsuan)
dalam ayat tersebut artinya adalah hari raya orang-orang musyrik (‘iedul
musyrikiin). Berdalil dengan ayat ini, Imam Ibnul Qayyim menjelaskan bahwa
haram hukumnya muslim turut merayakan (mumaala`ah), menghadiri (hudhuur),
atau memberi bantuan (musa`adah) pada hari-hari raya kaum kafir. (Ibnul
Qayyim, Ahkam Ahlidz Dzimmah, 2/156)
أَفَحُكْمَ
الْجَاهِلِيَّةِ
يَبْغُونَ *
وَ مَنْ
أَحْسَنُ
مِنَ اللهِ
حُكْمًا
لِقَوْمٍ
يُوقِنُونَ
"Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan
(hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang
yakin." (QS. Al-Maaidah: 50)
Sayyid Quttub dalam Tafsir Fi Zhilalil Quran menjelaskan: Makna jahiliyah telah
ditentukan batasannya oleh nash ini. Jahiliyah – sebagaimana diterangkan Allah
dan didefinisikan oleh Quran-Nya – adalah hukum buatan manusia. Karena, ini
berarti ubudiyah (pengabdian) manusia
terhadap manusia, keluar dari ubudiyah
kepada Allah, dan menolak uluhiyyah
Allah. Kebalikan (yaitu sisi lain) dari penolakan ini adalah mengakui uluhiyyah sebagian manusia dan hak ubudiyah bagi mereka selain Allah.
Dalam kitab At-Tafsir al-Munir Syaikh
Wahbah az-Zuhaili menerangkan bahwa ayat ini berarti tak ada seorangpun yang
lebih adil daripada Allah dan tak ada satu hukumpun yang lebih baik daripada
hukum-Nya. (Wahbah Az-Zuhaili, At-Tafsir al-Munir, VI/224)
Keadilan merupakan sifat yang melekat pada Islam itu
sendiri dan tak terpisahkan dari Islam. Allah SWT berfirman:
وَتَمَّتْ
كَلِمَةُ
رَبِّكَ
صِدْقًا وَعَدْلا
“Telah sempurnalah Kalimat
Tuhanmu (al-Quran) sebagai kalimat yang benar dan adil.” (QS. al-An’am [6]: 115)
Ibnu Katsir: “Artinya, benar dalam beritanya dan adil
dalam perintah serta larangannya.” (Tafsir Ibnu Katsir: Terjemahan Lubaabut Tafsiir Min Ibni Katsiir, juz
27, hal. 65)
Islam sendiri memerintahkan manusia untuk cermat dan
teguh dalam menerapkan keadilan Islam, sebagaimana firman-Nya:
إِنَّ
اللَّهَ
يَأْمُرُكُمْ
أَنْ تُؤَدُّوا
الْأَمَانَاتِ
إِلَى
أَهْلِهَا
وَإِذَا
حَكَمْتُمْ
بَيْنَ
النَّاسِ
أَنْ تَحْكُمُوا
بِالْعَدْلِ
إِنَّ
اللَّهَ
نِعِمَّا يَعِظُكُمْ
بِهِ إِنَّ
اللَّهَ
كَانَ سَمِيعًا
بَصِيرًا
“Sesungguhnya
Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan
(menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu
menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang
sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS.
An-Nisa’: 58)
Menurut
Imam Ibnu Taimiyah, keadilan adalah apa saja yang ditunjukkan oleh al-Kitab dan
as-Sunnah (Kullu ma dalla ‘alayhi al-kitab wa as-sunnah), baik dalam
hukum-hukum hudud maupun hukum-hukum yang lainnya. (Ibnu Taimiyah, As-Siyasah
as-Syar’iyah, hlm. 15)
Menurut
Imam al-Qurthubi, keadilan adalah setiap apa saja yang diwajibkan baik berupa
akidah Islam maupun hukum-hukum Islam (Kullu syayyin mafrudhin min ‘aqa’id
wa ahkam). (Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, X/165)
Keadilan
dapat didefinisikan secara ringkas, yaitu berpegang teguh dengan Islam (al-iltizam
bil-Islam). (M. Ahmad Abdul Ghani, Mafhum al-‘Adalah al-Ijtima’iyah
fi Dhaw` al-Fikr al-Islami Al-Mu’ashir, I/75)
Penjelasan asy-Syaukani mengenai maksud adil dalam ayat ini:
“Adil
adalah memutuskan perkara berdasarkan ketentuan dalam Kitabullah dan
Sunnah-Nya, tidak dengan pendapat pikiran semata, karena itu sama sekali tidak
terkategori sebagai kebenaran; kecuali jika tidak ditemukan dalilnya dalam
Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, maka bisa dengan hasil ijtihad pikiran dari
seorang hakim yang mengetahui hukum Allah Swt.; dan mengetahui yang paling
dekat dengan kebenaran ketika tidak ada nash. Adapun hakim yang tidak memahami
hukum Allah dan Rasul-Nya, juga tidak memahami yang paling dekat dengan
keduanya, maka dia tidak memahami keadilan. Sebab, dia tidak memahami hujjah
yang datang kepadanya, apalagi memutuskan antara hamba Allah dengan hujjah
itu. (Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 2, 607)
“Keadilan hukum-hukum Allah Swt.
tersebut akan benar-benar bisa dirasakan adil jika diberlakukan secara
menyeluruh. Islam sebagai sebuah satu kesatuan sistem tidak bisa dilepaskan
unsur-unsurnya satu sama lain. Bagian organ tubuh, seperti mata atau tangan,
akan kehilangan hakikat dan fungsinya apabila dilepaskan dari tubuhnya.” (Ust.
Rokhmat S. Labib, MEI)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar