Ada berbagai riwayat pada masa Khulafa’
ar-Rasyidin hukum Allah ditegakkan atas para pelaku dosa, mereka dibawa ke
hadapan khalifah atau wakilnya untuk ditegakkan hukum Islam terhadapnya.
Abu Dawud ath-Thayalisi telah mengeluarkan di dalam Musnad-nya
dari Hudhayn Abiy Sasan ar-Raqasyi, ia berkata:
حَضَرْتُ
عُثْمَانَ
بْنَ
عَفَّانَ
رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ
وَأُتِيَ
بِالْوَلِيدِ
بْنِ
عُقْبَةَ
قَدْ شَرِبَ
الْخَمْرَ
وَشَهِدَ
عَلَيْهِ
حُمْرَانُ
بْنُ أَبَانَ
وَرَجُلٌ
آخَرُ
فَقَالَ
عُثْمَانُ
لِعَلِيٍّ: «أَقِمْ
عَلَيْهِ
الْحَدَّ…»
“Aku mendatangi Utsman bin Affan dan kepadanya
didatangkan al-Walid bin ‘Uqbah dia telah minum khamar dan disaksikan oleh
Humran bin Aban dan seorang laki-laki lain, maka Utsman berkata kepada Ali:
“Tegakkan terhadapnya hadd …”
Khalifah Abu Bakar membunuh orang-orang yang murtad
karena mengingkari suatu kewajiban Syariah yaitu kewajiban zakat. Ibn Hibban
telah mengeluarkan di dalam Shahih-nya dari Abu
Hurairah, ia berkata: “Ketika Rasulullah Saw. wafat dan Abu Bakar diangkat
menggantikan beliau (sebagai Khalifah) dan orang dari kalangan Arab menjadi
kafir, Abu Bakar memerangi mereka. Abu Bakar berkata:
وَاللَّهِ
لَأُقَاتِلَنَّ
مَنْ فَرَّقَ
بَيْنَ
الصَّلَاةِ
وَالزَّكَاةِ
فَإِنَّ الزَّكَاةَ
حَقُّ
الْمَالِ
وَاللَّهِ
لَوْ مَنَعُونِي
عِقَالًا
كَانُوا
يُؤَدُّونَهُ
إِلَى
رَسُولِ
اللَّهِ صلى
الله عليه وسلم
لَقَاتَلْتُهُمْ
عَلَى
مَنْعِهِ
“Demi Allah aku perangi orang
yang memisahkan antara shalat dan zakat. Zakat adalah hak harta. Demi Allah
seandainya sekelompok orang menghalangi dariku apa yang dahulu mereka tunaikan
kepada Rasulullah Saw. pasti aku perangi mereka atas keengganan mereka itu.”
Dari Ubadah bin Shamit berkata bahwa Rasulullah Saw.
bersabda:
«سَيَكُونُ
عَلَيْكُمْ
أُمَرَاءُ
يَأْمُرُونَكُمْ
بِمَا لاَ
تَعْرِفُونَ
وَيَفْعَلُونَ
مَا
تُنْكِرُونَ
فَلَيْسَ
لاِؤلَئِكَ
عَلَيْكُمْ
طَاعَةٌ»
“Kalian akan dipimpin oleh para pemimpin yang memerintah
kalian dengan hukum yang tidak kalian ketahui
(imani). Sebaliknya, mereka melakukan apa yang kalian ingkari. Sehingga
terhadap mereka ini tidak ada kewajiban bagi kalian untuk menaatinya.” (HR.
Ibnu Abi Syaibah)
Syariah umat para rasul sebelum
Rasulullah Saw. bukanlah syariah bagi kita. Syariah sebelum kita telah dihapus
dengan Islam. Allah SWT berfirman:
﴿وَأَنْزَلْنَا
إِلَيْكَ
الْكِتَابَ
بِالْحَقِّ
مُصَدِّقًا
لِمَا بَيْنَ
يَدَيْهِ مِنَ
الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا
عَلَيْهِ
فَاحْكُمْ
بَيْنَهُمْ
بِمَا
أَنْزَلَ
اللَّهُ
وَلَا تَتَّبِعْ
أَهْوَاءَهُمْ
عَمَّا
جَاءَكَ مِنَ
الْحَقِّ
لِكُلٍّ
جَعَلْنَا
مِنْكُمْ
شِرْعَةً
وَمِنْهَاجًا﴾
“Dan Kami telah turunkan
kepadamu al-Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya,
yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap
kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang
Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan
meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat di antara
kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang.” (QS. Al-Maaidah: 48)
Makna “muhayminan ‘alayhi” adalah menghapus.
Jadi, Islam telah menghapus syariah kitab-kitab terdahulu. Karena itu syariah
orang sebelum kita bukanlah syariah bagi kita.
“Maka tatkala datang kepada mereka rasul-rasul (yang
diutus kepada) mereka dengan membawa keterangan-keterangan, mereka merasa
senang dengan pengetahuan yang ada pada mereka dan mereka dikepung oleh azab
Allah yang selalu mereka perolok-olokkan itu.” (QS. [40] al-Mu’min: 83)
ظَهَرَ
الْفَسَادُ
فِي الْبَرِّ
وَالْبَحْرِ
بِمَا
كَسَبَتْ
أَيْدِي
النَّاسِ
لِيُذِيقَهُمْ
بَعْضَ
الَّذِي
عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ
يَرْجِعُونَ
“Telah tampak kerusakan di darat dan
di laut disebabkan oleh perbuatan tangan-tangan manusia, supaya Allah
menimpakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka
kembali (ke jalan yang benar).” (QS. ar-Rum [30]: 41)
Dijelaskan oleh para mufassir bahwa ulah
perbuatan yang dimaksud adalah perbuatan dosa dan maksiat.
Al-Baghawi menafsirkannya sebagai: bi syu’ dzunûbihim (karena keburukan dosa-dosa mereka). (Al-Baghawi,
Ma’âlim at-Tanzîl, vol. 3, 417)
Ibnu Katsir memaknainya: bi sabab al-ma’âshî (karena kemaksiatan-kemaksiatan). (Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân
al-‘Azhîm, vol. 3 (Beirut: Dar al-Fikr,
2000), 1438)
Al-Zamakhsyari dan Abu Hayyan menuturkan: bi sabab ma’âshîhim wa dzunûbihim
(karena perbuatan maksiat dan dosa mereka). (Az-Zamaksyari, Al-Kasysyâf, vol. 3, 467; Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsîr
al-Bahr al-Muhîth,vol. 4 (Beirut: Dar
al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), 360)
Dengan ungkapan yang agak berbeda, pendapat yang sama
juga dikemukakan oleh Syihabuddin al-Alusi, al-Baidhawi, al-Samarqandi,
al-Nasafi, al-Khazin, dan al-Shabuni. (Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 11, 48; as-Samarqandi, Bahr
al-‘Ulûm, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyyah, 1993), 14; an-Nasafi, Madârik at-Tanzîl
wa Haqâiq at-Ta’wîl, vol. 2, 31;
al-Khazin, Lubâb at-Ta’wîl fi Ma’âni at-Tanzîl, vol. 3, 393; ash-Shabuni, Shafwat
at-Tafâsîr, vol. 2 (Beirut: Dar
al-Fikr, 1996), 442)
Kesimpulan tersebut sejalan dengan firman Allah Swt.:
وَمَا
أَصَابَكُمْ
مِنْ
مُصِيبَةٍ
فَبِمَا
كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ
وَيَعْفُو
عَنْ كَثِيرٍ
“Musibah apa saja yang menimpa kalian adalah akibat
perbuatan tangan kalian sendiri.” (QS. asy-Syura [42]: 30)
Ayat ini memastikan bahwa pangkal penyebab terjadinya
seluruh kerusakan di muka bumi adalah pelanggaran dan penyimpangan manusia
terhadap ketentuan Syariah-Nya.
Ada beberapa kemaksiatan yang disebutkan secara spesifik
dapat menyebabkan kehancuran masyarakat. Rasulullah Saw. bersabda:
إِذَا
ظَهَرَ
الزِّنَا
وَالرِّبَا
فِي قَرْيَةٍ
، فَقَدْ
أَحَلُّوا
بِأَنْفُسِهِمْ عَذَابَ
اللهِ
“Jika zina dan riba telah
tampak menyebar di suatu kampung maka sesungguhnya mereka telah menghalalkan
diri mereka dari azab Allah.” (HR. ath-Thabrani, al-Baihaqi dan al-Hakim)
Pemaparan Abu
al-Aliyah dikutip oleh Ibnu Katsir ketika menjelaskan ayat ini: “Siapa saja yang bermaksiat di muka
bumi, sungguh dia telah berbuat kerusakan, sebab kebaikan bumi dan langit
adalah dengan ketaatan. Karena itu dalam hadits
yang diriwayatkan Abu Dawud dinyatakan:
لَحَدٌّ
يُقَامُ فِيْ
الْأَرْضِ
أَحَبَّ إِلَى
أَهْلِهَا
مِنْ أَنْ
يُمْطَرُوْا
أَرْبَعِيْنَ
صَبَاحًا
“Sungguh
satu hukuman had yang ditegakkan di muka bumi lebih disukai penduduknya
daripada mereka diguyur hujan 40 hari.”
Hudud yang ditegakkan itu menghalangi
manusia—atau kebanyakan mereka—dari melakukan keharaman. Jika kemaksiatan
dilakukan maka hal demikian menjadi sebab terpupusnya berkah dari langit dan
bumi.” (Ibn Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm).
Ibn Manzhur dalam Lisân al-‘Arab menjelaskan, hudûdulLah adalah sesuatu yang Allah jelaskan
pengharaman dan penghalalannya; Allah perintahkan untuk tidak dilanggar
sedikitpun dan dilampaui, selain dari apa yang telah diperintahkan atau
dilarang, yang Allah larang untuk dilanggar.
Ibn al-Atsir dalam An-Nihâyah fî Gharîb
al-Hadîts wa al-Atsâr berkata,
“Penyebutan al-hadd dan al-hudûd di
banyak tempat maknanya adalah keharaman-keharaman Allah dan sanksi-sanksi-Nya
yang dikaitkan dengan dosa-dosa. Asal dari al-hadd adalah halangan dan pemisah di antara dua perkara. Karena
itu hudûd asy-syar’i memisahkan antara halal dan haram. Di antaranya apa yang tidak boleh
didekati seperti perbuatan-perbuatan keji yang diharamkan (al-fawâhisy
al-muharramah).”
Allah SWT berfirman:
تِلْكَ
حُدُودُ
اللَّهِ
فَلَا
تَقْرَبُوهَا
“Itulah larangan Allah. Karena
itu janganlah kalian mendekati larangan itu.” (QS. al-Baqarah [2]: 187)
تِلْكَ
حُدُودُ
اللَّهِ
فَلَا
تَعْتَدُوهَا
“Itulah hukum-hukum Allah.
Karena itu janganlah kalian melanggar hukum-hukum itu.” (QS. al-Baqarah [2]: 229)
Al-Azhari di dalam Tahdzîb al-Lughah mengatakan, “Hudûd Allah ada dua bentuk. Pertama: hudud yang Allah tetapkan untuk manusia
dalam masalah makanan, minuman, pernikahan dan
lainnya; di antara apa yang dihalalkan dan diharamkan, yang diperintahkan untuk
dijauhi dan dilarang untuk dilanggar. Kedua: uqûbât (sanksi) yang ditetapkan terhadap
orang yang melakukan apa yang dilarang seperti hadd pencuri, yaitu potong tangan dalam
pencurian seperempat dinar atau lebih; hadd orang berzina yang belum menikah yaitu
cambukan seratus kali dan diasingkan setahun; hadd orang yang sudah menikah jika berzina
yaitu dirajam; hadd orang yang
menuduh orang lain berzina yaitu cambukan 80 kali. Disebut hudûd karena menghalangi perbuatan yang di
situ ada sanksi jika dilakukan. Yang pertama disebut hudûd karena merupakan
akhir yang Allah larang untuk dilanggar (dilampaui).”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar