Yunus bin Bukair ra. menuturkan bahwa Rasulullah Saw.
pernah menulis surat kepada penduduk Najran, di antara isinya:
… أَمّا
بَعْدُ
فَإِنّي
أَدْعُوكُمْ
إلَى عِبَادَةِ
اللّهِ مِنْ
عِبَادَةِ
الْعِبَادِ
وَأَدْعُوكُمْ
إلَى وِلاَيَةِ
اللّهِ مِنْ
وِلاَيَةِ
الْعِبَادِ …
“Amma ba’du. Aku menyeru
kalian ke penghambaan kepada Allah dari penghambaan kepada hamba (manusia). Aku
pun menyeru kalian ke kekuasaan (wilâyah) Allah dari kekuasaan hamba (manusia)
…” (Ibn Katsir, Al-Bidâyah
wa an-Nihâyah, v/553, Maktabah al-Ma’arif, Beirut)
Misi mewujudkan kemerdekaan hakiki untuk seluruh umat
manusia itu juga terungkap kuat dalam dialog Jenderal Rustum dengan Mughirah
bin Syu’bah yang diutus oleh Panglima Saad bin Abi Waqash. Pernyataan misi itu
diulang lagi dalam dialog Jenderal Rustum (Persia) dengan Rab’iy bin ‘Amir
(utusan Panglima Saad bin Abi Waqash) yang diutus setelah Mughirah bin Syu’bah
pada Perang Qadisiyah untuk membebaskan Persia. Jenderal Rustum bertanya kepada
Rab’iy bin ‘Amir, “Apa yang kalian bawa?” Rab’iy bin ‘Amir menjawab:
اَللهُ
اِبْتَعَثْنَا
وَاللهِ
جَاءَ بِنَا
لِنُخْرِجَ
مَنْ شَاءَ
مِنْ
عِبَادَةِ الْعِبَادِ
إِلَى
عِبَادَةِ
اللهِ وَمِنْ
ضَيْقِ
الدُّنْيَا
إِلَى
سَعَتِهَا
وَمِنْ جَوْرِ
اْلأَدْيَانِ
إِلَى عَدْلِ
اْلإِسْلاَمِ …
“Allah telah mengutus kami.
Demi Allah, Allah telah mendatangkan kami agar kami mengeluarkan siapa saja
yang mau dari penghambaan kepada hamba (manusia) menuju penghambaan hanya
kepada Allah, dari kesempitan dunia menuju kelapangannya dan dari kezaliman
agama-agama (selain Islam) menuju keadilan Islam….” (Ibnu Jarir ath-Thabari, Târîkh
al-Umam wa al-Muluk, ii/401, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, Beirut)
Orang-orang yang berpaling dari Syariat
Allah dan hanya mengikuti akal dan hawa nafsunya juga ditutup hati, pendengaran
dan penglihatannya dari petunjuk. Dengan demikian mereka hidup dalam kesesatan.
Allah Swt. berfirman:
أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللَّهُ عَلَى عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَى سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَى بَصَرِهِ غِشَاوَةً فَمَنْ يَهْدِيهِ مِنْ بَعْدِ اللَّهِ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ
“Apakah
engkau tidak melihat bagaimana orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhan
dan Allah menyesatkan mereka atas dasar ilmu, menutup pendengaran mereka dan
menjadikan penutup pada penglihatan mereka. Maka siapakah yang memberikan
petunjuk kepada mereka selain Allah?. Maka tidakkah engkau mengambil
pelajaran?” (QS.
Al-Jatsiyah [45]: 23)
Mengikuti hawa nafsu dan
mendahulukannya ketimbang mengikuti hukum Allah Swt. juga akan membuat
seseorang menjadi tersesat dan jauh dari jalan kebenaran. Allah Swt.
berfirman:
يَا
دَاوُودُ
إِنَّا
جَعَلْنَاكَ
خَلِيفَةً
فِي
الْأَرْضِ
فَاحْكُمْ
بَيْنَ
النَّاسِ
بِالْحَقِّ
وَلَا
تَتَّبِعِ
الْهَوَى
فَيُضِلَّكَ
عَنْ سَبِيلِ
اللَّهِ إِنَّ
الَّذِينَ
يَضِلُّونَ
عَنْ سَبِيلِ
اللَّهِ
لَهُمْ
عَذَابٌ
شَدِيدٌ
بِمَا نَسُوا
يَوْمَ
الْحِسَابِ
“Wahai Daud
sesungguhnya kami menjadikan engkau sebagai khalifah di bumi maka hukumilah
manusia dengan kebenaran dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu sehingga ia
menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari
jalan Allah maka bagi mereka adalah azab yang pedih karena mereka telah
melupakan Hari Perhitungan.” (QS. Shad [38]: 26)
Menurut Ibn Taimiyah, siapa saja yang
tidak mengikuti perintah Allah SWT dan Rasul-Nya pada
dasarnya dia telah mengikuti hawa
nafsunya tanpa mendapatkan petunjuk dari Allah SWT.
Nafsu harus tunduk pada wahyu.
لا
يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ
حَتَّى
يَكُونَ
هَوَاهُ
تَبَعًا
لِمَا جِئْتُ
بِهِ
“Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian sampai
hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa.” (HR. al-Hakim, al-Khathib, Ibn Abi
‘Ashim dan al-Hasan bin Sufyan; disebutkan An-Nawawi dalam Al-Arba’un
an-Nawawiyah, Hadits ke-41)
Di dalam At-Ta’rifât,
al-Jurjani menjelaskan bahwa al-hawâ
adalah kecenderungan jiwa (mayl an-nafsi)
pada syahwat yang menyenangkannya tanpa alasan Syariah. Muhammad Rawas Qal’ah
Ji di dalam Mu’jam Lughah al-Fuqaha’
juga menjelaskan, al-hawâ adalah
kecenderungan jiwa pada apa yang disukai tanpa memperhatikan hukum Syariah
dalam hal itu.
Secara bahasa al-hawâ
adalah kecenderungan, keinginan atau kecintaan secara mutlak. Dalam penggunaannya,
kata al-hawâ itu jika disebutkan
secara mutlak maka yang dimaksudkan adalah kecenderungan pada apa yang
menyalahi kebenaran.
Hawa nafsu adalah segala ucapan atau
tindakan yang bertentangan dengan wahyu. Hawa nafsu adalah lawan dari wahyu. Firman
Allah SWT:
وَمَا
يَنْطِقُ
عَنِ
الْهَوَى *
إِنْ هُوَ إِلا
وَحْيٌ
يُوحَى
“Tidaklah yang diucapkan Rasul itu berasal dari
hawa nafsunya. Ucapan Rasul itu tidak lain adalah wahyu yang diwahyukan Allah
kepada dirinya.” (QS. an-Najm [53]:
3-4).
Segala ucapan dan tindakan Rasulullah
Saw. pasti bersumber dari wahyu, bukan dari hawa nafsu. (Abu Bakar al-Jazairi, Aysar at-Tafasir, III/526)
Segala perbuatan Rasul Saw. pasti tidak menyalahi wahyu.
Ibn Rajab al-Hanbali dalam Jâmi’ al-‘Ulûm wa al-Hikam mengatakan:
“Jadi yang wajib bagi setiap Mukmin adalah mencintai apa
yang dicintai Allah SWT dengan kecintaan yang mengantarkan dirinya melakukan
apa yang diwajibkan. Jika kecintaan itu bertambah sehingga ia melakukan apa
yang disunnahkan maka itu adalah keutamaan. Setiap Muslim juga hendaknya tidak
menyukai apa yang tidak disukai oleh Allah SWT dengan ketidaksukaan yang
mengantarkan dirinya menahan diri dari apa yang Allah haramkan atas dirinya.
Jika ketidaksukaan itu bertambah sehingga mengantarkan dirinya menahan diri
dari apa yang dimakruhkan Allah, maka itu merupakan keutamaan.”
Hadits ini juga bermakna bahwa seseorang haruslah
menjadikan keinginan Nabi Saw. lebih dia kedepankan daripada keinginannya, dan Syariah
yang dibawa Nabi saw. lebih dia kedepankan daripada hawâ-nya; daripada kecenderungan atau kecintaannya. Jika
keinginannya bertabrakan dengan apa yang Nabi Saw. bawa maka ia mengalahkan
keinginannya dan memenangkan apa yang Nabi Saw. bawa. Sebab, al-hawâ menjadi tâbi’ (yang mengikuti), sementara apa yang Rasul Saw. bawa, yaitu Islam
dan Syariahnya, adalah yang diikuti (al-matbû’).
Semua kemaksiatan itu muncul karena hawa nafsu lebih didahulukan daripada
kecintaan kepada Allah SWT dan Rasul Saw.
Allah SWT menyifati orang-orang musyrik dalam banyak
ayat, bahwa mereka mengikuti hawa nafsu (Lihat, misalnya: QS. al-Qashshash
[28]: 50). Karena itu Allah SWT melarang kita untuk mengikuti hawa nafsu (QS.
an-Nisa’ [4]: 135).
Untuk itu, Islam dan Syariahnya harus kita jadikan
standar dan pedoman. Semua keinginan, kecenderungan dan kesukaan dan tidaknya
harus kita tundukkan pada ketentuan Islam dan Syariahnya. Untuk mewujudkan itu
kita mengerahkan daya upaya menundukkan hawa nafsu. Allah SWT menyediakan
pahala yang besar dan Surga bagi siapa saja yang bisa merealisasikan ini (QS.
an-Nazi’at [79]: 40-41).
Sungguh, pangkal keterpurukan bersumber pada satu hal
yakni penyimpangan terhadap Petunjuk dan Aturan dari Allah Swt. Ini karena kaum
Muslim berpaling dari Al-Quran. Keadaan itu telah diterangkan oleh Allah Swt.
dalam QS. (20) Thaha: 124:
(فَمَنِ
اتَّبَعَ
هُدَايَ
فَلَا
يَضِلُّ وَلَا
يَشْقَى *
وَمَنْ
أَعْرَضَ عَن
ذِكْرِي فَإِنَّ
لَهُ
مَعِيشَةً
ضَنكًا
وَنَحْشُرُهُ
يَوْمَ
الْقِيَامَةِ
أَعْمَى)
“Barangsiapa yang mengikut
petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. Dan barangsiapa
berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang
sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada Hari Kiamat dalam keadaan buta.”
(QS. Thaha: 123-124)
Menurut Imam Ibnu Katsir makna “berpaling dari
peringatan-Ku” adalah: menyalahi Perintah-Ku dan apa yang Aku turunkan kepada
Rasul-Ku, melupakannya dan mengambil petunjuk dari selainnya (Tafsir al-Quran al-‘Azhim, V/323). “Maka baginya kehidupan yang sempit” yakni di dunia, tidak ada ketentraman baginya dan
tidak ada kelapangan untuk dadanya …” (Tafsir al-Quran al-‘Azhim)
Menurut Imam al-Qurthubi dalam
tafsirnya, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur`ân, yang dimaksud
dengan dzikrî, peringatan-Ku, di sini adalah dînî, wa
tilâwatî Kitâbî, wa al-‘amal bimâ fîhi. Yakni agama-Ku, membaca
Kitab-Ku, dan mengamalkan apa yang ada di dalamnya. Ayat ini menegaskan bahwa
siapapun yang berpaling dari agama-Nya, menolak menerapkan Syariah-Nya, dan
justru menerapkan sistem lainnya, maka akibatnya sudah dapat dipastikan. Mereka
akan sengsara dan menderita di dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar