Definisi Arti Makna Negara Islam
Bagian 1 Perang Ide-Ide : Kapitalisme Barat versus Islam
10 Irak: Satu Lagi Negara Islam Palsu Sedang Dibuat
"Pengamatan cermat simbolisme Islam adalah jalan coba-coba para raja dan diktator Muslim, dan akan menjadi naif untuk mengatakan dengan tegas bahwa mereka tidak akan bisa melestarikannya sepanjang waktu.” – Noah Feldman
Perancangan atas konstitusi Irak telah sekali lagi memunculkan pandangan Islam dalam masa depan negeri itu. Beberapa berargumen bahwa Islam harus menjadi sumber utama legislasi. Yang lain, terutama orang-orang Kurdi, memilih Islam diberi status ritus dan ritual dan menolak Islam diberi peran dalam kehidupan publik.
Sebelumnya, di bawah mandat hukum administratif transisional – Transitional Administrative Law (TAL) suatu kompromi antara kedua sisi telah dicapai. Itu menyatakan bahwa Islam adalah agama resmi dan “sebuah sumber legislasi,” tapi juga mengatakan bahwa pemerintah tidak boleh menetapkan hukum “yang berkontradiksi dengan prinsip-prinsip tetap Islam yang mengharuskan konsensus.”
Juga terdapat ketidaksetujuan atas penamaan Irak. Beberapa pemimpin telah mengajukan mengubah nama resmi negeri menjadi “Republik Islam Irak,” suatu langkah yang ditentang oleh banyak sekularis Irak. Apakah Islam menjadi satu-satunya sumber legislasi bagi Irak atau nama negeri itu diganti Republik Islam Irak, pertanyaan dasarnya tetap – apa itu Negara Islam? Dua pandangan dominan menjangkiti pemikiran Muslim dan non-Muslim tentang tema itu.
Pandangan pertama memberikan persepsi bahwa jika mayoritas penghuni suatu negara adalah Muslim maka negara itu diklasifikasikan sebagai sebuah negara Islam. Ini adalah misinterpretasi realitas yang keterlaluan. Mayoritas nyata di AS percaya Kekristenan tapi tidak ada yang berpandangan bahwa Amerika diatur oleh Bibel dan merupakan negara Kristen.
Yang lebih umum tapi sama-sama buruk adalah pandangan kedua. Pandangan ini menyatakan bahwa jika beberapa referensi dibuat kepada Islam di dalam konstitusi maka negara itu bisa disebut sebuah negara Islam. Para pendukung opini ini sering mengutip contoh dari berbagai konstitusi negeri-negeri Muslim untuk meminjam kredibilitas bagi argumen mereka. Sebagai contoh, Artikel II konstitusi Mesir 1980 menyatakan bahwa Islam adalah agama negara dan “Yurisprudensi Islam adalah sumber utama legislasi.” Hukum Dasar Arab Saudi 1992 menyatakan bahwa konstitusi negara terdiri dari al-Qur’an dan as-Sunnah (aksi dan perkataan Nabi Muhammad Saw.). Artikel IV konstitusi Iran menyatakan bahwa “semua hukum dan regulasi sipil, peradilan, finansial, ekonomi, administratif, budaya, militer, politik, dan lainnya harus didasarkan atas kriteria Islami.” Dan Artikel 227(1) konstitusi Pakistan terbaca, “Semua hukum yang ada harus disesuaikan dengan peraturan Islam sebagaimana ada dalam al-Qur’an dan as-Sunnah … dan tidak boleh ada hukum yang ditetapkan yang bertentangan dengan peraturan demikian.”
Jika seorang pengamat biasa, tanpa memandang orientasi agama mereka meneliti hukum dasar negara-negara itu, mereka akan segera menemukan bahwa Islam tidak punya hubungan apapun dengan konstitusi-konstitusi demikian. Sebagai contoh, untuk menjadi seorang pemimpin di Arab Saudi, Iran atau Pakistan, seseorang haruslah seorang Saudi, Iran atau Pakistan. Ini bertentangan dengan ajaran Islam, sebab Islam melarang nasionalisme dan mengharuskan mereka yang berlomba untuk kepemimpinan haruslah seorang Muslim sebelum mereka dinilai pantas.
Dalam Islam, terdapat dua doktrin dasar, yang mendefinisi Negara Islam di atas semua yang lain yaitu kedaulatan adalah milik Tuhan dan otoritas adalah berada pada rakyat. Kedaulatan pada Tuhan berarti bahwa Tuhan adalah satu-satunya pemberi hukum dan Islam harus mengatur kehidupan temporal Umat Muslim dan non-Muslim yang tinggal di Negara Islam. Dalam kasus Umat Islam, kehidupan personal mereka harus diatur oleh Islam dan negara tidak punya yurisdiksi atas penduduknya (terdapat perincian khusus dalam hal ini). Terdapat 4 sumber utama hukum Islam. Qur’an, Sunnah, Ijma Shahabat (konsensus para sahabat Nabi) dan Qiyas (Analogi berdasarkan cara yang sah secara ketuhanan). Hukum dasar negara diambil dari sumber-sumber itu saja. Segala sumber lain seperti budaya, tradisi, lingkungan, sejarah atau manusia itu sendiri adalah tidak valid. Semua hukum yang berkaitan dengan perkara-perkara ekonomi, hubungan sosial, urusan-urusan pendidikan, kebijakan luar negeri dan semacamnya diambil dari sumber-sumber yang telah disebutkan itu.
Demikian pula, otoritas Islam ada pada penduduk Negara Islam. Islam telah jelas memberi mandat bahwa rakyat memiliki hak eksklusif untuk memilih, meminta pertanggung jawaban dan mengganti penguasa jika dia nyata-nyata menerapkan hukum-hukum selain Islam. Hak-hak ini didelegasikan pada penguasa melalui bai’at (janji setia yang diberikan pada Khalifah), yang, dalam esensinya adalah suatu kontrak mengikat antara pemimpin dan yang dipimpinnya.
Pengambilan otoritas oleh penguasa atau penolakannya untuk memberikan hak-hak merupakan pelanggaran nyata terhadap Islam. Di masa lalu terdapat beberapa kejadian di mana penguasa mengambil bai’at dengan kekuatan paksa dan Umat tetap diam. Penyalahgunaan bai’at tidak mengubah Negara Islam menjadi kediktatoran atau teokrasi seperti yang dikatakan oleh beberapa ahli sejarah. Ini mirip dengan kecurangan dalam pemilu presidensial AS 2000. Fakta bahwa rakyat tidak menentang hasilnya berarti bahwa sistem pemerintahan di Amerika tetap demokratis. Maka Negara Islam adalah negara yang unik tidak seperti negara lain di dunia hari ini.
Negara ini dikenal secara umum di antara kaum Muslimin sebagai Khilafah dan seringkali disebut oleh non-Muslim sebagai Caliphate. Khilafah bukanlah suatu teokrasi di mana wakil terpilih Tuhan menerapkan hukum Tuhan atas rakyatnya. Bukan juga suatu kediktatoran atau monarki di mana otoritas dan pembuatan hukum ada secara eksklusif pada sang diktator atau monarch. Ia berbagi beberapa kemiripan dengan demokrasi dalam hal bahwa otoritas digunakan rakyat untuk memilih dan meminta pertanggungan jawab. Tapi sangat besar berbeda dari negara demokratis, yang melimpahkan kekuasaan membuat hukum pada parlemen atau kongres bukannya Allah. Meski perbedaan menyolok mata demikian, Barat terus berlanjut mendeskripsikan Khilafah sebagai kediktatoran, teokrasi dan suatu monarki.
Beberapa pemimpin Barat bahkan telah melangkah jauh untuk menggambarkan Khilafah sebagai suatu negara totalitarian. Klaim ini berdasarkan ketidakjujuran setidak-tidaknya. Dalam fakta aktualnya label totalitarianisme lebih bisa diaplikasikan pada negara-negara Barat. Jika terbitnya PATRIOT ACT di AS dan terbitnya legislasi anti-terorisme di Inggris bukanlah stempel negara-negara totalitarian lalu apa?
Secara kontras, Islam mengharamkan memata-matai penduduknya dan semua yang ditemukan bersalah atas suatu kriminal harus disidang di hadapan pengadilan hukum sebelum mereka bisa dihukum. Selama Barat terus menempatkan dirinya sendiri di pusat pembentukan negara seperti di Afghanistan dan Irak, negara-negara Islam palsu akan dilahirkan untuk ikut dalam daftar panjang negara-negara pseudo Islami. Negara-negara semacam itu tidak banyak berpengaruh dalam meredakan sentimen Islami Umat. Bahkan mereka memperlama kesengsaraan Umat dan menempatkan dia ke kampanye tiada akhir interferensi dan eksploitasi asing.
Untuk menghindari penyakit dan penderitaan semacam itu Umat harus menarik semua sumberdayanya bersama dan bekerja menuju satu proyek, yaitu adalah penegakkan kembali Khilafah. Bukankah Khilafah mengakhiri penderitaan penduduk Irak ketika Baghdad dirampok oleh orang-orang Mongol di 1258?
Agustus 20, 2005
[Definisi Arti Makna Negara Islam ]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar