Penguasa Kejam Menggunakan Kekerasan – Musharraf Mandi Darah di Masjid
Bagian 2 Para Tuan Barat dan Para Penguasa Antek
14 Musharraf Mandi Darah di Masjid
"Musharraf mungkin adalah harapan terakhir Amerika di Pakistan, dan jika dia gagal, para fundamentalis akan menguasai bom Islam.” –- Anthony Zinni
Intensifikasi perlawanan antara murid-murid Lal Masjid dan tentara Pakistan telah meninggalkan ratusan meninggal dan banyak yang terluka. Ini telah mendesak Presiden Musharraf untuk menerbitkan pernyataan provokatif berikut ini: “Jika mereka tidak menyerah maka aku mengatakan di sini hari ini bahwa mereka akan dibunuh. Mereka seharusnya tidak memaksa kita menggunakan kekerasan. Mereka seharusnya keluar dengan sukarela; jika tidak mereka akan dibunuh…” Bahkan sebelum ultimatum Musharraf, pemerintahannya lekas mengatribusikan seluruh kesalahan bagi krisis saat ini pada Abdul Rashid Ghazi – kepala seminari itu. Namun, pemeriksaan yang lebih dekat atas kejadian-kejadian sebelum bentrokan itu, menjelaskan bahwa keseluruhan soga telah didalangi oleh pemerintahan Pakistan.
Selama 6 bulan terakhir pemerintahan Musharraf telah mentoleransi perilaku murid-murid itu kapanpun mereka memilih untuk menantang ketetapannya. Akumulasi senjata ilegal, penculikan tokoh dan polisi Pakistan, dan pencekalan 6 wanita China dihadapi dengan kritikan diam dari para pejabat pemerintah. Selain itu, aktivitas-aktivitas itu tidaklah tersembunyi, dan dirancang dan dilaksanakan dalam penglihatan penuh markas besar ISI yang ada dekat dengan batas Lal Masjid. Seringnya kunjungan para pejabat ISI dan para wakil pemerintah menihilkan klaim pemerintah bahwa ia mencari penyelesaian damai – khususnya ketika diukur terhadap kerasnya respon pemerintah Pakistan pada insiden-insiden serupa di agen-agen kesukuan dan di lain tempat di Baluchistan. Jadi mengapa pemerintah Pakistan menunggu sedemikian lama untuk membarikade Masjid itu dengan peralatan militer yang cocok untuk serangan besar?
Pertanyaan ini hanya bisa dijawab dalam konteks lebih luas tantangan-tantangan yang dihadapi kekuasaan Musharraf. Di saat ini pemerintah Musharraf harus berurusan dengan oposisi sekular dan kekuatan-kekuatan Islam yang menyerukan penggusurannya. Berbagai kekuatan sekular yang dimenangkan oleh Aliansi Pengembalian Demokrasi – the Alliance for the Restoration of Democracy (ARD) dan Chief Justice – Hakim Agung Iftikhar telah mendapatkan momentum dan telah membuat frustasi inisiatif Amerika membuat Musharraf terpilih kembali. Untuk mengacaukan ancaman ini, Musharraf di bawah dukungan AS telah mengadakan pembicaraan rahasia dengan beberapa pemimpin tertentu oposisi sekular dan telah memberdayakan kekuatan terhadap yang lainnya. Kematian di Karachi adalah manifestasi pendekatan kedua ini. Sejauh negosiasi diperhitungkan, AS diwakili Musharraf telah masuk ke pembicaraan lanjut dengan Benazir Bhutto dengan tujuan untuk mematahkan punggung oposisi sekular dan mengamankan periode kedua presidensial bagi Musharraf. Ini juga menjelaskan pendirian ambigu Bhutto pada All Parties Conference (APC) di London xv, yang telah dia abaikan selama ini.
Sementara oposisi Islami tidak senang dengan berbagai kebijakan pro-Amerika Musharraf dan sikap neo-liberalnya, telah mengharuskan mereka sendiri menggusurnya dari kekuasaan. Beberapa beralih ke militansi dan yang lainnya berkecimpung dengan protes untuk memicu kemarahan mereka. Tapi sumber dari kegeraman mereka dinyalakan oleh berbagai seminari religius yang diidentifikasi oleh Amerika untuk sekularisasi atau pembubaran. Tidak seperti oposisi sekular – di mana Amerika mau berkompromi dan membuat persetujuan – berbagai kekuatan Islami di mata para pembuat kebijakan Amerika harus disekularisasi di ujung pistol, dan resistensi apapun harus diremuk. Maka pengepungan Lal Masjid oleh militer tanpa hukum pembelaan diri, penghinaan Abdul Aziz Ghazi di televisi Pakistan, pembatalan pembicaraan tiba-tiba, pemberitaan media dan pengumuman ‘menyerah atau mati’ sebagai solusi bagi krisis itu adalah tanda yang jelas bagi berbagai seminari religius di Pakistan.
Apa yang terungkap di Masjid Lal memiliki semua ciri untuk menjadi pola bagi Musharraf dalam berhadapan dengan aliran-aliran dan institusi-institusi keagamaan lainnya – resep bagi perang sipil. Tanpa menyebut bahwa penentuan waktu krisis itu tepat bagi Musharraf, sebab ia mengalihkan perhatian publik dari oposisi sekular dan respon gagal pemerintah atas banjir di Baluchistan.
Apa yang terbukti adalah bahwa penggunaan kekuatan oleh pemerintah dalam menghadapi kekuatan-kekuatan sekular maupun Islami mempertontonkan kebangkrutan intelektual mantra pemoderatan tercerahkan Musharraf. Bukannya menggunakan pikiran untuk melawan ide-ide oposisi, Musharraf (pemerintah) telah mengandalkan kekerasan. Metode yang sama juga telah diulang-ulang oleh sekutu-sekutu Musharraf – Amerika, NATO dan Israel – di bawah selubung ‘perang atas hati dan pikiran’ dan keduanya telah gagal untuk meremukkan gerakan-gerakan Islami di Irak, Afghanistan dan Palestina. Jadi kesempatan apa yang dimiliki oleh Musharraf (penguasa pengkhianat umat Islam)?
Juli 9, 2007
[Penguasa Kejam Menggunakan Kekerasan – Presiden Pakistan Mandi Darah di Masjid ]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar