Unduh BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Kamis, 12 November 2015

Kewajiban Syariah Islam



بسم الله الرحمن الرحيم

Imam Syaukani di dalam Kitab Fath al-Qadiir menyatakan:
الشرعة والشريعة في الأصل : الطريقة الظاهرة التي يتوصل بها إلى الماء ، ثم استعملت فيما شرعه الله لعباده من الدين . والمنهاج : الطريقة الواضحة البينة . وقال أبو العباس محمد بن يزيد المبرد الشريعة : ابتداء الطريق ، والمنهاج الطريق المستمر . ومعنى الآية : أنه جعل التوراة لأهلها ، والإنجيل لأهله ، والقرآن لأهله ، وهذا قبل نسخ الشرائع السابقة بالقرآن ، وأما بعده فلا شرعة ولا منهاج إلا ما جاء به محمد صلى الله عليه وسلم.
“Pada asalnya, kata al-syir’ah dan al-syarii’ah bermakna jalan terang yang bisa mencapai air. Selanjutnya kata ini digunakan dengan makna, agama (diin) yang disyariatkan Allah Swt. kepada hamba-Nya. Sedangkan kata al-minhaaj: jalan terang dan jelas. Abu al-’Abbas Mohammad bin Yazid al-Mubarrad: ”Kata al-syarii’ah bermakna ibtidaa’ al-thariiq (permulaan jalan), sedangkan al-minhaaj bermakna jalan yang berulang-ulang (al-thariiq al-mustamirah). Makna ayat ini [QS. al-Maidah: 48] adalah: Sesungguhnya Allah Swt. menjadikan Taurat untuk pemeluknya, Injil untuk pemiliknya, dan al-Quran untuk pemeluknya. Ini terjadi sebelum penghapusan syariat-syariat terdahulu oleh al-Quran. Adapun setelah turunnya al-Qur’an, maka tidak ada syir’ah dan minhaaj, kecuali yang dibawa oleh Nabi Mohammad Saw.” (Imam Syaukaniy, Fath al-Qadiir, juz 2, hal. 319)

Kata ”syarii’ah” selalu berkonotasi hukum Allah yang ditetapkan untuk mengatur seluruh interaksi manusia di kehidupan dunia. Makna semacam ini secara eksplisit disebutkan di dalam al-Quran. Allah Swt. berfirman:
لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا
”… Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang…” (QS. Al Maidah (5): 48)

Di dalam hadits shahih juga dituturkan bahwasanya Rasulullah Saw. menggunakan kata syarii’ah dengan makna hukum. Rasulullah Saw. bersabda:
لَا تَزَالُ الْأُمَّةُ عَلَى الشَّرِيعَةِ مَا لَمْ يَظْهَرْ فِيهَا ثَلَاثٌ مَا لَمْ يُقْبَضْ الْعِلْمُ مِنْهُمْ وَيَكْثُرْ فِيهِمْ وَلَدُ الْحِنْثِ وَيَظْهَرْ فِيهِمْ الصَّقَّارُونَ قَالَ وَمَا الصَّقَّارُونَ أَوْ الصَّقْلَاوُونَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ بَشَرٌ يَكُونُ فِي آخِرِ الزَّمَانِ تَحِيَّتُهُمْ بَيْنَهُمْ التَّلَاعُنُ
”Umat akan selalu berada di atas syarii’ah, selama di tengah-tengah mereka belum tampak tiga perkara. Selama ilmu belum dicabut dari mereka, dan selama di tengah-tengah mereka belum banyak anak banci, serta belum tampak di tengah-tengah mereka al-shaqqaaruun.” Para shahabat bertanya, ”Ya Rasulullah, apa al-shaqqaaruun atau al-shaqqlaawuun itu?” Rasulullah Saw. menjawab, “Manusia yang ada di akhir zaman, yang mana, ucapan selamat di antara mereka adalah saling melaknat.” (HR. Imam Ahmad)

Prof. Mahmud Syaltut, di dalam Kitab al-Islaam: ’Aqiidah wa Syarii’ah menyatakan:
الشريعة هى النظم التى شرعها الله أو شرع أصولها ليأخذ الإنسان بها نفسه فى علاقته بربه, و علاقته بأخيه المسلم , و علاقته بأخيه الإنسان, و علاقته بالكون , و علاقته بالحياة
Syarii’ah adalah aturan-aturan (sistem) yang Allah telah mensyariatkannya, atau mensyariatkan pokok dari aturan-aturan tersebut, agar manusia mengadopsi aturan-aturan tersebut untuk mengatur hubungan dirinya dengan Tuhannya, dan hubungan dirinya dengan saudaranya yang Muslim dan saudara kemanusiaannya (non Muslim), dan hubungan dirinya dengan alam semesta dan kehidupan.” [Syaikh Mahmud Syaltut, al-Islaam, ’Aqiidah wa Syarii’ah, hal. 12]
 ﴿وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ﴾
“Siapa saja yang tidak berhukum dengan apa yang telah Allah turunkan, maka mereka itu adalah orang-orang zalim.” (QS. al-Maidah [5]: 45)
 ﴿وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ﴾
“Siapa saja yang tidak berhukum dengan apa yang telah Allah turunkan, maka mereka itu adalah orang-orang fasik.” (QS. al-Maidah [5]: 47)
 ﴿وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ ﴾
“Siapa saja yang tidak berhukum dengan apa yang telah Allah turunkan, maka mereka itu adalah orang-orang kafir.” (QS. al-Maidah [5]: 44)

Ketiga ayat tersebut bersifat umum, meliputi semua orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah Swt. Ketiga ayat tersebut turun berkenaan dengan kaum Yahudi dan Nasrani, akan tetapi tidak bisa dibatasi hanya untuk mereka. Sebab ungkapannya bersifat umum. Kata man yang berkedudukan sebagai syarat memberi makna umum, sehingga tidak dikhususkan kepada kelompok tertentu. (al-Razi, al-Tafsîr al-Kabîr, vol. 12, 6; al-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 2, 53; al-Qinuji, Fath al-Bayân, vol. 3, 428)
Dalam kaidah yang rajih disebutkan:
الْعِبْرَةُ بِعُمُومِ اللَّفْظِ لَا بِخُصُوصِ السَّبَبِ
“Berlakunya hukum dilihat dari umumnya lafadz, bukan khususnya sebab.”

Tidak semua orang yang tidak memutuskan perkara dengan hukum Allah secara langsung dapat digolongkan sebagai kafir. Diperlukan pengkajian secara cermat dan mendalam agar tidak jatuh dalam tindakan takfir (pengkafiran) yang tidak pada tempatnya. Perbuatan ‘memutuskan perkara dengan hukum Allah’ termasuk dalam wilayah Syariah. Secara Syar’i, perbuatan tersebut termasuk dalam hukum wajib.
Sebagai persoalan yang termasuk dalam wilayah Syariah, meninggalkan kewajiban ini dikatagorikan sebagai perbuatan dosa. Namun pelanggaran tersebut tidak sampai mengeluarkan seseorang dari status keimanannya atau keIslamannya.
Status kafir atau murtad baru dapat diberikan apabila seseorang mengingkari hukum-hukum-Nya. Apabila seseorang mengingkari wajibnya berhukum dengan Syariah, maka pengingkaran itu dapat menyebabkannya keluar dari Islam alias kafir. Status kafir atau murtad itu bukan disebabkan karena tindakannya yang tidak memutuskan perkara dengan hukum Allah namun karena pengingkarannya terhadap suatu perkara yang telah dipastikan oleh al-Qur’an dan al-Sunnah. Dalam hal pengingkaran, masalahnya bukan sekadar pelanggaran terhadap ketetapan hukum Syara’, namun sudah masuk dalam wilayah Aqidah. Sementara Aqidah inilah yang menjadi pembeda antara orang mukmin dengan orang kafir.

Allah SWT telah berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا وَاسْتَكْبَرُوا عَنْهَا لَا تُفَتَّحُ لَهُمْ أَبْوَابُ السَّمَاءِ وَلَا يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ حَتَّىٰ يَلِجَ الْجَمَلُ فِي سَمِّ الْخِيَاطِ
“Sesungguhnya orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan menyombongkan diri terhadapnya sekali-kali tidak akan dibukakan bagi mereka pintu-pintu langit dan tidak pula mereka masuk surga hingga unta masuk ke lubang jarum.” (QS. al-A’raf [7]: 40)

Ibnu Abbas mengatakan:
مَنْ جَحَدَ مَا أَنْزَلَ اللهُ فَقَدْ كَفَرَ. وَمَنْ أَقَرَّ بَهَ وَلَمْ يَحْكُمْ، فَهُوَ ظَالِمٌ فَاسِقٌ
“Barangsiapa yang mengingkari apa yang diturunkan Allah, sungguh dia telah kafir. Dan barangsiapa mengakuinya namun tidak berhukum dengannya, maka dia adalah dzalim-fasik.” (al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân, vol. 10; al-Wahidi, al-Wasîth fî Tafsîr al-Qur’ân al-Majîd, vol. 2, 191; Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al’Azhîm, vol. 2 , 80; al-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 2, 56; al-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, vol. 1, 439)

Syekh Taqiyuddin al-Nabhani dan Abdul Qadim Zallum dalam Nidzâm al-Hukm fî al-Islâm menuturkan:
وقد أمر الله السلطان والحاكم أن يحكم بما أنزل الله على رسوله, وجعل من يحكم بما بغير ما أنزل الله كافرا إن اعتقد به, أو اعتقد بعدم صلاحية ما أنزل الله على رسوله, وجعل عاصيا وفاسقا وظالما إن حكم به ولم يعتقده
“Dan sungguh Allah telah memerintahkan sulthon dan penguasa untuk berhukum dengan apa yang Allah Swt. turunkan kepada Rasul-Nya; dan menjadikan orang yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan sebagai orang kafir jika dia meyakininya, atau meyakini tidak layaknya apa yang Allah turunkan; dan menjadikannya sebagai orang yang maksiat, fasik, dan dzalim, jika berhukum dengan (selain apa yang Allah turunkan) dan tidak meyakininya.” (Taqiyuddin al-Nabhani dan Abdul Qadim al-Zallum, Nidzâm al-Hukm fî al-Islâm (Beirut: Dar al-Ummah, 2002), 20)
Pandangan demikian, menurut Wahbah al-Zuhaili merupakan pandangan jumhur Ahlussunnah. (al-Zuhayli, Tafsîr al-Munîr, vol. 5, 206)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Download BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam