Rasulullah Saw. pernah bersabda kepada Kaab bin Ujrah:
«أَعَاذَكَ
اللَّهُ مِنْ
إِمَارَةِ
السُّفَهَاءِ»
، قَالَ:
وَمَا
إِمَارَةُ
السُّفَهَاءِ؟
قَالَ:
«أُمَرَاءُ
يَكُونُونَ
بَعْدِي، لاَ
يَقْتَدُونَ
بِهَدْيِي، وَلاَ
يَسْتَنُّونَ
بِسُنَّتِي،
فَمَنْ صَدَّقَهُمْ
بِكَذِبِهِمْ،
وَأَعَانَهُمْ
عَلَى
ظُلْمِهِمْ،
فَأُولَئِكَ
لَيْسُوا مِنِّي،
وَلَسْتُ
مِنْهُمْ،
وَلاَ يَرِدُوا
عَلَيَّ
حَوْضِي، وَمَنْ
لَمْ
يُصَدِّقْهُمْ
بِكَذِبِهِمْ،
وَلَمْ
يُعِنْهُمْ
عَلَى
ظُلْمِهِمْ،
فَأُولَئِكَ
مِنِّي
وَأَنَا
مِنْهُمْ،
وَسَيَرِدُوا
عَلَيَّ
حَوْضِي»
“Aku meminta perlindungan
kepada Allah untuk kamu dari kepemimpinan (pemimpin) yang bodoh (sufaha’).”
Kaab bertanya, “Apa kepemimpinan yang bodoh itu?” Beliau bersabda, “Para
pemimpin yang ada setelah aku. Mereka tidak mengikuti petunjukku dan tidak
mencontoh sunnahku. Siapa yang membenarkan kebohongan mereka dan menolong
mereka atas kezaliman mereka, maka mereka bukan golonganku dan aku bukan
golongan mereka, dan mereka tidak ikut aku di Telaga (di Surga). Sebaliknya,
siapa yang tidak membenarkan kebohongan mereka dan tidak menolong mereka atas
kezaliman mereka maka mereka termasuk golonganku dan aku bagian dari golongan
mereka dan mereka akan ikut aku di Telaga.” (HR. Ahmad,
Ibn Hibban dan al-Hakim)
Anas bin Malik menuturkan, bahwa Muadz pernah berkata,
“Ya Rasulullah bagaimana pendapat Anda jika atas kami memerintah para pemimpin
yang tidak berjalan di atas sunnahmu dan tidak mengambil perintah-perintahmu,
apa yang engkau perintahkan di dalam perkara mereka?” Rasulullah Saw. bersabda:
لاَ
طَاعَةَ
لِمَنْ لَمْ
يُطِعِ
اللَّهَ عَزَّ
وَجَلَّ
“Tidak ada ketaatan terhadap
orang yang tidak menaati Allah ‘Azza wa Jalla.” (HR. Ahmad dan Abu Ya’la)
Muadz
bin Jabal menuturkan, Rasul Saw. pernah bersabda:
أَلا
إِنَّ
الْكِتَابَ
وَالسُّلْطَانَ
سَيَفْتَرِقَانِ،
فَلا
تُفَارِقُوا
الْكِتَابَ
“Ingatlah, sesungguhnya al-Kitab (al-Quran) dan kekuasaan
(as sulthan) akan berpisah, maka janganlah kalian memisahkan diri dari al-Kitab.” (HR. Thabrani dan Abu Nu’aim. Lihat Ath Thabrani, Al Mu’jam Al
Shaghir no. 794; dalam Al
Mu’jam Al Kabir, juz 20 hlm. 76 no. 172;
Ibnu Hajar Al Haitsami, Majma’uz Zawa`id, Juz 5 hlm. 225-226)
Sabda Rasulullah SAW ini juga menegaskan
konsep kekuasaan sebagai bagian ajaran Islam:
لَيُنْقَضَنَّ
عُرَى
الْإِسْلَامِ
عُرْوَةً
عُرْوَةً
فَكُلَّمَا
انْتَقَضَتْ
عُرْوَةٌ
تَشَبَّثَ
النَّاسُ
بِالَّتِي
تَلِيهَا
وَأَوَّلُهُنَّ
نَقْضًا
الْحُكْمُ
وَآخِرُهُنَّ
الصَّلَاةُ
“Sungguh akan terurai
simpul-simpul Islam satu demi satu, maka setiap satu simpul terurai,
orang-orang akan bergelantungan pada simpul yang berikutnya (yang tersisa).
Simpul yang pertama kali terurai adalah kekuasaan (pemerintahan) sedang yang
paling akhir terurai adalah shalat.” (Lihat Musnad Ahmad, 1/251; Shahih Ibnu Majah no 257; Al Hakim dalam Al
Mustadrak, 4/92)
Disebutkan dalam kitab Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al
Kuwaitiyyah Juz 6 hlm. 164:
أجمعت
الأمّة على
وجوب عقد
الإمامة ،
وعلى أنّ الأمّة
يجب عليها
الانقياد
لإمامٍ عادلٍ
، يقيم فيهم
أحكام اللّه ،
ويسوسهم
بأحكام
الشّريعة
الّتي أتى بها
رسول اللّه
صلى الله عليه
وسلم ولم يخرج
عن هذا
الإجماع من
يعتدّ بخلافه
“Umat Islam telah sepakat mengenai wajibnya akad Imamah
[Khilafah], juga telah sepakat bahwa umat wajib mentaati seorang Imam
[Khalifah] yang adil yang menegakkan hukum-hukum Allah di tengah mereka, yang
mengatur urusan mereka dengan hukum-hukum Syariah Islam yang dibawa oleh
Rasulullah SAW. Tidak ada yang keluar dari kesepakatan ini, orang yang
teranggap perkataannya saat berbeda pendapat.” (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al
Kuwaitiyyah, Bab Al Imamah Al
Kubra, Juz 6 hal. 164)
وَإِذَا
قِيلَ لَهُمْ
تَعَالَوْا
إِلَى مَا
أَنْزَلَ
اللَّهُ
وَإِلَى
الرَّسُولِ
رَأَيْتَ
الْمُنَافِقِينَ
يَصُدُّونَ
عَنْكَ صُدُودًا،
فَكَيْفَ
إِذَا
أَصَابَتْهُمْ
مُصِيبَةٌ
بِمَا
قَدَّمَتْ
أَيْدِيهِمْ
ثُمَّ
جَاءُوكَ
يَحْلِفُونَ
بِاللَّهِ
إِنْ
أَرَدْنَا
إِلا
إِحْسَانًا
وَتَوْفِيقًا،
أُولَئِكَ
الَّذِينَ
يَعْلَمُ
اللَّهُ مَا
فِي
قُلُوبِهِمْ
فَأَعْرِضْ
عَنْهُمْ وَعِظْهُمْ
وَقُلْ لَهُمْ
فِي
أَنْفُسِهِمْ
قَوْلا
بَلِيغًا
“Jika dikatakan kepada mereka,
“Marilah kalian (tunduk) pada hukum yang telah Allah turunkan dan pada hukum
Rasul,” niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan
sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu. Lalu bagaimanakah jika mereka
(orang-orang munafik) ditimpa sesuatu musibah akibat perbuatan tangan mereka
sendiri, kemudian mereka datang kepadamu sambil bersumpah, “Demi Allah, kami
sekali-kali tidak menghendaki selain penyelesaian yang baik dan perdamaian yang
sempurna.” Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di
dalam hati mereka. Karena itu, berpalinglah kamu dari mereka, berilah mereka
pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa
mereka.” (QS. an-Nisa [4]: 61-63)
Frasa mâ
anzalal-Lâh berarti hukum-hukum yang
ada dalam al-Quran (Al-Alusi, Rûh
al-Ma’ânî, vol. 5 (Beirut: Dar al-Kutub
al-’Ilmiyyah, 1994), 66), sedangkan ar-Rasûl menunjuk pada hukum beliau (Al-Qasimi, Mahâsin at-Ta’wîl, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah, 1992), 193).
Ibnu Katsir
memaknai yashuddûna dan shudûd[an] dalam ayat ini sebagai: Yu’ridhûna ‘anka i’râdh[an] ka al-mustakbirîna ‘an dzâlika (Mereka benar-benar berpaling dari kamu seperti orang
yang sombong terhadap hal itu). Masih menurut Ibnu Katsir, sikap tersebut sama
dengan kaum musyrik ketika diajak pada apa yang telah Allah turunkan. Mereka
menolak ajakan tersebut hanya karena alasan telah mengikuti ajaran nenek moyang
mereka (lihat QS. Luqman [31]: 21). Sikap tersebut tentu kontradiksi dengan
sikap Mukmin yang sami’nâ wa atha’nâ terhadap hukum Allah Swt. (lihat QS. an-Nur [24]: 51).
(Ibnu
Katsir, Tafsîr
al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 1, 470)
Dalam menafsirkan
kata mushîbah, Ibnu Jarir
ath-Thabari memaknainya dengan niqmah minal-Lâh (balasan berupa siksaan dari Allah). (Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân, vol. 4, 159)
Penolakan mereka terhadap Syariah,
kemunafikan mereka, dan tindakan mereka yang berhukum kepada thâghût merupakan sebab datangnya hukuman itu.
Sikap mengimani sebagian Syariah dan mengingkari sebagian lainnya hanya
akan mengantarkan kepada kehinaan di dunia dan azab yang pedih di Akhirat.
Sebagai pelajaran, Allah Swt. memperingatkan kaum Bani Israil dalam surat Al
Baqarah ayat 85:
أَفَتُؤْمِنُونَ
بِبَعْضِ
الْكِتَابِ
وَتَكْفُرُونَ
بِبَعْضٍ
فَمَا
جَزَاءُ مَنْ يَفْعَلُ
ذَلِكَ
مِنْكُمْ
إِلا خِزْيٌ
فِي الْحَيَاةِ
الدُّنْيَا
وَيَوْمَ
الْقِيَامَةِ
يُرَدُّونَ
إِلَى
أَشَدِّ
الْعَذَابِ
وَمَا اللَّهُ
بِغَافِلٍ
عَمَّا
تَعْمَلُونَ
“Apakah kamu beriman kepada sebahagian (isi) Al Kitab dan
ingkar terhadap sebahagian (isinya) yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang
berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan
pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah
tidak lengah dari apa yang kamu perbuat.” (QS. Al-Baqarah: 85)
Perintah untuk bertakwa berlaku
selamanya. Rasulullah Saw. bersabda:
اِتَّقِ
اللَّهَ
حَيْثُمَا
كُنْتَ
وَأَتْبِعِ
السَّيِّئَةَ
الْحَسَنَةَ
تَمْحُهَا
وَخَالِقِ
النَّاسَ
بِخُلُقٍ حَسَنٍ
“Bertakwalah kamu kepada Allah di mana dan kapan saja kamu berada,
ikutilah keburukan dengan kebaikan niscaya kebaikan itu menghapus keburukan
itu, dan pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik.” (HR.
at-Tirmidzi, Ahmad, ad-Darimi, al-Hakim, al-Baihaqi, al-Bazar dan Abu Nu’aim
dari Abu Dzar al-Ghiffari)
Dalam kitabnya, As-Siyâsah Asy-Syar’iyyah (1/174), Imam Ibnu Taimiyah
menyatakan, “Syariah Islam telah datang untuk mengelola kekuasaan [sharf as-sulthân] dan harta
benda di jalan Allah. Apabila kekuasaan dan harta benda dimaksudkan untuk taqarrub ilâ Allâh dan infak fi sabilillah, maka itu akan menimbulkan kebaikan agama dan dunia.
Namun, jika kekuasaan terpisah
dari agama, atau agama terpisah dari kekuasaan,
maka kondisi masyarakat akan rusak.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar