Kaum Muslim diwajibkan untuk menaati Ulil Amri dalam
perkara yang sesuai dengan Syariah, dalam perkara yang tidak menyimpang dari
Syariah. Jika menyimpang dari Syariah maka tidak boleh ditaati. Rasulullah Saw.
bersabda:
لاَ
طَاعَةَ
لِمَخْلُوقٍ
فِي
مَعْصِيَةِ اللهِ
عَزَّ
وَجَلَّ
”Tidak boleh ada ketaatan
kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Allah ‘Azza wa Jalla.” (HR.
Ahmad dari Ali ra.)
Rasul Saw. membatasi ketaatan itu
hanya dalam kemakrufan. Rasul Saw. bersabda:
إِنَّمَا
الطَّاعَةُ
فِيْ
الْمَعْرُوْفِ
“Sesungguhnya
ketaatan itu hanyalah dalam hal yang makruf.” (HR. Ahmad,
al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan an-Nasa’i)
Di dalam Tafsir al-Thabariy disebutkan,
”Abu
Ja’far menyatakan, ”… melakukan amar ma’ruf nahi ’anil mungkar; yakni
memerintahkan manusia untuk mengikuti Nabi Muhammad Saw., dan agamanya yang
berasal dari sisi Allah Swt.; dan mencegah kemungkaran; yakni mereka mencegah
dari ingkar kepada Allah, serta (mencegah) mendustakan Nabi Muhammad Saw. dan
ajaran yang dibawanya dari sisi Allah….” (Imam al-Thabariy, Tafsir al-Thabariy, surat Ali Imron (3): 104)
Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq ra.
berpidato di hadapan kaum Muslim yang datang untuk berbai’at:
فَأَطِيعُونِي
مَا أَطَعْتُ
الله وَرَسُولَه
فَإِذَا
عَصَيْتُ
الله
وَرَسُولَه
فَلا طَاعَة
لِي
عَلَيْكُمْ
“Taatilah
aku selama aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Jika aku durhaka kepada Allah
dan Rasul-Nya, maka kalian tidak wajib taat kepadaku.” (Ath-Thabari, Târîkh
ath-Thabari, II/238)
Imam Syaukaniy ketika menafsirkan firman Allah Swt.,
surat An Nisa’ ayat 59 menjelaskan:
“وأولي
الأمر هم :
الأئمة ،
والسلاطين ،
والقضاة ، وكل
من كانت له
ولاية شرعية
لا ولاية
طاغوتية”
“Ulil amriy
adalah para imam, sulthan, qadliy, dan setiap orang yang memiliki kekuasaan
Syar’iyyah bukan kekuasaan thaghutiyyah.” (Imam al-Syaukaniy, Fath al-Qadiir, juz 2, hal. 166)
Diriwayatkan dari
jalur Ummu al-Hushain al-Ahmasiyah, Rasul Saw. bersabda saat berkhutbah di Haji
Wada’:
وَلَوِ
اسْتُعْمِلَ
عَلَيْكُمْ
عَبْدٌ يَقُودُكُمْ
بِكِتَابِ
اللَّهِ
فَاسْمَعُوا
لَهُ
وَأَطِيعُوا
“Seandainya diangkat sebagai pemimpin atas kalian
seorang (yang asalnya) hamba sahaya yang memimpin kalian dengan Kitabullah maka
dengar dan taatilah dia.” (HR. Muslim [Kitab: al-Imarah, Bab: Wujub tha’atil umara, no: 1838], Ibn Majah, an-Nasai, Ahmad)
Dalam lafal lain, kata “wa law ustu’mila ‘alaykum…” diganti dengan “wa in ummira ‘alaykum ‘abdun
habasyiyun (Jika diangkat amir atas kalian seorang (yang asalnya)
hamba sahaya Habasyi)…”
Hadits ini juga diriwayatkan dengan lafal yang sedikit
berbeda. Rasul Saw. bersabda:
يَا
أَيُّهَا
النَّاسُ
اِتَّقُوْا
اللهَ، وَإِنْ
أُمِّرَ
عَلَيْكُمْ
عَبْدٌ
حَبَشِيٌّ
مُجَدَّعٌ،
فَاسْمَعُوْا
وأَطِيْعُوْا
مَا أَقَامَ
فِيْكُمْ
كِتَابَ
اللهِ
“Wahai manusia, bertakwalah
kepada Allah. Jika diangkat amir atas kalian seorang (yang asalnya) hamba
sahaya Habasyi yang hitam legam maka dengar dan taatilah dia selama dia
menegakkan di tengah kalian Kitabullah.” (HR. at-Tirmidzi)
Handzalah bin ar-Rabi’ ra.—sahabat
sekaligus jurutulis Rasulullah Saw.—menyebutkan bahwa tanpa Khilafah umat Islam
bisa hina dan sesat sebagaimana umat Yahudi dan Nasrani. (Ath-Thabari, Târîkh at-Thabari, hal. 776)
عن
ابن عباس رضي
الله عنهما
قال قال عمر :
لقد خشيت أن
يطول بالناس
زمان حتى يقول
قائل لا نجد
الرجم في كتاب
الله فيضلوا
بترك فريضة
أنزلها الله
ألا وإن الرجم
حق على من زنى
وقد أحصن إذا
قامت البينة أو
كان الحبل أو
الاعتراف .
قال سفيان كذا
حفظت : ألا وقد
رجم رسول الله
صلى الله عليه
وسلم ورجمنا
بعده .
Dari Ibnu Abbas ra. berkata, Umar bin Khoththob ra.
pernah berkata: “Sungguh aku
sangat khawatir akan berlangsung masa yang begitu lama di tengah-tengah umat Islam,
hingga (suatu saat nanti) akan ada yang berkata: “Kami tidak menemukan had
rajam dalam Kitabullah (Al-Qur’an).” Maka (dengan demikian) mereka menjadi
sesat karena telah
meninggalkan kewajiban yang telah Alloh turunkan. Ketahuilah bahwa hukum rajam
itu adalah benar adanya bagi siapa-siapa yang berzina sedang ia telah muhshon
(telah menikah dan telah menggauli pasangannya), jika telah ada bayyinah
(alat bukti berupa 4 orang saksi laki-laki atau yang setara dengannya), atau
kehamilan (di pihak wanita), atau pengakuan (si pelaku).” (Shahîh al-Bukhâri, hadits no. 6829)
Berkata Sufyan (perowi): “Begini yang aku hafal (dari
perkataan Umar bin Khaththab): “Ketahuilah bahwa Rosululloh Saw. benar-benar menerapkan hukum rajam,
dan kami juga menerapkannya sepeninggal Beliau.” (HR. Al-Bukhori)
Bai’at umat kepada Khalifah mengharuskan
umat mendengar dan taat kepada Khalifah yang mereka baiat. Tentu, ini berlaku
selama Khalifah itu masih takwa kepada Allah SWT, menjalankan hukum-hukum-Nya
atas rakyatnya, serta menjalankan semua tanggung jawab dan kewajibannya sesuai
Syariah. Umat wajib menaati dan menolong Khalifah selama kondisinya belum
berubah, meski ia menjadi penguasa (Khalifah) sepanjang hidupnya. (Samarah, An-Nizhâm as-Siyâsiy fi
al-Islâm Nizhâm al-Khilâfah ar-Râsyidah,
hlm. 67)
in kuntum
tu’minûna bi Allâh wa al-yawmi al-âkhir (jika kamu benar-benar mengimani Allah dan Hari Akhirat) mengomentari
kalimat ini, as-Sa’di berkata, “Hal itu menunjukkan bahwa orang yang tidak mengembalikan
masalah yang diperselisihkan kepada keduanya (al-Quran dan as-Sunnah) pada
hakikatnya bukanlah seorang Mukmin, namun beriman kepada thâghût, sebagaimana
disampaikan dalam ayat selanjutnya.” (As-Sa’di, Taysîr al-Karîm ar-Rahmân,
vol. 1, 214)
أَلَمْ
تَرَ إِلَى
الَّذِينَ
يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ
ءَامَنُوا
بِمَا
أُنْزِلَ
إِلَيْكَ
وَمَا
أُنْزِلَ
مِنْ
قَبْلِكَ
يُرِيدُونَ
أَنْ
يَتَحَاكَمُوا
إِلَى
الطَّاغُوتِ
وَقَدْ
أُمِرُوا
أَنْ
يَكْفُرُوا
بِهِ وَيُرِيدُ
الشَّيْطَانُ
أَنْ
يُضِلَّهُمْ
ضَلَالًا
بَعِيدًا
"Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang
mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada
apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut
(undang-undang dan pembuat hukum kufur), padahal mereka telah diperintah
mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan)
penyesatan yang sejauh-jauhnya." (QS. An-Nisaa': 60)
Dijelaskan oleh
Ibnu Katsir dan az-Zuhaili, ini merupakan pengingkaran dari Allah Swt. terhadap
orang-orang yang mengaku mengimani apa yang telah diturunkan kepada Rasul-Nya
dan kepada para nabi terdahulu, namun mereka justru berhukum pada selain
Kitabullah dan Sunnah Rasul. (Ibnu Katsir, Tafsîr
al-Qur’ân al-‘Azhîm, 1/634,
Dar ‘Alam al-Kutub, Riyadh.
1997; az-Zuhaili, At-Tafsîr
al-Munîr, 5/132)
Secara bahasa, kata thâghût berasal dari thaghâ (melampaui batas). Makna ini
terdapat dalam QS. al-Haqqah [69]: 11. Menurut al-Asfahani, kata tersebut
digunakan untuk menunjukkan tajâwaz
al-hadd fî al-‘ishyân (tindakan
melampaui batas dalam kedurhakaan). (Al-Ashfahani. Mu’jam Mufradât Alfâzh al-Qur’ân, hlm. 314, Dar al-Fikr, Beirut.
t.t.)
Makna ini terdapat dalam banyak ayat al-Quran, seperti
dalam firman Allah Swt.:
اذْهَبْ
إِلَى
فِرْعَوْنَ
إِنَّهُ
طَغَى
“Pergilah kepada Fir’aun;
sesungguhnya dia telah melampaui batas” (QS. Thaha [20]: 24)
Kata tersebut terdapat juga dalam QS Thaha [20]: 43,
al-Naziat [79]: 17, al-‘Alaq [96]: 6, dan al-Kahfi [18]: 80. Kata thaghâ yang digunakan dalam semua ayat
itu mengandung pengertian tindakan
melampaui batas dalam kedurhakaan.
Kata thâghût juga diartikan sebagai al-katsîr al-thughyân (yang banyak melampaui batas
dalam kedurhakaan). (Az-Zuhaili, At-Tafsîr
al-Munîr, 5/130)
Al-Asfahani memaknai al-thâghût sebagai kullu mu’tad[in] wa kullu
ma’bûd[in] min dûni Allâh (setiap
yang melampaui batas dan setiap yang disembah selain Allah Swt.). (Al-Ashfahani, Mu’jam Mufradât Alfâzh al-Qur’ân,
hlm. 314)
Firman Allah Swt.:
وَلَقَدْ
بَعَثْنَا
فِي كُلِّ
أُمَّةٍ رَسُولًا
أَنِ
اُعْبُدُوا
اللَّهَ
وَاجْتَنِبُوا
الطَّاغُوتَ
“Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul kepada
tiap-tiap umat (untuk menyerukan), “Sembahlah Allah (saja) dan jauhilah thaghut
itu.” (QS. al-Nahl
[16]: 36)
Secara bahasa, kata al-‘ibâdah berarti al-thâ’ah (ketaatan).
Demikian diartikan oleh Abu Bakar al-Razi dalam Mukhtâr
al-Shihhah. Sehingga, sebagaimana
diterangkan oleh Dr. Ahmad Mukhar dalam Mu’jam al-Lughah
al-‘Arabiyyah al-Mu’âshirah bahwa
kalimat ‘abadal-âh berarti wahhadahu
wa athâ’ahu (mengesakan dan menaati-Nya),
tunduk dan merendahkan diri kepada-Nya, terikat dengan Syariah-Nya, dan
menunaikan fardhu-fardhu-Nya. Al-Samarqandi memaknai ayat ini: Esakanlah Allah dan taatlah kepada-Nya.
Dalam ayat ini, perintah mengesakan dan menaati Allah Swt.
dilawankan dengan perintah menjauhi thâghût.
Thâghût berarti segala yang ditaati yang
menyelisihi wahyu Allah Swt.
Dalam ayat ini (QS. An-Nisaa': 60), kata thaghût sering dikaitkan dengan Ka’ab
bin al-Asyraf. Banyak mufassir menyatakan, dialah yang dimaksud dengan thaghût itu. (Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, 1/514, Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, Beirut.
1995; an-Nasafi, Madârik
at-Tanzîl wa Haqâiq at-Ta’wîl, Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut. 2001; al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, 1/355, Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, Beirut. 1993; al-Khazin, Lubâb
at-Ta’wîl, 1/393, Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut. 1995; al-Baidhawi, Anwâr
at-Tanzîl wa Asrâr at-Ta’wîl, 1/221,
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut. 1998; Nizhamuddin an-Naisaburi, Tafsîr Gharâib al-Qur’ân, 2/436; al-Wahidi an-Naisaburi, Al-Wasîth fî Tafsîr al-Qur’ân
al-Majîd, 2/73;
as-Samarqandi, Bahr
al-‘Ulûm,1/364; al-Jazairi, Aysar
at-Tafâsîr, 1/499,
Nahr al-Khair, Madinah. 1993)
Az-Zamakshyari dan al-Nasafi menuturkan, hal itu disebabkan
karena kezaliman dan permusuhannya terhadap Rasulullah Saw. yang melampaui
batas; bisa juga karena dia menyerupai setan; atau karena dia dipilih untuk
dijadikan sebagai hakim selain Rasulullah Saw. dan berhakim kepada setan.
(Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, 1/514 dan an-Nasafi, Madârik at-Tanzîl wa Haqâiq
at-Ta’wîl)
Jika dihubungkan dengan sabab
nuzul ayat ini, penafsiran
itu memang relevan. Sebab, pemuka Yahudi itulah yang dijadikan sebagai hakim
untuk memutuskan perselisihan. Pengertian thâghût ini tidak terbatas untuk Ka’ab bin
al-Asyraf. Semua orang yang menduduki posisi dan peran yang sama dengannya
tercakup dalam lingkup makna thâghût.
Ibnu Katsir dan al-Zuhaili menegaskan, makna thâghût lebih umum dari Ka’ab bin al-Asraf
yaitu orang-orang yang menyimpang dari al-Kitab dan as-Sunnah serta berhukum
kepada selain keduanya berupa kebatilan adalah thâghût yang dimaksud ayat ini. (Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, 1/634; az-Zuhaili, At-Tafsîr al-Munîr, 5/132)
Abdurrahman al-Sa’di juga memaknai thâghût dalam ayat ini adalah setiap
orang yang berhukum dengan selain syariah Allah (kullu man hakama bi ghayri
syar’illâh). (As-Sa’di, Taysîr
al-Karîm ar-Rahmân, 1/215, Jamiyyah Ihya’ al-Turats al-Islami, tt.
2000)
Thâghût dalam ayat ini adalah
semua hakim yang memutuskan perkara dengan hukum selain al-Quran dan as-Sunnah.
Keinginan mereka berhakim kepada thâghût itu menunjukkan adanya kontradiksi
pada sikap mereka. Mereka mengaku mengimani al-Qur’an dan as-Sunnah yang
diturunkan oleh Allah, tetapi dalam praktiknya justru berhukum kepada yang lain.
Abdurrahman al-Sa’di menyatakan, siapa saja yang mengaku
sebagai Mukmin dan memilih untuk berhakim kepada thâghût, dia adalah pendusta dalam
perkara ini. (As-Sa’di, Taysîr
al-Karîm ar-Rahmân, 1/215)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar