«…وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَوْ كَانَ مُوسَى حَيًّا مَا وَسِعَهُ إِلَّا أَنْ يَتَّبِعَنِي»
“Demi Dzat
yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya Musa masih hidup ia tidak merasa
lapang kecuali mengikutiku.” (HR. Ibn Abiy Syaibah
dalam Mushannaf)
فَإِنَّهُ
لَوْكَانَ
مُوْسَى
حَيًّا بَيْنَ
أَظْهُرِكُمْ,
مَا حَلَّ
لَهُ إِلاَّ
أَنْ
يَتَّبِعَنِيْ
Nabi Saw. bersabda, “Seandainya
Nabi Musa as. hidup di tengah-tengah kalian, maka tidak halal bagi dirinya,
kecuali mengikuti aku.” (HR. Imam Ahmad)
«قَدْ تَرَكْتُكُمْ عَلَى الْبَيْضَاءِ لَيْلُهَا كَنَهَارِهَا لَا يَزِيغُ عَنْهَا بَعْدِي إِلَّا هَالِكٌ، وَمَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ، فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا، فَعَلَيْكُمْ بِمَا عَرَفْتُمْ مِنْ سُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ، وَعَلَيْكُمْ بِالطَّاعَةِ، وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، فَإِنَّمَا الْمُؤْمِنُ كَالْجَمَلِ الْأَنِفِ حَيْثُمَا انْقِيدَ انْقَادَ»
“Sungguh
telah aku tinggalkan kalian di atas sesuatu yang putih bersih di mana malamnya
laksana siangnya, tidak akan tergelincir darinya setelahku kecuali orang yang
binasa, dan siapa saja dari kalian yang hidup sesudahku, ia akan melihat
perbedaan yang banyak. Maka kalian wajib berpegang teguh dengan apa yang kalian
ketahui dari Sunnahku dan Sunnah
Khulafaur Rasyidun yang mendapat petunjuk. Kalian wajib taat (kepada pemimpin
yang Syar’i sah dibai’at) meski ia (asalnya) seorang hamba sahaya Habsyi,
gigitlah dengan gigi geraham kalian, sesungguhnya mukmin itu laksana onta ke
mana dipandu ia akan terpandu.” (HR. Ahmad)
« … فَعَلَيْكُمْ
بِسُنَّتِي
وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ
الرَّاشِدِيْنَ
الْمَهْدِيِّيْنَ
فَتَمَسَّكُوْا
بِهَا
وَعَضُّوْا
عَلَيْهَا
بِالنَّوَاجِذِ …»
“…Maka kalian wajib
berpegang kepada sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin
yang mendapat petunjuk. Berpegang teguhlah kepadanya dan gigitlah itu erat-erat
dengan gigi geraham. …” (HR. Abu Dawud, Ibn Majah, dan
Tirmidzi )
Sabda Rasulullah Saw.:
«مَنْ
سَنَّ فِى
الإِسْلاَمِ
سُنَّةً
حَسَنَةً
فَعُمِلَ
بِهَا
بَعْدَهُ
كُتِبَ لَهُ مِثْلُ
أَجْرِ مَنْ
عَمِلَ بِهَا
وَلاَ يَنْقُصُ
مِنْ
أُجُورِهِمْ
شَىْءٌ
وَمَنْ سَنَّ
فِى
الإِسْلاَمِ
سُنَّةً
سَيِّئَةً
فَعُمِلَ
بِهَا
بَعْدَهُ
كُتِبَ
عَلَيْهِ
مِثْلُ وِزْرِ
مَنْ عَمِلَ
بِهَا وَلاَ
يَنْقُصُ مِنْ
أَوْزَارِهِمْ
شَىْءٌ»
“Siapa yang mencontohkan di
dalam Islam contoh yang baik lalu dilakukan sesudahnya maka
dituliskan untuknya semisal pahala orang yang melakukannya tanpa mengurangi
pahala mereka sedikitpun, sebaliknya siapa saja yang mencontohkan di
dalam Islam contoh yang buruk lalu dilakukan sesudahnya, maka
dituliskan atasnya semisal dosa orang yang melakukannya tanpa mengurangi dosa
mereka sedikitpun.” (HR. Muslim, Ahmad, Ibn Majah)
Abu Hurairah menuturkan bahwa Nabi Saw. juga pernah
bersabda:
مَنْ
دَعَا إِلَى
هُدًى، كَانَ
لَهُ مِنَ الأَجْرِ
مِثْلُ
أُجُورِ مَنْ
تَبِعَهُ،
لاَ يُنْقِصُ
ذَلِكَ مِنْ
أُجُورِهِمْ
شَيْئًا،
وَمَنْ دَعَا
إِلَى
ضَلاَلَةٍ،
كَانَ عَلَيْهِ
مِنَ
الإِثْمِ
مِثْلُ
آثَامِ مَنْ
تَبِعَهُ، لاَ
يُنْقِصُ
ذَلِكَ مِنْ
آثَامِهِمْ
شَيْئًا
“Siapa saja yang mengajak pada
petunjuk maka untuknya pahala semisal orang yang mengikutinya, hal itu tidak
mengurangi pahala mereka sedikitpun. Siapa saja yang mengajak pada kesesatan
maka atasnya dosa semisal dosa orang yang mengikutinya, hal itu tidak
mengurangi dosa mereka sedikitpun.” (HR. Muslim, Ahmad, ad-Darimi, Abu Dawud, Ibn Majah,
at-Tirmidzi, Abu Ya’la dan Ibn Hibban)
إِذَا ٱلسَّمَآءُ
ٱنفَطَرَتۡ,
وَإِذَا ٱلۡكَوَاكِبُ
ٱنتَثَرَتۡ,
وَإِذَا ٱلۡبِحَارُ
فُجِّرَتۡ,
وَإِذَا ٱلۡقُبُورُ
بُعۡثِرَتۡ,
عَلِمَتۡ نَفۡسٞ
مَّا
قَدَّمَتۡ
وَأَخَّرَتۡ
“Jika langit terbelah, jika
bintang-bintang jatuh berserakan, jika lautan dijadikan meluap dan jika
kuburan-kuburan dibongkar maka setiap jiwa akan mengetahui apa saja yang telah
dia kerjakan dan yang telah dia tinggalkan.” (QS. al-Infithar [82]: 1-5)
Menurut Asy-Syaukani, mâ akhkharat adalah sunnah hasanah aw sayy’ah (kebiasaan yang baik maupun
yang buruk). Sebab, orang tersebut memperoleh pahala dari kebiasaan baik yang
dia kerjakan dan pahala orang yang ikut mengerjakannya; juga mendapatkan dosa
kebiasaan buruk yang dia lakukan dan dosa orang-orang yang ikut mengerjakannya.
(Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 479)
“Belumkah tiba waktunya bagi
orang-orang yang beriman untuk menundukkan hati mereka mengingat Allah dan
(tunduk) kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka). Dan janganlah
mereka seperti orang-orang sebelumnya yang telah diturunkan Al Kitab, kemudian
berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan
kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS. [57] al-Hadid:
16)
al-Zuhaili dalam tafsirnya mengartikan
kata dzikril-Lâh berarti wa’zhihi wa irsyâdihi (nasihat dan petunjuk-Nya). Sedangkan wa mâ
nazala min al-haqq (dan kepada
kebenaran yang telah turun [kepada mereka]). Yang dimaksud dengan kebenaran
yang diturunkan itu adalah Al Qur’an. Demikian penjelasan para mufassir seperti
al-Thabari, al-Syaukani, al-Baghawi, al-Alusi, al-Qinuji, al-Jazairi, dan
lain-lain. Dan menurut al-Zamakhsyari dan al-nasafi, dzikril-Lâh dan wa mâ nazala min al-haqq menunjuk kepada satu obyek, yakni Al Qur’an. Sebab, Al
Qur’an mencakup untuk dua perkara: al-dzikr wa
al-maw’izhah (peringatan dan nasihat).
faqasat qulûbuhum, Ibnu ‘Abbas memaknai
‘hati mereka menjadi keras’ sebagai cenderung kepada dunia dan berpaling dari
nasihat Allah SWT. Ibnu Hayyan al-Andalusi juga mengartikannya sebagai shalabat (keras) hati mereka lantaran tidak terpengaruh untuk
melakukan kebaikan dan ketaatan.
Nabi SAW telah bersabda:
كُلُّ
شَرْطٍ
لَيْسَ فِي
كِتَابِ
اللَّهِ فَهُوَ
بَاطِلٌ
وَإِنْ كَانَ
مِائَةَ
شَرْطٍ
“Setiap syarat yang tidak
sesuai dengan Kitabullah, maka ia adalah batil, meskipun ada seratus syarat.” (HR. Bukhari no. 2375; Muslim no. 2762; Ibnu Majah no. 2512; Ahmad no. 24603;
Ibnu Hibban no. 4347)
Dikatakan oleh Imam al-Qurthubi, hadits
ini menerangkan bahwa syarat atau akad yang wajib dipenuhi adalah yang sesuai
dengan kitabullah atau agama Allah. Apabila di dalamnya jelas bertentangan
dengannya, maka tertolak, sebagaimana ditegaskan Rasulullah SAW dalam sabdanya: “Barangsiapa yang
mengerjakan suatu amalan yang tidak ada dalam perintah kami, maka tertolak” (HR. Muslim dari Aisyah).
Ibnu Hajar Al-‘Asqalani dalam Fathul Bari berkata:
أَنَّ
الشُّرُوط
الْغَيْر
الْمَشْرُوعَة
بَاطِلَة
وَلَوْ
كَثُرَتْ
“Sesungguhnya syarat-syarat yang tidak sesuai Syara’
adalah bathil, meski banyak jumlahnya.” (Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, Fathul
Bari, 8/34)
“Sesungguhnya Allah
menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.”
(QS. [5] al-Maidah: 1)
Ayat ini menegaskan bahwa keputusan hukum merupakan otoritas Allah SWT.
Dikatakan oleh Ibnu Katsir, Dialah Yang Maha Bijaksana dalam semua perkara yang
diperintahkan maupun dilarang-Nya.
قُلْ
أَرَأَيْتُم
مَّا أَنزَلَ
اللَّهُ لَكُم
مِّن رِّزْقٍ
فَجَعَلْتُم مِّنْهُ
حَرَامًا
وَحَلَالًا
قُلْ آللَّهُ
أَذِنَ
لَكُمْ ۖ أَمْ
عَلَى
اللَّهِ
تَفْتَرُونَ ﴿٥٩﴾
“Katakanlah: “Terangkanlah
kepadaku tentang rezki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan
sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal.” Katakanlah: “Apakah Allah telah
memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan saja terhadap
Allah?” (QS. Yunus [10]: 59)
“Ikutilah
apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti
pemimpin-pemimpin selain-Nya.” (QS. Al-A’raaf [7]: 3)
Kalimat “maa unzila ilaykum min
rabbikum” (apa yang diturunkan
kepadamu dari Tuhanmu), artinya adalah Al-Qur`an dan
As-Sunnah. (Tafsir Al-Baidhawi, Beirut: Dar Shaadir, Juz III/2)
“Dan
sesungguhnya jika kamu [Muhammad] mengikuti keinginan mereka setelah datangnya
ilmu kepadamu, sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk golongan orang-orang
yang zalim.” (QS. Al-Baqarah [2]: 145)
Menurut Imam Suyuthi, larangan pada
ayat di atas tidak hanya khusus kepada Nabi SAW, tapi juga mencakup umat Islam
secara umum. Larangan tersebut adalah larangan melakukan perbuatan sebagaimana
yang dilakukan oleh orang-orang bodoh atau orang kafir [seperti turut merayakan
hari raya mereka]. Sedangkan yang mereka lakukan bukanlah perbuatan yang
diridhai oleh Allah dan Rasul-Nya. (Lihat Imam Suyuthi, Al-Amru bi
Al-Ittiba’ wa An-Nahyu ‘An Al-Ibtida` (terj.),
hal. 92)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar