“Dan (ingatlah), ketika mereka berbantah-bantah dalam
neraka, maka orang-orang yang lemah berkata kepada orang-orang yang
menyombongkan diri: "Sesungguhnya kami adalah pengikut-pengikutmu, maka
dapatkah kamu menghindarkan dari kami sebahagian azab api neraka?" (QS. [40]
Al-Mu'min: 47)
“Maka bersabarlah kamu untuk (melaksanakan) ketetapan
Tuhanmu, dan janganlah kamu ikuti orang yang berdosa dan orang yang kafir di
antara mereka.” (QS. [76] Al-Insan: 24)
Perintah tersebut tidak hanya berlaku bagi Rasulullah
Saw., tetapi juga berlaku bagi seluruh umatnya jika tidak ada dalil yang
membatasi bahwa khithâb/seruan tersebut
berlaku khusus hanya untuk Nabi Saw.
Sesuai dengan kaidah:
«خِطَابٌ
لِلرَّسُوْلِ
خِطَابٌ
لأِمَّتِهِ»
“Seruan untuk Rasul Saw. merupakan seruan yang juga
berlaku bagi umatnya.” (Lihat: al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddîn an-Nabhânî, Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, Dâr al-Ummah, Beirut, III/247)
Allah SWT berfirman:
وَإِذَا
قِيلَ لَهُمُ
اتَّبِعُوا
مَا أَنزَلَ
اللَّهُ
قَالُوا بَلْ
نَتَّبِعُ
مَا أَلْفَيْنَا
عَلَيْهِ
آبَاءَنَا ۗ
أَوَلَوْ
كَانَ
آبَاؤُهُمْ
لَا
يَعْقِلُونَ
شَيْئًا
وَلَا
يَهْتَدُونَ
”Dan apabila dikatakan kepada
mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab:
"(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari
(perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga),
walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak
mendapat petunjuk?" (QS. Al-Baqarah: 170)
ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيعَةٍ مِنَ الأمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَ الَّذِينَ لا يَعْلَمُونَ
”Kemudian Kami jadikan kamu
berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama) itu, maka ikutilah
syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak
mengetahui.” (QS. [45] Al-Jatsiyah: 18)
Ibnu Katsir: “Maksudnya, ikutilah apa yang telah diwahyukan kepadamu oleh Rabb-mu, yang tidak ada yang berhak diibadahi selain Dia.” (Tafsir Ibnu Katsir: Terjemahan Lubaabut Tafsiir Min Ibni Katsiir, juz 25, hal. 341)
Ibnu Katsir: “Maksudnya, ikutilah apa yang telah diwahyukan kepadamu oleh Rabb-mu, yang tidak ada yang berhak diibadahi selain Dia.” (Tafsir Ibnu Katsir: Terjemahan Lubaabut Tafsiir Min Ibni Katsiir, juz 25, hal. 341)
وَمَا
آتَاكُمُ
الرَّسُولُ
فَخُذُوهُ
وَمَا
نَهَاكُمْ
عَنْهُ
فَانْتَهُوا
وَاتَّقُوا
اللهَ إِنَّ
اللهَ
شَدِيدُ
الْعِقَابِ
“Apa yang diberikan Rasul
kepadamu, maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.
dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukumannya.” (QS.
[59] Al Hasyr: 7)
Abu Nu'aim al-Ashbahaniy menyatakan: "Di antara keistimewaan Rasulullah SAW
adalah perintah Allah SWT kepada seluruh umat manusia untuk menaati beliau,
dengan ketaatan yang mutlak tanpa syarat." (Lihat: Jalaludin
as-Suyutii, al-Khashoish al-Kubro, 2/298)
Sabda Rasulullah Saw.:
«إِذَا
أَمَرْتُكُمْ
بِأَمْرٍ
فَأْتُوْا
مِنْهُ
مَااسْتَطَعْتُمْ
وَمَا نَهَيْتُكُمْ
عَنْهُ
فَاجْتَنِبُوْهُ»
“Jika aku memerintah kalian
dengan suatu perintah, jalankanlah semampu kalian. Jika aku melarang
kalian dengan suatu larangan, jauhilah.” (HR. al-Bukhari).
Wahab bin Kisan bertutur bahwa Zubair
ibn al-Awwam pernah menulis surat yang berisi nasihat untuk dirinya. Di dalam
surat itu dinyatakan, “Amma ba’du. Sesungguhnya orang bertakwa itu
memiliki sejumlah tanda yang diketahui oleh orang lain maupun dirinya sendiri,
yakni: sabar dalam menanggung derita, ridha terhadap qadha’, mensyukuri nikmat
dan merendahkan diri (tunduk) di hadapan hukum-hukum Al-Qur’an.” (Ibn al-Jauzi, Shifat ash-Shafwah, I/170; Abu Nu’aim al-Asbahani, Hilyah
Awliya’, I/177)
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا [الأحزاب: 36]
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi
perempuan yang mukmin, apabila Alloh dan Rosul-Nya telah menetapkan suatu
ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan
barangsiapa mendurhakai Alloh dan Rosul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat,
sesat yang nyata.” (QS. [33] Al-Ahzab: 36)
Al-Syaukani menjelaskan, kata mâ kâna, mâ yanbaghî, dan semacamnya
bermakna al-man'u
wa al-hazhr min al-syay' (larangan
terhadap sesuatu).
Ibnu Katsir menegaskan, ayat ini berlaku
untuk seluruh perkara. Apabila Allah SWT dan Rasul-Nya SAW telah memutuskan
tentang sesuatu, maka tidak ada seorangpun yang boleh menyalahinya.
“Barangsiapa yang berpaling dari pengajaran Tuhan Yang
Maha Pemurah (Al Qur’an), kami adakan baginya syaitan (yang menyesatkan) maka
syaitan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya.” (QS. [43] Az-Zukhruf:
36)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ [البقرة: 208]
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara
keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya
syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 208)
Dalam menafsirkan ayat tersebut, Imam
Ibnu Katsir mengatakan:
يقول
تعالى آمرًا
عباده
المؤمنين به
المصدّقين
برسوله : أنْ
يأخذوا بجميع
عُرَى
الإسلام
وشرائعه ، والعمل
بجميع أوامره
، وترك جميع
زواجره ما
استطاعوا من
ذلك .
“Alloh Swt. berfirman memerintahkan hamba-hamba-Nya yang beriman
terhadap-Nya dan yang membenarkan Rosul-Nya, untuk mengambil seluruh
simpul-simpul Islam dan Syari’at-Syari’atnya, melaksanakan seluruh
perintah-perintah-Nya, dan meninggalkan seluruh larangan-larangan-Nya sebisa
mungkin.” (Ibnu Katsir, Tafsir Al-Quran
Al-‘Azhiim, juz 1 hlm. 565)
Imam Thabariy menyatakan: “Ayat di atas (Al-Baqarah: 208) merupakan perintah kepada orang-orang
beriman untuk menolak selain hukum Islam; perintah untuk menjalankan Syari’at Islam
secara menyeluruh; dan larangan mengingkari satupun hukum yang merupakan bagian
dari hukum Islam. (Imam Thabariy, Tafsir Thabariy, II/337)
As-Sa’di menjelaskan, “Ini adalah
perintah dari Allah SWT untuk kaum Mukmin agar mereka masuk Islam secara kaffah, yakni ke
dalam seluruh syariah agama tanpa meninggalkan sedikitpun Syariahnya;
juga agar mereka tidak menjadikan hawa nafsu mereka sebagai tuhan, yakni jika
perkara yang disyariatkan (Syariah) itu sesuai hawa nafsunya maka diamalkan dan
jika menyalahi hawa nafsunya maka ditinggalkan.”
Imam Ali ash-Shabuni menegaskan, bahwa
ayat tersebut memerintahkan kaum muslim untuk melaksanakan seluruh hukum Islam; tidak boleh melaksanakan hanya
sebagian dan meninggalkan sebagian yang lain.
Setan (syaythan), menurut
sebagian ulama, berasal dari kata syathana; maknanya adalah ba’uda,
yakni jauh. Maksudnya,
setan adalah sosok yang jauh dari segala kebajikan (Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim,
I/115; Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyaf,
I/39). Setan juga berarti sosok yang jauh dan berpaling dari kebenaran. Karena
itu siapa saja yang berpaling dan menentang (kebenaran), baik dari golongan jin
ataupun manusia, adalah setan (Al-Qurthubi, Al-Jami’
li Ahkam al-Qur’an, I/90; Al-Alusi, Ruh
al-Ma’ani fi Tafsir al-Qur’an al-Azhim wa Sab’i al-Matsani, I/166).
وَمَن
يَعْصِ
اللَّهَ
وَرَسُولَهُ
وَيَتَعَدَّ
حُدُودَهُ
يُدْخِلْهُ
نَارًا
خَالِدًا
فِيهَا وَلَهُ
عَذَابٌ
مُّهِينٌ ﴿١٤﴾
“Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan
melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam Api Neraka
sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.” (QS. [4] An
Nisa': 14)
Ibnu Katsir: “Artinya, karena keadaannya tidak
menggunakan hukum Allah dan menentang Allah dalam hukum-Nya.” (Tafsir Ibnu
Katsir: Terjemahan Lubaabut Tafsiir Min
Ibni Katsiir, juz 4, hal. 251)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar