إِنَّا أَنزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ اللَّهُ
“Sesungguhnya
Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu
mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu.” (QS. an-Nisa’ [4]: 105)
لَقَدْ
أَرْسَلْنَا
رُسُلَنَا
بِالْبَيِّنَاتِ
وَأَنْزَلْنَا
مَعَهُمُ
الْكِتَابَ
وَالْمِيزَانَ
لِيَقُومَ
النَّاسُ بِالْقِسْطِ
“Sesungguhnya Kami telah
mengutus Rasul-Rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami
turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat
melaksanakan keadilan.” (QS.
[57] Al-Hadid: 25)
Dari Ubadah Bin Shamit berkata:
«بَايَعْنَا
رَسُولَ
اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ
عَلَى
السَّمْعِ
وَالطَّاعَةِ
فِي
الْمَنْشَطِ
وَالْمَكْرَهِ
وَأَنْ لاَ
نُنَازِعَ
الأَمْرَ
أَهْلَهُ وَأَنْ
نَقُومَ أَوْ
نَقُولَ
بِالْحَقِّ
حَيْثُمَا
كُنَّا لاَ
نَخَافُ فِي
اللهِ
لَوْمَةَ لاَئِمٍ»
“Kami telah
membai’at Rasulullah Saw. untuk setia mendengarkan dan mentaati perintahnya,
baik dalam keadaan yang kami senangi maupun tidak kami senangi; dan agar kami
tidak merebut kekuasaan dari seorang pemimpin; juga agar kami menegakkan atau
mengatakan yang haq di manapun kami berada dan kami tidak takut karena Allah
terhadap celaan orang-orang yang mencela.” (HR. Bukhari)
Abdullah bin Dinar telah menyampaikan,
ia berkata: “Aku menyaksikan Ibn Umar
di mana orang-orang telah bersepakat untuk membaiat Abdul Malik bin Marwan, ia
berkata bahwa dia menulis: “Aku berikrar untuk mendengarkan dan mentaati
Abdullah Abdul Malik bin Marwan sebagai Amirul Mukminin atas dasar Kitabullah
dan Sunnah Rasul-Nya dalam hal yang aku mampu.”
Kemuliaan Para Sahabat ra. tidak lain dikarenakan
keimanan kepada Alloh Swt. dan Rosul-Nya, dan ketaatan mereka terhadap
Syari’at.
«كُنْتُ
أَسْقِي
أَبَا طَلْحَةَ
اْلأَنْصَارِيَّ
وَأَبَا
عُبَيْدَةَ
بْنَ
الْجَرَّاحِ
وَأُبَيَّ
بْنَ كَعْبٍ
شَرَابًا
مِنْ فَضِيخٍ
وَهُوَ
تَمْرٌ فَجَاءَهُمْ
آتٍ فَقَالَ
إِنَّ
الْخَمْرَ
قَدْ
حُرِّمَتْ
فَقَالَ
أَبُو
طَلْحَةَ يَا
أَنَسُ قُمْ
إِلَى هَذِهِ
الْجِرَارِ
فَاكْسِرْهَا
قَالَ أَنَسٌ
فَقُمْتُ
إِلَى
مِهْرَاسٍ
لَنَا فَضَرَبْتُهَا
بِأَسْفَلِهِ
حَتَّى
انْكَسَرَتْ»
Dari Anas bin Malik ra., beliau berkata: “Suatu ketika aku menjamu Abu Thalhah
Al-Anshari, Abu Ubaidah bin Al-Jarrah, dan Ubay bin Ka’ab dari fadhij,
yaitu perasan kurma. Kemudian ada seseorang datang kepada mereka lalu berkata:
Sesungguhnya khamr telah diharamkan. Maka berkata Abu Thalhah: “Wahai Anas,
berdiri dan pecahkanlah kendi itu!”, Anas berkata: “Maka aku berdiri mengambil
tempat penumbuk biji-bijian (al mihras) milik kami, lalu memukul kendi
itu pada bagian bawahnya (al mihras) hingga kendi tersebut pecah.” (HR. Al-Bukhori)
Imam Bukhari meriwayatkan dari Aisyah ra. yang berkata:
«وَبَلَغْنَا
أَنَّهُ
لَمَّا
أَنْزَلَ اللهُ
تَعَالَى
أَنْ
يَرُدُّوا
إِلَى
الْمُشْرِكِينَ
مَا
أَنْفَقُوا
عَلَى مَنْ
هَاجَرَ مِنْ
أَزْوَاجِهِمْ
وَحَكَمَ
عَلَى الْمُسْلِمِينَ
أَنْ لاَ
يُمَسِّكُوا
بِعِصَمِ
الْكَوَافِرِ
أَنَّ عُمَرَ
طَلَّقَ امْرَأَتَيْنِ»
“Telah sampai berita kepada kami bahwasannya Umar bin Al
Khathab telah menceraikan dua istrinya, ketika Allah Swt. menurunkan firman-Nya
(yaitu QS. Al Mumtahanah: 10, pent.), yang memerintahkan agar kaum Muslim
mengembalikan kepada kaum musyrik istri yang telah mereka berikan kepada
suami-suaminya yang telah hijrah dan Allah telah menentukan hukum kepada kaum
Muslim agar mereka tidak menahan tali perkawinan dengan wanita-wanita kafir.”
Imam Bukhari meriwayatkan dari ‘Aisyah ra. berkata:
«يَرْحَمُ
اللهُ
نِسَاءَ
الْمُهَاجِرَاتِ
اْلأُوَلَ
لَمَّا
أَنْزَلَ
اللهُ ]وَلْيَضْرِبْنَ
بِخُمُرِهِنَّ
عَلَى
جُيُوبِهِنَّ[ شَقَّقْنَ
مُرُوطَهُنَّ
فَاخْتَمَرْنَ
بِهَا»
“Semoga Allah merahmati kaum wanita yang hijrah pertama
kali, ketika Allah menurunkan firman-Nya:
]وَلْيَضْرِبْنَ
بِخُمُرِهِنَّ
عَلَى جُيُوبِهِنَّ[
“Dan hendaklah mereka mengenakan kain kerudung mereka
diulurkan hingga (menutupi) dada mereka.” (QS. An Nur [24]: 31)
Maka kaum wanita itu merobek kain sarung mereka (untuk
dijadikan kerudung) dan menutup kepala mereka dengannya.”
"Dan siapa
saja yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan
yang bukan jalan orang-orang mu'min, Kami biarkan mereka berkuasa terhadap
kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam,
dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali." (QS. An Nisaa': 115)
Jalan orang-orang yang beriman adalah jalan yang
merupakan konsekuensi dari keimanan, yaitu ideologi (aqidah dan syariah) Islam
sebagaimana jalannya Rasul Saw.
Umar
bin Abdul Aziz dalam khuthbahnya berkata:
“Wahai manusia. Sesungguhnya Allah tidak mengutus
seorang nabi lagi setelah nabi kalian, dan tidak menurunkan al-Kitab lagi
setelah al-Kitab yang diturunkan kepada (Muhammad) ini. Apa yang dihalalkan
Allah melalui lisan Nabi-Nya, maka ia tetap halal hingga Hari Kiamat. Apa yang
diharamkan Allah melalui lisan Nabi-Nya, ia tetap haram hingga Hari Kiamat.
Ketahuilah bahwa saya bukan pembuat keputusan, melainkan pelaksana; saya
bukanlah pembuat bid’ah, melainkan pengikut (Syariah); dan saya bukanlah yang
terbaik di antara kalian, namun saya memikul tanggung jawab lebih berat daripada
kalian. Ketahuilah tidak ada seorangpun di antara makhluk Allah yang berhak
ditaati dalam hal maksiat kepada Allah. Ketahuilah dan jadilah saksi, bahwa
saya telah menyampaikan hal ini.” (Ad-Darimi, Sunan ad-Darimi, 1/115).
“Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana
diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan
janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu
kerjakan.” (QS. (11) Hud: 112)
{ وَلَا
تَرْكَنُوا إِلَى
الَّذِينَ
ظَلَمُوا
فَتَمَسَّكُمُ
النَّارُ
وَمَا لَكُمْ
مِنْ دُونِ
اللَّهِ مِنْ
أَوْلِيَاءَ
ثُمَّ لَا
تُنْصَرُونَ }
“Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang
zalim yang menyebabkan kamu disentuh api
neraka, dan sekali-kali kamu tiada mempunyai seorang penolongpun selain Allah,
kemudian kamu tidak akan diberi pertolongan.” [QS. (11) Hud: 113]
Menurut Abu al-Aliyah, makna kata al-rukûn adalah ridha. Artinya ridha
terhadap perbuatan orang-orang
zhalim. Ibnu Abbas memaknainya al-mayl (cenderung). Demikian
keterangan al-Thabari dalam Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl
al-Qur’ân. Sedangkan
al-Zamakhsyari dalam tafsirnya al-Kasysyâf,
menegaskan bahwa al-rukûn tak sekadar al-mayl, namun al-mayl al-yasîr (kecenderungan ringan).
Menurut Ibnu Abbas, sebagaimana dikutip
al-Thabari dalam Jâmi’
al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, perbuatan
zhalim yang tidak boleh diridhai itu adalah syirik. Al-Syaukani dalam Fath al-Qadîr menegaskan bahwa perbuatan itu tidak hanya berlaku
untuk kaum Musyrik, namun berlaku umum.
Ini berarti setiap Muslim wajib
membebaskan dirinya dari kezahliman. Bukan hanya dalam praktik, namun sekadar
kecenderungan sedikit saja sudah tidak diperbolehkan.
Berkaitan dengan makna al-rukûn ilâ al-ladzîna
âmânû, al-Zamakhsyari memaparkan
beberapa perbuatan yang dapat dikatagorikan di dalamnya. Di antaranya adalah
tunduk kepada hawa nafsu mereka, bersahabat dengan mereka, bermajelis dengan
mereka, mengunjungi mereka, bermuka manis dengan mereka, ridha terhadap
perbuatan mereka, menyerupai mereka, dan menyebut keagungan mereka.
Orang zalim dihukum karena kezalimannya.
Sedangkan orang umum mendapat siksa karena sikap membiarkan kezaliman. Abu
Bakar ash-Shiddiq ra. berkata: “Aku mendengar Rasul Saw. bersabda:
«إِنَّ
النَّاسَ
إِذَا رَأَوْا
الظَّالِمَ
فَلَمْ
يَأْخُذُوا
عَلَى
يَدَيْهِ
أَوْشَكَ
أَنْ
يَعُمَّهُمْ
اللَّهُ
بِعِقَابٍ
مِنْهُ»
"Sesungguhnya jika orang-orang melihat seorang
berbuat kedzaliman lalu ia tidak menindak dengan kedua tangannya, maka
hampir-hampir Allah meratakan azab dari sisinya." (HR. Ahmad)
Kata al-zhulm digunakan
untuk menunjukkan setiap perbuatan yang menyimpang dari ketetapan dînuLlâh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar