Imam ath-Thabari menegaskan ketika menjelaskan makna
‘al-khayr’ dalam QS. al-Baqarah [2]: 110, “al-khayr adalah perbuatan yang
diridhai Allah.” (ath-Thabari, Tafsîr ath-Thabari). Pada
hakikatnya yang baik untuk manusia itu adalah apa saja yang disukai Allah, atau
diridhai Allah. Pada hakikatnya yang buruk bagi manusia itu adalah apa saja
yang tidak disukai atau dibenci oleh Allah.
Abu Bakar al-Baqilani di dalam al-inshâf menyatakan,
“Semua kaedah-kaedah Syara’ menunjukkan bahwa al-hasan (yang terpuji) adalah apa yang dipuji oleh Syara’ dan
dibolehkannya; sedangkan al-qabîh (yang tercela) adalah apa yang dicela oleh Syara’,
diharamkan dan dilarangnya.”
Penilaian suatu perbuatan sebagai terpuji atau tercela juga
harus mengikuti Syara’.
Allah SWT tegaskan bahwa al-Quran dengan
segala isinya adalah datang dari Allah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
“Diturunkan
Kitab ini dari Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. az-Zumar [39]: 1; al-Jatsiyah [45]: 2; al-Ahqaf [46]: 2)
Al-Hakîm (Maha Bijaksana) yakni dalam
firman-firman, perbuatan, qadar dan syariah-Nya. (Tafsîr Ibn Katsîr)
Imam Izzuddin bin Abdus Salam di dalam Qawâ’id al-Ahkâm fî
Mashâlih al-Anâm halaman 13
menyatakan, “Adapun maslahat dan
mafsadat dunia dan akhirat maka tidak bisa diketahui kecuali dengan Syariah.”
Maslahat adalah
apa yang dituntut atau dibolehkan oleh Syariah; mafsadat adalah apa saja yang
dilarang dan tidak dibolehkan oleh Syariah. Dalam hal ini, para Sahabat
telah memberikan contoh yang bisa kita teladani. Rafi’ bin Khadij berkata,
pamannya berkata—ketika Rasul Saw. melarang mereka dari muzâra’ah/mukhâbarah, yaitu
menyewakan lahan pertanian:
نَهَانَا
رَسُولُ
اللهِ عَنْ
أَمْرٍ كَانَ لَنَا
نَافِعًا
وَطَوَاعِيَةُ
اللهِ وَرَسُولِهِ
أَنْفَعُ
لَنَا
“Rasulullah Saw. telah melarang kami dari satu
perkara yang bermanfaat bagi kami, tetapi ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya
lebih bermanfaat bagi kami. (HR. Muslim, Abu Dawud, an-Nasa’i dan Ahmad).
Rahmat[an] lil ‘alamin itu menjadi sifat
dari Islam secara keseluruhan: akidah, syariah/ hukum-hukumnya termasuk
khilafah, jihad, hudud, dll. Rahmat[an] lil ‘alamin secara sempurna hanya akan terwujud ketika Islam
secara keseluruhan diterapkan secara nyata di tengah-tengah kehidupan.
Imam Ja’far ash-Shadiq, sebagaimana
dikutip dalam kitab Fath
ar-Rabbani wa Faydh arh-Rahmani karya
Syaikh Abdul Qadir al-Jilani, pernah berkata, “Hakikat ubudiah (penghambaan) seseorang terhadap tuannya adalah: ia
menyadari bahwa apa yang ada pada dirinya hakikatnya bukanlah miliknya, tetapi
milik tuannya; ia tunduk dan patuh tanpa membantah terhadap setiap perintah
tuannya; ia tidak membuat aturan apapun selain menerima aturan yang dibuat
tuannya untuk dirinya.” (Imam
Ja’far ash-Shadiq)
Kaidah ushul fiqih:
[اَلأَصْلُ
فِيْ الأَفْعَالِ
التَّقَيُّدُ
بِالْحُكْمِ
الشَّرْعِي]
“Hukum asal perbuatan adalah terikat
dengan hukum Syara’ .” (Lihat An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah, juz 3 hlm. 20) di
mana kelak dia akan dihisab oleh Alloh Swt. berdasarkan hukum-hukum yang telah
ditetapkan-Nya.
فَوَرَبِّكَ لَنَسْأَلَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ * عَمَّا كَانُوا يَعْمَلُونَ [الحجر: 92، 93]
“Maka demi
Tuhanmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua (92), tentang apa yang telah
mereka kerjakan dahulu.” (93) (QS. Al-Hijr: 92-93)
Hadits Nabi
menjelaskan:
»قَالَ
تَرَكْتُ
فِيكُمْ
أَمْرَيْنِ
لَنْ تَضِلُّوا
مَا
تَمَسَّكْتُمْ
بِهِمَا كِتَابَ
اللهِ
وَسُنَّةَ
نَبِيِّهِ «
“Aku telah
meninggalkan dua perkara yang menyebabkan kalian tidak akan sesat selamanya
selama kalian berpegang teguh pada keduanya, yaitu Kitabullah dan Sunnah
Nabi-Nya.” (HR. at-Turmudzî, Abû Dâwud, Ahmad)
Rasul Saw. memerintahkan agar hukum Islam
ditegakkan terhadap siapa saja, termasuk terhadap orang-orang dekat dan
orang-orang yang kuat secara politik ataupun ekonomi. Rasul Saw. bersabda:
« أَقِيمُوا
حُدُودَ
اللَّهِ فِى
الْقَرِيبِ
وَالْبَعِيدِ
وَلاَ
تَأْخُذْكُمْ
فِى اللَّهِ
لَوْمَةُ
لاَئِمٍ »
“Tegakkanlah oleh kalian hudûd Allah atas orang dekat atau jauh dan janganlah celaan para
pencela menghalangi kalian.” (HR. Ibnu Majah, al-Hakim, al-Baihaqi)
Hadits ini juga diriwayatkan dengan redaksi yang lain
oleh Abu Dawud di dalam Al-Marâsîl dan dikutip oleh al-Baihaqi
di dalam Ma’rifah as-Sunan wa al-Atsar dari Makhul dari Ubadah
bin ash-Shamit. Dinyatakan bahwa Nabi Saw. pernah bersabda:
أُقِيْمُوْا
حُدُوْدَ
اللَّهِ فِيْ
السَّفَرِ
وَالْحَضَرِ،
عَلَى
الْقَرِيْبِ
وَالْبَعِيْدِ،
وَلاَ
تُبَالُوْا
فِي اللَّهِ
لَوْمَةَ
لاَئِمٍ
“Tegakkanlah hudûd
Allah baik di perjalanan atau sedang mukim, atas orang yang dekat maupun jauh,
dan jangan pedulikan di jalan Allah celaan orang yang suka mencela.” (HR. Abu Dawud)
Hadits ini jelas memerintahkan untuk
menegakkan hudûd Allah tanpa deskriminasi. Kata hudûd Allah ini bukan berarti bahwa yang diperintahkan hanya
sanksi jenis had (hudûd) saja, sementara sanksi jenis jinâyah, ta’zîr dan mukhâlafât tidak diperintahkan. Perintah untuk menegakkan
hukum-hukum Syariah dalam semua jenisnya tetap wajib.
Frasa fî as-safari wa al-hadhari dalam
riwayat Abu Dawud maknanya bukan berarti terbatas pada kondisi safar dan hadhar.
Namun, itu merupakan uslub bahasa yang memberi makna dalam
semua kondisi. Artinya, hukum Syariah itu diperintahkan agar ditegakkan dalam
semua kondisi di wilayah kekuasaan Daulah.
Makna frasa fî al-qarîb wa al-ba’îd bisa
berarti yang dekat dan jauh dari sisi nasab dan kekerabatan, juga bisa yang
kuat dan yang lemah atau bangsawan/pejabat/tokoh dan rakyat biasa.
Hal itu ditegaskan dalam hadits dari Aisyah ra. bahwa
kaum Quraisy pernah terguncang dengan perkara seorang perempuan Bani Makhzum
yang mencuri. Seseorang berkata, “Siapa yang bisa berbicara kepada Rasulullah
Saw.?” Mereka berkata, “Tidak ada orang yang berani melakukan itu kecuali
Usamah bin Zaid, yang dikasihi Rasulullah Saw. Lalu Usamah berbicara kepada
beliau. Beliau lalu bersabda, “Apakah engkau memintakan pengampunan dalam salah
satu had di antara hudûd (hukuman-hukuman)
Allah?” Kemudian beliau berdiri dan berpidato:
«
إِنَّمَا
أَهْلَكَ
الَّذِينَ
قَبْلَكُمْ أَنَّهُمْ
كَانُوا
إِذَا سَرَقَ
فِيهِمُ الشَّرِيفُ
تَرَكُوهُ،
وَإِذَا
سَرَقَ فِيهِمُ
الضَّعِيفُ
أَقَامُوا
عَلَيْهِ
الْحَدَّ،
وَايْمُ
اللَّهِ،
لَوْ أَنَّ
فَاطِمَةَ
ابْنَةَ
مُحَمَّدٍ
سَرَقَتْ
لَقَطَعْتُ
يَدَهَا »
“Sesungguhnya yang
membinasakan orang-orang sebelum
kalian karena mereka itu, jika orang mulia di antara mereka mencuri, mereka biarkan; jika orang lemah di antara mereka mencuri, mereka tegakkan had.
Demi Allah, seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri, niscaya
aku akan potong tangannya.” (HR. al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibn
Majah dan an-Nasa’i)
Pertimbangan rasa kasihan tidak boleh
mempengaruhi penegakkan hukum Islam.
الزَّانِيَةُ
وَالزَّانِي
فَاجْلِدُوا
كُلَّ
وَاحِدٍ
مِنْهُمَا
مِائَةَ جَلْدَةٍ
وَلا
تَأْخُذْكُمْ
بِهِمَا
رَأْفَةٌ فِي
دِينِ
اللَّهِ إِنْ
كُنْتُمْ
تُؤْمِنُونَ
بِاللَّهِ
وَالْيَوْمِ
الآخِرِ وَلْيَشْهَدْ
عَذَابَهُمَا
طَائِفَةٌ
مِنَ الْمُؤْمِنِينَ
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, deralah
masing-masing dari keduanya seratus kali deraan, dan janganlah rasa belas
kasihan kepada keduanya mencegah kalian untuk (menjalankan) agama Allah jika
kalian mengimani Allah dan Hari Akhir. Hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka
disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.” (QS. an-Nur [24]: 2)
Rasa tidak suka tidak boleh berpengaruh
dalam penegakkan hukum Allah SWT.
يَا
أَيُّهَا
الَّذِينَ
آمَنُواْ
كُونُواْ
قَوَّامِينَ
لِلّهِ
شُهَدَاء
بِالْقِسْطِ
وَلاَ
يَجْرِمَنَّكُمْ
شَنَآنُ
قَوْمٍ عَلَى
أَلاَّ
تَعْدِلُواْ
اعْدِلُواْ
هُوَ
أَقْرَبُ
لِلتَّقْوَى
وَاتَّقُواْ
اللّهَ إِنَّ
اللّهَ
خَبِيرٌ
بِمَا
تَعْمَلُونَ ﴿٨﴾
“Hai orang-orang yang beriman,
hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena
Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu
terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah,
karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah,
sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. al-Maidah [5]: 8)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar