“Maka patutkah aku mencari
hakim selain Allah, padahal Dialah yang telah menurunkan kitab (Al-Qur’an) kepadamu dengan terperinci? Orang-orang yang telah Kami datangkan
kitab kepada mereka, mereka mengetahui bahwa Al-Qur’an itu diturunkan dari Tuhanmu dengan sebenarnya. Maka janganlah kamu
sekali-kali termasuk orang yang ragu-ragu.” (TQS al-An’am [6]: 114)
“Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati
Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak
mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.” (QS. An-nisa [4]: 80)
مَنْ
عَمِلَ
عَمَلاً
لَيْسَ
أَمْرُنَا
فَهُوَ رَدٌّ
"Siapa saja yang melakukan suatu perbuatan yang tak
ada perintah kami atasnya, maka perbuatan itu tertolak" (HR. Bukhari no. 2550; Muslim no. 1718)
Imam Ibnu Katsir menyatakan, “Perkataan-perkataan
dan perbuatan-perbuatan itu ditimbang dengan perkataan dan perbuatan Rasulullah
SAW. Apa yang sejalan dengan itu (Sunnah Rasul Saw.) diterima, sedangkan apa
yang menyelisihinya maka tertolaklah atas orang yang berkata dan yang berbuat, apapun
itu. Sebagaimana ditetapkan dalam Shahihain dan yang lain, dari Rasulullah SAW.
bahwasanya beliau bersabda, “Siapa saja yang mengerjakan suatu perbuatan, yang tidak kami
perintahkan, maka perbuatan itu tertolak”.Yakni; hendaklah berhati-hati dan takut
siapa saja yang menyalahi Syariat Rasulullah SAW. bathin maupun dzahir [an tushiibahum fitnah]: yakni (dia akan
tertimpa) fitnah di hati mereka; mulai terkena kekufuran, kemunafikan, atau
bid’ah. [Au yushiibahum ‘adzaabun ‘alim]:
yakni terkena hukuman di dunia; mulai dari terkena had, penjara, atau dibunuh.”
(Imam Ibnu Katsir, Tafsir
al-Quran al-‘Adziim, QS. An Nuur (24):63)
مَنْ
أَحْدَثَ
فِيْ
أَمْرِنَا
هَذَا مَا لَيْسَ
مِنْهُ
فَهُوَ رَدٌّ
“Siapa saja yang
mengada-adakan sesuatu yang baru dalam urusan (agama) kami ini, yang bukan
bagian darinya, maka tertolak.” (HR. Ahmad, Bukhari, Muslim, Abu Dawud,
Ibn Majah)
Menurut Imam asy-Syafii, al-muhdatsah (perkara baru yang diada-adakan) yang menyalahi al-Kitab atau as-Sunnah atau ijmak
merupakan bid’ah dhalalah. (Muhammad al-Khathib asy-Syarbini, Mughni al-Muhtâj 4/436)
Hadits ini juga diriwayatkan dengan lafal:
مَنْ
عَمِلَ
عَمَلاً
لَيْسَ
عَلَيْهِ
أَمْرُنَا،
فَهُوَ رَدٌّ
“Siapa saja yang mengerjakan
suatu perbuatan yang tidak sesuai dengan ketentuan kami maka tertolak.” (HR Ahmad, Bukhari, Muslim, Abu Dawud,
Ibn Majah, dll.)
Imam an-Nawawi memasukkannya di dalam
Hadits Arba’in, hadits ke-5. Hadits ini mengandung kaidah induk dalam Islam. Ibn
Rajab al-Hanbali di dalam Jâmi’ al-‘Ulûm wa al-Hikam menyatakan, “Hadits ini adalah salah satu pokok agung
dari Islam. Ia merupakan neraca amal pada lahiriahnya; sebagaimana hadits
“perbuatan itu bergantung pada niat” adalah neraca amal pada batinnya. Setiap amal yang tidak ditujukan meraih ridha Allah
maka pelakunya tidak mendapat pahala sedikitpun. Demikian juga setiap amal yang
tidak sesuai dengan ketentuan Allah dan Rasul-Nya adalah tertolak.
يَقُولُونَ هَلْ لَنَا مِنَ الْأَمْرِ مِنْ شَيْءٍ قُلْ إِنَّ الْأَمْرَ كُلَّهُ لِلَّهِ
“Mereka
berkata: “Apakah ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan
ini?” Katakanlah: “Sesungguhnya urusan itu seluruhnya di tangan Allah.” (QS. Ali Imran [3]: 154)
Akidah Islam tidak membenarkan umatnya
menghalalkan dan mengharamkan sesuatu menurut manusia.
اتَّخَذُوا
أَحْبَارَهُمْ
وَرُهْبَانَهُمْ
أَرْبَابًا
مِنْ دُونِ
اللهِ
وَالْمَسِيحَ
ابْنَ
مَرْيَمَ
وَمَا
أُمِرُوا
إِلاَّ لِيَعْبُدُوا
إِلَهًا
وَاحِدًا لاَ
إِلَهَ
إِلاَّ هُوَ
سُبْحَانَهُ
عَمَّا
يُشْرِكُونَ
“Mereka menjadikan orang-orang alim dan rahib-rahib
mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah serta mempertuhankan al-Masih putra
Maryam. Padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa. Tidak ada
Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Mahasuci Allah dari apa yang mereka
persekutukan.” (QS. [9] at-Taubah: 31)
Dikemukakan oleh Hudzaifah bin
al-Yamani, Ibnu Abbas, dan lain-lain bahwa kaum Yahudi dan Nasrani itu
mengikuti pendeta dan rahib mereka dalam perkara yang mereka halalkan dan
mereka haramkan. (al-Suyuthi, al-Durr al-Mantsûr, vol.
3, 354-355; Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 2 (Riyadh: Dar ‘Alam al-Kutub, 1997), 432)
Asy-Syaukani menyatakan,“Sesungguhnya mereka menaati
pendeta-pendeta mereka, dalam perintah dan larangannya. Pendeta-pendeta itu
menempati kedudukan sebagai tuhan-tuhan karena mereka ditaati sebagaimana
layaknya tuhan-tuhan.” (al-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 2, 452)
Pengertian itu didasarkan pada
penjelasan Rasulullah Saw. terhadap ayat ini. Diriwayatkan dari Adi bin Hatim:
Saya mendatangi Rasulullah dengan mengenakan kalung salib
dari perak di leherku. Rasulullah Saw. bersabda, “Wahai Adi, lemparkanlah
patung itu dari lehermu.” Kemudian saya melemparkannya. Usai saya lakukan,
Beliau membaca ayat ini: Ittakhadzû
ahbârahum wa ruhbânahum min dûni Allâh, hingga selesai [QS. (9) at-Taubah:
31]. Saya berkata, “Sesungguhnya kami tidak menyembah mereka.” Beliau bertanya,
“Bukankah para pendeta dan rahib itu mengharamkan apa yang dihalalkan Allah,
lalu kalian mengharamkannya; menghalalkan apa yang diharamkan Allah, lalu
kalian menghalalkannya.” Aku menjawab, “Memang begitulah.” Beliau bersabda,
“Itulah ibadah (penyembahan) mereka kepada pendeta-pendeta dan rahib-rahib
mereka.” (HR. ath-Thabrani dari Adi Bin Hatim; Bisa
juga dilihat dalam al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl
al-Qur’aân, vol. 6, 354; al-Suyuthi, al-Durr
al-Mantsûr, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyyah, 1990), 354; al-Wahidi al-Naisaburi, al-Wasîth fî
Tafsîr al-Qur’ân al-Majîd, vol. 2
(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1999), 489. Hadits serupa dengan sedikit
perbedaan redaksional bahasa dapat dijumpat dalam banyak kitab tafsir, seperti:
al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 8 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 77;
al-Zamakhsyari, al-Kasysyâf,vol.
2, 256; Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 2, 432; al-Qasimi,Mahâsin
al-Ta’wîl, vol. 5 (Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyyah, 1997), 394)
Subhânahu ‘ammâ yusyrikûna (Mahasuci
Allah dari apa yang mereka persekutukan) oleh al-Khazin frasa ini dijelaskan,
“Mahasuci Allah Swt. dari sekutu bagi-Nya dalam ibadah, dan hukum, dan sekutu
dalam ketuhanan yang berhak dan diagungkan.” (al-Khazin, Lubâb
al-Ta’wîll, vol. 2, 353)
Orang-orang musyrik Arab, kendati
mengakui bahwa Allah Swt. sebagai Pencipta, Pengatur, dan Pemilik alam raya,
mereka tidak dapat dikategorikan sebagai Mukmin. Pasalnya, mereka tidak
mengakui Allah Swt. sebagai satu-satunya ilâh yang
patut ditaati (Taufik Mustofa, “Lâ Ilâha
IllâLlâh: Lâ Ma’bûda IllâLlâh”, al-Wa’y, 96 (Dzu al-Hijjah, 1415), 4. Kesimpulan tersebut
didasarkan pada QS. al-Mukminun [23]: 84-90; al-Ankabut [29]: 61-63). Ini
pula yang ditegaskan dalam ayat di atas. Kaum Yahudi dan Nasrani mendudukkan
pendeta dan rahib mereka sebagai memiliki otoritas/kewenangan membuat hukum.
Sekalipun Allah Swt. jelas-jelas mewajibkan penerapan Syariah
dalam kehidupan, perintah itu tidak boleh dijalankan sebelum mendapat
persetujuan dari lembaga legislatif terlebih dahulu. Jika lembaga itu
menyetujuinya, baru boleh diterapkan. Sebaliknya, jika lembaga itu menolaknya
maka Syariah tidak boleh dijalankan. Jika demikian, apa bedanya para pembuat
hukum itu dengan para pendeta dan rahib yang dalam ayat ini disebut sebagai
tuhan-tuhan selain Allah Swt.? Mereka disebut demikian lantaran didudukkan
sebagai pembuat hukum yang wajib ditaati. Dengan demikian, siapapun yang
ditahbiskan memiliki otoritas yang sama, merekapun layak disebut sebagai arbâb min dûni Allâh, tuhan-tuhan selain
Allah Swt.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar