“Dan demikianlah, Kami telah menurunkan Al Quran itu
sebagai peraturan (yang benar) dalam bahasa Arab. Dan seandainya kamu mengikuti
hawa nafsu mereka setelah datang pengetahuan kepadamu, maka sekali-kali tidak
ada pelindung dan pemelihara bagimu terhadap (siksa) Allah.” (QS. [13] Ar Ra'd:
37)
“Dan apakah mereka tidak melihat bahwa sesungguhnya Kami
mendatangi daerah-daerah (orang-orang kafir), lalu Kami kurangi daerah-daerah
itu (sedikit demi sedikit) dari tepi-tepinya? Dan Allah menetapkan hukum
(menurut kehendak-Nya), tidak ada yang dapat menolak ketetapan-Nya; dan Dia-lah
Yang Maha cepat hisab-Nya.” (QS. [13] Ar Ra'd: 41)
Ibnu Katsir: “Ibnu Abbas berkata, “Apakah mereka tidak
melihat, bahwa Kami membukakan bagi Muhammad Saw. daerah demi daerah.” Ibnu
Katsir: “… yaitu dengan kemenangan Islam atas kemusyrikan, daerah demi daerah
…, Pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Jarir.” (Tafsir Ibnu Katsir:
Terjemahan Lubaabut Tafsiir Min Ibni
Katsiir, juz 13, hal. 515)
وَمَا
أَرْسَلْنَاكَ
إِلا
كَافَّةً
لِلنَّاسِ
“Kami tidak mengutus kamu (Muhammad), melainkan kepada umat
manusia seluruhnya.” (QS. Saba’ [34]: 28)
Terkait dengan firman Allah ini, Ar-Razi berkata, “Kaffa[tan], artinya bahwa risalah itu untuk semua,
yakni umum untuk semua manusia, sehingga mereka dilarang keluar dari ketundukan
terhadap risalah itu.” (Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghaib, XXV/207)
Rasulullah Saw. juga bersabda:
بُعِثْتُ
إِلَى كُلِّ
أَحْمَرَ وَ
أَسْوَدَ
“Aku diutus untuk semuanya,
yang berkulit merah maupun hitam.” (HR. Muslim)
وَلَوْ
أَنَّ أَهْلَ
الْقُرَى
ءَامَنُوا وَاتَّقَوْا
لَفَتَحْنَا
عَلَيْهِمْ
بَرَكَاتٍ
مِنَ
السَّمَاءِ
وَالْأَرْضِ
وَلَكِنْ
كَذَّبُوا
فَأَخَذْنَاهُمْ
بِمَا كَانُوا
يَكْسِبُونَ
“Jika sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan
bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan
bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka
disebabkan perbuatannya.” (QS. [7] Al-A’raf: 96)
وَمَا
خَلَقْتُ
الْجِنَّ
وَالْإِنْسَ
إِلَّا
لِيَعْبُدُونِ
”Dan Aku tidak menciptakan jin dan
manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56)
Imam ath-Thabari menjelaskan bahwa
penafsiran yang lebih tepat adalah sebagaimana pendapat Ibn Abbas, yaitu bahwa
jin dan manusia diciptakan Allah tiada lain untuk beribadah kepada Allah dan
tunduk pada perintah-Nya.
وَلا
تَقُولُوا
لِمَا تَصِفُ
أَلْسِنَتُكُمُ
الْكَذِبَ
هَذَا حَلالٌ
وَهَذَا
حَرَامٌ
لِتَفْتَرُوا
عَلَى
اللَّهِ
الْكَذِبَ إِنَّ
الَّذِينَ
يَفْتَرُونَ
عَلَى
اللَّهِ
الْكَذِبَ لا
يُفْلِحُونَ
”Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang
disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta ‘ini halal dan ini haram’, untuk
mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang yang
mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung.”(QS. An-Nahl: 116)
Menurut al-Syaukani, ayat ini berarti:
Janganlah kalian mengharamkan atau menghalalkan sesuatu melalui ucapan
lisan-lisan kalian tanpa hujjah.
Al-Zamakhsyari menafsirkannya dengan pernyataan: Janganlah kamu mengharamkan
dan menghalalkan hanya dengan perkataan yang ucapkan lisan-lisan dan
mulut-mulut kalian—bukan karena ada hujjah
dan alasan yang jelas—akan tetapi hanya sekadar ucapan dan klaim yang kosong.
Menurut Ibnu Katsir, termasuk dalam
tindakan yang dilarang ayat ini adalah semua bid’ah yang diada-adakan yang
tidak memiliki sandaran Syar’i, menghalalkan sesuatu yang diharamkan Allah,
atau mengharamkan sesuatu yang dihalalkan hanya berdasarkan pendapat dan selera
mereka semata.
الْيَوْمَ
أَكْمَلْتُ
لَكُمْ
دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ
عَلَيْكُمْ
نِعْمَتِي
وَرَضِيتُ
لَكُمُ
الْإِسْلَامَ
دِينًا{
“Hari ini Aku telah
menyempurnakan untuk kalian agama kalian, telah mencukupkan nikmat-Ku untuk
kalian, dan telah meridhai Islam sebagai agama kalian.” (QS.
al-Mâ’idah [5]: 3)
Islam adalah agama yang diturunkan oleh
Allah SWT kepada junjungan kita, Muhammad Saw., untuk mengatur hubungan manusia
dengan Penciptanya, dirinya sendiri, dan sesamanya (An-Nabhâni, Nizhâm al-Islâm, Mansyûrât Hizb at-Tahrîr, Beirut, cet. VI, 2001, hlm.
69). Hubungan manusia dengan Penciptanya meliputi masalah akidah dan ibadah;
hubungan manusia dengan dirinya sendiri meliputi akhlak, makanan, dan pakaian;
hubungan manusia dengan sesamanya meliputi muamalat dan persanksian.
(An-Nabhâni, Nizhâm al-Islâm, Mansyûrât Hizb at-Tahrîr, Beirut, cet. VI, 2001, hlm. 69)
“Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan
kepadaku. Sesungguhnya aku takut jika mendurhakai Tuhanku kepada siksa hari
yang besar.” (QS. [10] Yunus: 15)
]قُلْ
هَذِهِ
سَبِيلِي
أَدْعُو
إِلَى اللَّهِ
عَلَى
بَصِيرَةٍ أَنَا
وَمَنِ
اتَّبَعَنِي[
“Katakanlah: “Inilah jalan
(agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah
dengan hujjah yang nyata …” (QS. Yusuf [12]: 108)
Imam al-Qurthubi menjelaskan: “Katakanlah, wahai Muhammad,
“Inilah jalanku, sunnahku dan manhajku.” Ibn
Zaid menyatakan, ar-Rabi’ berkata, “Dakwahku.” Muqatil berkata, “Agamaku.” Semua ini, menurut al-Qurthubi, maknanya satu, yaitu
apa yang menjadi jalan hidupku dan aku serukan untuk menggapai Surga. Adapun
makna ‘ala bashirah adalah
dengan keyakinan dan dalam kebenaran. (Al-allamah al-Qurthubi, Al-Jami’
li Ahkami al-Qur’an, Dar al-Kutub
al-’Ilmiyyah, Beirut, t.t., IX/272)
Imam as-Syaukani menyatakan bahwa makna, ‘ala bashirah adalah dengan hujjah yang jelas (hujjah wadhihah). Kata bashirah mempunyai konotasi pengetahuan yang bisa membedakan
antara yang haq dan batil. (Al-allamah Muhammad bin ‘Ali as-Syaukani, Tafsir
Al-Qur’an, Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah,
Beirut, 1997, III/57)
إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ، وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُولَهُ وَيَخْشَ اللهَ وَيَتَّقْهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَائِزُونَ
“Sesungguhnya jawaban orang-orang mu’min, bila mereka
dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul menghukum (mengadili) di antara
mereka ialah ucapan, “Kami mendengar dan kami patuh.” Mereka itulah orang-orang
yang beruntung. Siapa saja yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya serta takut
kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, mereka adalah orang-orang yang mendapat
kemenangan.” (QS. an-Nur
[24]: 51-52)
Dinyatakan ath-Thabari, frasa idzâ du‘û ilâ Allâh wa Rasûlih ditafsirkan dengan idzâ du‘û ilâ hukm Allâh wa ilâ hukm Rasûlih (jika mereka dipanggil pada
hukum Allah dan pada hukum Rasul-Nya). (Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl
al-Qur’ân, vol. 9
[Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992], 341)
an yaqûlû sami’nâ wa
atha’nâ (Mereka mengucapkan,
“Kami mendengar dan kami patuh”) menurut Muqatil dan Ibnu ‘Abbas, frasa
tersebut bermakna, “Kami mendengar ucapan Nabi Saw. dan mentaati perintahnya,”—meskipun
dalam perkara yang tidak mereka sukai dan membahayakan mereka. (Al-Wahidi,
an-Naisaburi, Al-Wasîth fî
Tafsîr al-Qur’ân al-Majîd, vol.
3 [Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyyah, 1994], 325; asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 4, 46)
Tidak ada yang mendapatkan keberuntungan
(al-falâh) kecuali orang yang
berhukum kepada Allah dan Rasul-Nya, menaati Allah dan Rasul-Nya. (As-Sa’di, Taysîr al-Karîm ar-Rahmân, vol. 3, 382)
Waman yuthi’illâh wa
Rasûlahu (Siapa saja yang taat
kepada Allah dan Rasul-Nya). Artinya, mereka taat pada perintah dan larangan
Allah dan Rasul-Nya, menerima hukum-hukum-Nya, baik menguntungkan maupun
merugikan mereka. (Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân, vol. 9,
341)
Al-Jazairi menjelaskan bahwa takut
kepada Allah Swt. adalah takut yang disertai pengetahuan, lalu meninggalkan larangan
dan menahan diri dari apa yang disenangi. (Al- Jazairi, Aysar at-Tafâsîr, vol. 3, 382)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar