بسم
الله الرحمن
الرحيم
Imam Syaukani di dalam Kitab Fath al-Qadiir menyatakan:
الشرعة
والشريعة في
الأصل :
الطريقة
الظاهرة التي
يتوصل بها إلى
الماء ، ثم
استعملت فيما
شرعه الله
لعباده من
الدين .
والمنهاج :
الطريقة
الواضحة
البينة . وقال
أبو العباس محمد
بن يزيد
المبرد
الشريعة :
ابتداء
الطريق ،
والمنهاج
الطريق
المستمر .
ومعنى الآية :
أنه جعل
التوراة
لأهلها ،
والإنجيل
لأهله ، والقرآن
لأهله ، وهذا
قبل نسخ
الشرائع السابقة
بالقرآن ،
وأما بعده فلا
شرعة ولا
منهاج إلا ما
جاء به محمد
صلى الله عليه
وسلم.
“Pada asalnya, kata al-syir’ah dan al-syarii’ah bermakna jalan terang yang bisa mencapai air.
Selanjutnya kata ini digunakan dengan makna, agama (diin) yang disyariatkan Allah Swt. kepada hamba-Nya. Sedangkan
kata al-minhaaj: jalan terang dan
jelas. Abu al-’Abbas Mohammad bin Yazid al-Mubarrad: ”Kata al-syarii’ah bermakna ibtidaa’ al-thariiq (permulaan jalan),
sedangkan al-minhaaj bermakna jalan
yang berulang-ulang (al-thariiq
al-mustamirah). Makna ayat ini [QS. al-Maidah: 48] adalah: Sesungguhnya
Allah Swt. menjadikan Taurat untuk pemeluknya, Injil untuk pemiliknya, dan
al-Quran untuk pemeluknya. Ini terjadi sebelum penghapusan syariat-syariat
terdahulu oleh al-Quran. Adapun setelah turunnya al-Qur’an, maka tidak ada
syir’ah dan minhaaj, kecuali yang dibawa oleh Nabi Mohammad Saw.” (Imam
Syaukaniy, Fath al-Qadiir, juz 2,
hal. 319)
Kata ”syarii’ah”
selalu berkonotasi hukum Allah yang ditetapkan untuk mengatur seluruh interaksi
manusia di kehidupan dunia. Makna semacam ini secara eksplisit disebutkan
di dalam al-Quran. Allah Swt. berfirman:
لِكُلٍّ
جَعَلْنَا
مِنكُمْ
شِرْعَةً
وَمِنْهَاجًا
”… Untuk tiap-tiap umat di antara kamu,
Kami berikan aturan dan jalan yang terang…” (QS. Al Maidah (5): 48)
Di dalam hadits shahih juga dituturkan bahwasanya Rasulullah
Saw. menggunakan kata syarii’ah
dengan makna hukum. Rasulullah Saw. bersabda:
لَا
تَزَالُ
الْأُمَّةُ
عَلَى
الشَّرِيعَةِ
مَا لَمْ
يَظْهَرْ
فِيهَا
ثَلَاثٌ مَا
لَمْ
يُقْبَضْ
الْعِلْمُ
مِنْهُمْ
وَيَكْثُرْ
فِيهِمْ
وَلَدُ الْحِنْثِ
وَيَظْهَرْ
فِيهِمْ
الصَّقَّارُونَ
قَالَ وَمَا
الصَّقَّارُونَ
أَوْ الصَّقْلَاوُونَ
يَا رَسُولَ
اللَّهِ
قَالَ بَشَرٌ
يَكُونُ فِي
آخِرِ
الزَّمَانِ
تَحِيَّتُهُمْ
بَيْنَهُمْ
التَّلَاعُنُ
”Umat akan selalu berada di atas syarii’ah, selama di tengah-tengah mereka belum tampak tiga
perkara. Selama ilmu belum dicabut dari mereka, dan selama di tengah-tengah
mereka belum banyak anak banci, serta belum tampak di tengah-tengah mereka al-shaqqaaruun.” Para shahabat
bertanya, ”Ya Rasulullah, apa al-shaqqaaruun
atau al-shaqqlaawuun itu?” Rasulullah
Saw. menjawab, “Manusia yang ada di akhir zaman, yang mana, ucapan selamat di antara
mereka adalah saling melaknat.” (HR. Imam Ahmad)
Prof. Mahmud Syaltut, di dalam Kitab al-Islaam: ’Aqiidah wa Syarii’ah
menyatakan:
الشريعة
هى النظم التى
شرعها الله أو
شرع أصولها
ليأخذ
الإنسان بها
نفسه فى
علاقته بربه,
و علاقته
بأخيه المسلم
, و علاقته
بأخيه الإنسان,
و علاقته
بالكون , و
علاقته
بالحياة
“Syarii’ah
adalah aturan-aturan (sistem) yang Allah telah mensyariatkannya, atau
mensyariatkan pokok dari aturan-aturan tersebut, agar manusia mengadopsi
aturan-aturan tersebut untuk mengatur hubungan dirinya dengan Tuhannya, dan
hubungan dirinya dengan saudaranya yang Muslim dan saudara kemanusiaannya (non
Muslim), dan hubungan dirinya dengan alam semesta dan kehidupan.” [Syaikh
Mahmud Syaltut, al-Islaam, ’Aqiidah wa
Syarii’ah, hal. 12]
﴿وَمَنْ
لَمْ
يَحْكُمْ
بِمَا
أَنْزَلَ
اللَّهُ
فَأُولَئِكَ
هُمُ
الظَّالِمُونَ﴾
“Siapa saja yang tidak berhukum dengan apa yang telah
Allah turunkan, maka mereka itu adalah orang-orang zalim.” (QS. al-Maidah [5]: 45)
﴿وَمَنْ
لَمْ
يَحْكُمْ
بِمَا
أَنْزَلَ
اللَّهُ
فَأُولَئِكَ
هُمُ
الْفَاسِقُونَ﴾
“Siapa saja yang tidak berhukum dengan apa yang telah
Allah turunkan, maka mereka itu adalah orang-orang fasik.” (QS. al-Maidah [5]: 47)
﴿وَمَنْ
لَمْ
يَحْكُمْ
بِمَا
أَنْزَلَ
اللَّهُ
فَأُولَئِكَ
هُمُ
الْكَافِرُونَ
﴾
“Siapa saja yang tidak berhukum dengan apa yang telah
Allah turunkan, maka mereka itu adalah orang-orang kafir.” (QS. al-Maidah [5]: 44)
Ketiga ayat tersebut bersifat umum, meliputi semua orang
yang tidak berhukum dengan hukum Allah Swt. Ketiga ayat tersebut turun
berkenaan dengan kaum Yahudi dan Nasrani, akan tetapi tidak bisa dibatasi hanya
untuk mereka. Sebab ungkapannya bersifat umum. Kata man yang
berkedudukan sebagai syarat memberi makna umum, sehingga tidak dikhususkan
kepada kelompok tertentu. (al-Razi, al-Tafsîr
al-Kabîr, vol. 12, 6; al-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 2, 53; al-Qinuji, Fath al-Bayân, vol. 3, 428)
Dalam kaidah yang rajih disebutkan:
الْعِبْرَةُ
بِعُمُومِ
اللَّفْظِ
لَا بِخُصُوصِ
السَّبَبِ
“Berlakunya hukum dilihat dari
umumnya lafadz, bukan khususnya sebab.”
Tidak semua orang yang tidak memutuskan
perkara dengan hukum Allah secara langsung dapat digolongkan sebagai kafir.
Diperlukan pengkajian secara cermat dan mendalam agar tidak jatuh dalam
tindakan takfir (pengkafiran) yang tidak pada tempatnya. Perbuatan
‘memutuskan perkara dengan hukum Allah’ termasuk dalam wilayah Syariah. Secara
Syar’i, perbuatan tersebut termasuk dalam hukum wajib.
Sebagai persoalan yang termasuk dalam
wilayah Syariah, meninggalkan kewajiban ini dikatagorikan sebagai perbuatan
dosa. Namun pelanggaran tersebut tidak sampai mengeluarkan seseorang dari
status keimanannya atau keIslamannya.
Status kafir atau murtad baru dapat
diberikan apabila seseorang mengingkari hukum-hukum-Nya. Apabila seseorang mengingkari wajibnya berhukum dengan
Syariah, maka pengingkaran itu dapat menyebabkannya keluar dari Islam alias
kafir. Status kafir atau murtad itu bukan disebabkan karena tindakannya yang
tidak memutuskan perkara dengan hukum Allah namun karena pengingkarannya
terhadap suatu perkara yang telah dipastikan oleh al-Qur’an dan al-Sunnah.
Dalam hal pengingkaran, masalahnya bukan sekadar pelanggaran terhadap ketetapan
hukum Syara’, namun sudah masuk dalam wilayah Aqidah. Sementara Aqidah inilah
yang menjadi pembeda antara orang mukmin dengan orang kafir.
Allah SWT telah berfirman:
إِنَّ
الَّذِينَ
كَذَّبُوا
بِآيَاتِنَا
وَاسْتَكْبَرُوا
عَنْهَا لَا
تُفَتَّحُ
لَهُمْ أَبْوَابُ
السَّمَاءِ
وَلَا
يَدْخُلُونَ
الْجَنَّةَ
حَتَّىٰ
يَلِجَ
الْجَمَلُ
فِي سَمِّ
الْخِيَاطِ
“Sesungguhnya orang-orang yang
mendustakan ayat-ayat Kami dan menyombongkan diri terhadapnya sekali-kali tidak
akan dibukakan bagi mereka pintu-pintu langit dan tidak pula mereka masuk surga
hingga unta masuk ke lubang jarum.” (QS. al-A’raf [7]: 40)
Ibnu Abbas mengatakan:
مَنْ
جَحَدَ مَا
أَنْزَلَ
اللهُ فَقَدْ
كَفَرَ.
وَمَنْ
أَقَرَّ بَهَ وَلَمْ
يَحْكُمْ،
فَهُوَ
ظَالِمٌ
فَاسِقٌ
“Barangsiapa yang mengingkari apa yang diturunkan Allah,
sungguh dia telah kafir. Dan barangsiapa mengakuinya namun tidak berhukum
dengannya, maka dia adalah dzalim-fasik.” (al-Thabari, Jâmi’
al-Bayân, vol. 10; al-Wahidi, al-Wasîth
fî Tafsîr al-Qur’ân al-Majîd, vol.
2, 191; Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al’Azhîm, vol. 2 ,
80; al-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 2, 56; al-Samarqandi, Bahr
al-‘Ulûm, vol. 1, 439)
Syekh Taqiyuddin al-Nabhani dan Abdul Qadim Zallum
dalam Nidzâm al-Hukm fî al-Islâm menuturkan:
وقد
أمر الله
السلطان
والحاكم أن
يحكم بما أنزل
الله على
رسوله, وجعل
من يحكم بما
بغير ما أنزل
الله كافرا إن
اعتقد به, أو
اعتقد بعدم صلاحية
ما أنزل الله
على رسوله,
وجعل عاصيا
وفاسقا
وظالما إن حكم
به ولم يعتقده
“Dan sungguh Allah telah
memerintahkan sulthon dan penguasa untuk berhukum dengan apa yang Allah
Swt. turunkan kepada Rasul-Nya; dan menjadikan orang yang tidak berhukum dengan
apa yang Allah turunkan sebagai orang kafir jika dia meyakininya, atau meyakini
tidak layaknya apa yang Allah turunkan; dan menjadikannya sebagai orang yang
maksiat, fasik, dan dzalim, jika berhukum dengan (selain
apa yang Allah turunkan) dan tidak meyakininya.” (Taqiyuddin al-Nabhani dan Abdul Qadim al-Zallum, Nidzâm
al-Hukm fî al-Islâm (Beirut: Dar
al-Ummah, 2002), 20)
Pandangan demikian, menurut Wahbah
al-Zuhaili merupakan pandangan jumhur Ahlussunnah. (al-Zuhayli, Tafsîr al-Munîr,
vol. 5, 206)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar